Mohon tunggu...
ANNISA SHABIRAH
ANNISA SHABIRAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA | PRODI S1 AKUNTANSI

43223110043 Kampus Universitas Mercu Buana Meruya | Fakultas Ekonomi dan Bisnis | Prodi S1 Akuntansi | Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik UMB | Dosen Pengampu : Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Quiz 12 - Edward Coke : Actus Reus Mens Rea Pada Kasus Korupsi di Indonesia

30 November 2024   19:49 Diperbarui: 30 November 2024   20:09 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PPT PROF. APOLLO - TM 12
PPT PROF. APOLLO - TM 12

2-kuis-12-png-67498ff1ed641527ec3cc482.png
2-kuis-12-png-67498ff1ed641527ec3cc482.png

PPT PROF. APOLLO - TM 12

3-kuis-12-png-67498ffbc925c4752e2ff3a4.png
3-kuis-12-png-67498ffbc925c4752e2ff3a4.png

PPT PROF. APOLLO - TM 12

WHAT

PPT PROF. APOLLO - TM 12
PPT PROF. APOLLO - TM 12

Actus Reus
Merupakan tindakan fisik atau perbuatan nyata yang dilakukan seseorang sehingga menyebabkan terjadinya tindak pidana. Dalam korupsi, actus reus dapat berupa:

  • Penyalahgunaan anggaran proyek.
  • Penerimaan suap dari pihak ketiga.
  • Penggelapan uang negara.

Contoh: Dalam kasus Jiwasraya, actus reus meliputi manipulasi investasi saham yang dilakukan oleh para petinggi Jiwasraya sehingga menyebabkan kerugian negara.

Mens Rea
Adalah niat atau kesadaran seseorang untuk melakukan tindak pidana. Dalam korupsi, ini mencakup:

  • Kesengajaan untuk memperkaya diri atau pihak tertentu.
  • Pengetahuan bahwa tindakan tersebut ilegal, namun tetap dilakukan.

Contoh: Dalam kasus BLBI, pelaku sadar bahwa menyalurkan dana tanpa pengawasan ketat adalah pelanggaran hukum, namun tetap melakukannya demi keuntungan pribadi.

Dalam sistem hukum pidana Indonesia, konsep niat atau mens rea merupakan salah satu elemen penting yang menentukan pertanggungjawaban pidana seseorang (Mallarangeng et al., 2023). Tanpa adanya niat atau unsur kesengajaan dalam suatu tindak pidana, sulit bagi penegak hukum untuk membuktikan bahwa seseorang benar-benar bertanggung jawab atas perbuatannya. Oleh karena itu, pemahaman mengenai niat sebagai bagian dari unsur kesalahan dalam hukum pidana sangatlah penting dalam proses penegakan hukum. 

Pengertian mens rea berasal dari bahasa Latin yang berarti “pikiran yang bersalah.” Dalam sistem hukum pidana, mens rea sering kali diartikan sebagai niat atau kesadaran seseorang saat melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum (Syukur, 2015). Tanpa adanya mens rea, tindak pidana yang dilakukan bisa saja dianggap sebagai tindakan yang tidak disengaja atau kelalaian. Di Indonesia, mens rea merupakan konsep yang relevan dengan unsur kesalahan yang perlu dibuktikan dalam suatu kasus pidana. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagian besar tindak pidana mengharuskan adanya unsur kesengajaan atau niat. Beberapa tindak pidana juga mengenal unsur kelalaian atau kealpaan sebagai bentuk mens rea yang lebih ringan (Sibarani, 2022). Oleh karena itu, memahami perbedaan antara niat, kelalaian, dan berbagai bentuk mens rea lainnya sangatlah penting dalam menentukan tingkat kesalahan pelaku dan hukuman yang tepat. 

Di Indonesia, konsep niat memiliki peran penting dalam kasus-kasus yang melibatkan tindak pidana berat seperti pembunuhan, pencurian, dan penipuan (Efendi et al., 2024). Misalnya, dalam kasus pembunuhan berencana, kehadiran niat atau kesengajaan yang matang akan meningkatkan sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat niat yang tinggi memiliki dampak langsung terhadap keputusan hukum yang dijatuhkan oleh hakim. 

