Contoh: Dalam kasus BLBI, pelaku sadar bahwa menyalurkan dana tanpa pengawasan ketat adalah pelanggaran hukum, namun tetap melakukannya demi keuntungan pribadi.
Dalam sistem hukum pidana Indonesia, konsep niat atau mens rea merupakan salah satu elemen penting yang menentukan pertanggungjawaban pidana seseorang (Mallarangeng et al., 2023). Tanpa adanya niat atau unsur kesengajaan dalam suatu tindak pidana, sulit bagi penegak hukum untuk membuktikan bahwa seseorang benar-benar bertanggung jawab atas perbuatannya. Oleh karena itu, pemahaman mengenai niat sebagai bagian dari unsur kesalahan dalam hukum pidana sangatlah penting dalam proses penegakan hukum.
Pengertian mens rea berasal dari bahasa Latin yang berarti “pikiran yang bersalah.” Dalam sistem hukum pidana, mens rea sering kali diartikan sebagai niat atau kesadaran seseorang saat melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum (Syukur, 2015). Tanpa adanya mens rea, tindak pidana yang dilakukan bisa saja dianggap sebagai tindakan yang tidak disengaja atau kelalaian. Di Indonesia, mens rea merupakan konsep yang relevan dengan unsur kesalahan yang perlu dibuktikan dalam suatu kasus pidana. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagian besar tindak pidana mengharuskan adanya unsur kesengajaan atau niat. Beberapa tindak pidana juga mengenal unsur kelalaian atau kealpaan sebagai bentuk mens rea yang lebih ringan (Sibarani, 2022). Oleh karena itu, memahami perbedaan antara niat, kelalaian, dan berbagai bentuk mens rea lainnya sangatlah penting dalam menentukan tingkat kesalahan pelaku dan hukuman yang tepat.
Di Indonesia, konsep niat memiliki peran penting dalam kasus-kasus yang melibatkan tindak pidana berat seperti pembunuhan, pencurian, dan penipuan (Efendi et al., 2024). Misalnya, dalam kasus pembunuhan berencana, kehadiran niat atau kesengajaan yang matang akan meningkatkan sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat niat yang tinggi memiliki dampak langsung terhadap keputusan hukum yang dijatuhkan oleh hakim.
Meskipun demikian, tidak semua tindak pidana membutuhkan pembuktian niat secara langsung. Dalam beberapa kasus, seperti kejahatan tanpa korban (victimless crime) atau pelanggaran administratif, unsur mens rea tidak selalu relevan. Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran dalam penerapan mens rea dalam kasus-kasus tertentu, terutama yang berkaitan dengan peraturan yang lebih teknis (Zaidan, 2021).
KORPORASI
ada awalnya di Indonesia hanya dikenal satu subyek hukum, yaitu orang sebagai subyek hukum. Beban tugas mengurus pada suatu badan hukum berada pada pengurusnya, korporasi bukanlah suatu subyek hukum pidana. Pendapat ini kemudian berkembang menjadi pengakuan bahwa korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana, namun pertanggungjawaban pidananya tetap berada pada pengurusnya. Pidana baru bisa dihapus jika pengurus dapat membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat. Hal ini seperti yang dianut oleh Undang-Undang KUHP. Dalam KUHP hanya mengenal manusia sebagai pelaku tindak pidana, tidak terdapat satu pasalpun yang menentukan pelaku tindak pidana selain manusia (natural person).
Menurut Pasal 59 KUHP, subyek hukum korporasi tidak dikenal.
Apabila pengurus korporasi melakukan tindak pidana yang dilakukan dalam rangka mewakili atau dilakukan untuk dan atas nama korporasi, maka pertanggungjawaban pidana dibebankan hanya kepada pengurus uang melakukan tindak pidana itu. Bunyi lengkap Pasal 56 KUHP adalah sebagai berikut :
Dalam hal-hal mana pelanggaran ditentukan pidananya diancamkan kepada pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka tidak dipidana pangurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur tangan melakukan pelanggaran.
Dari membaca Pasal 59 KUHP maka dapat diketahui bahwa tindak pidana tidak pernah dilakukan oleh korporasi tetapi dilakukan oleh pengurusnya. Sebagai konsekuensinya, maka pengurus itu pula yang dibebani pertanggungjawaban pidana sekalipun pengurus dalam melakukan perbuatan itu dilakukan untuk dan atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, atau bertujuan untuk memberikan manfaat bagi korporasi dan bukan bagi pribadi pengurus.
Alasan KUHP tidak mengenal adanya tanggung jawab pidana oleh korporasi dipengaruhi oleh dua azas, yaitu azas‖societas deliquere non potest”dan‖actus non facit reum, nisi mens sit rea”. Azas‖societas deliquere non potest”atau‖universitas deliquere non potest”berarti bahwa badan-badan hukum tidak bisa melakukan tindak pidana. Azas ini merupakan contoh yang khas dari pemikiran dogmatis dari abad ke-19, dimana kesalahan menurut hukum pidana selalu diisyaratkan sebagai kesalahan manusia. Sehingga korporasi yang menurut teori fiksi (fiction theory) merupakan subyek hukum (perdata), tidak diakui dalam hukum pidana16. Para pembuat KUHP berpendapat bahwa hanya manusia yang dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana berdasarkan azas‖actus non facit reum, nisi mens sit rea”17 atau‖nulla poena sine culpa”. Azas ini berarti bahwa”an act does not make a man guilty of crime, unless his mind be also guilty”. Atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan ungkapan‖Geen straf zonder schuld”. Terjemahan bahasa Indonesia adalah‖Tiada pidana tanpa kesalahan‖. Yang dimaksud dari azas ini adalah untuk membuktikan bahwa benar seseorang telah bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang diberikan sanksi pidana maka harus dibuktikan terlebih dahulu kesalahannya
(culpability atau blameworthiness) baik dalam perilaku maupun pikirannya. Atau menurut Sutan Remy Sjahdeini azas ini mengandung arti bahwa seseorang tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana karena telah melakukan suatu tindak pidana apabila dalam melakukan perbuatan yang menurut undang-undang pidana merupakan tindak pidana, telah melakukan perbuatan tersebut dengan tidak sengaja dan bukan karena kelalaiannya.