Meskipun demikian, tidak semua tindak pidana membutuhkan pembuktian niat secara langsung. Dalam beberapa kasus, seperti kejahatan tanpa korban (victimless crime) atau pelanggaran administratif, unsur mens rea tidak selalu relevan. Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran dalam penerapan mens rea dalam kasus-kasus tertentu, terutama yang berkaitan dengan peraturan yang lebih teknis (Zaidan, 2021).

KORPORASI

ada awalnya di Indonesia hanya dikenal satu subyek hukum, yaitu orang sebagai subyek hukum. Beban tugas mengurus pada suatu badan hukum berada pada pengurusnya, korporasi bukanlah suatu subyek hukum pidana. Pendapat ini kemudian berkembang menjadi pengakuan bahwa korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana, namun pertanggungjawaban pidananya tetap berada pada pengurusnya. Pidana baru bisa dihapus jika pengurus dapat membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat. Hal ini seperti yang dianut oleh Undang-Undang KUHP. Dalam KUHP hanya mengenal manusia sebagai pelaku tindak pidana, tidak terdapat satu pasalpun yang menentukan pelaku tindak pidana selain manusia (natural person). 

Menurut Pasal 59 KUHP, subyek hukum korporasi tidak dikenal.
Apabila pengurus korporasi melakukan tindak pidana yang dilakukan dalam rangka mewakili atau dilakukan untuk dan atas nama korporasi, maka pertanggungjawaban pidana dibebankan hanya kepada pengurus uang melakukan tindak pidana itu. Bunyi lengkap Pasal 56 KUHP adalah sebagai berikut :

Dalam hal-hal mana pelanggaran ditentukan pidananya diancamkan kepada pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka tidak dipidana pangurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur tangan melakukan pelanggaran. 

Dari membaca Pasal 59 KUHP maka dapat diketahui bahwa tindak pidana tidak pernah dilakukan oleh korporasi tetapi dilakukan oleh pengurusnya. Sebagai konsekuensinya, maka pengurus itu pula yang dibebani pertanggungjawaban pidana sekalipun pengurus dalam melakukan perbuatan itu dilakukan untuk dan atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, atau bertujuan untuk memberikan manfaat bagi korporasi dan bukan bagi pribadi pengurus. 

Alasan KUHP tidak mengenal adanya tanggung jawab pidana oleh korporasi dipengaruhi oleh dua azas, yaitu azas‖societas deliquere non potest”dan‖actus non facit reum, nisi mens sit rea”. Azas‖societas deliquere non potest”atau‖universitas deliquere non potest”berarti bahwa badan-badan hukum tidak bisa melakukan tindak pidana. Azas ini merupakan contoh yang khas dari pemikiran dogmatis dari abad ke-19, dimana kesalahan menurut hukum pidana selalu diisyaratkan sebagai kesalahan manusia. Sehingga korporasi yang menurut teori fiksi (fiction theory) merupakan subyek hukum (perdata), tidak diakui dalam hukum pidana16. Para pembuat KUHP berpendapat bahwa hanya manusia yang dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana berdasarkan azas‖actus non facit reum, nisi mens sit rea”17 atau‖nulla poena sine culpa”. Azas ini berarti bahwa”an act does not make a man guilty of crime, unless his mind be also guilty”. Atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan ungkapan‖Geen straf zonder schuld”. Terjemahan bahasa Indonesia adalah‖Tiada pidana tanpa kesalahan‖. Yang dimaksud dari azas ini adalah untuk membuktikan bahwa benar seseorang telah bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang diberikan sanksi pidana maka harus dibuktikan terlebih dahulu kesalahannya
(culpability atau blameworthiness) baik dalam perilaku maupun pikirannya. Atau menurut Sutan Remy Sjahdeini azas ini mengandung arti bahwa seseorang tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana karena telah melakukan suatu tindak pidana apabila dalam melakukan perbuatan yang menurut undang-undang pidana merupakan tindak pidana, telah melakukan perbuatan tersebut dengan tidak sengaja dan bukan karena kelalaiannya. 

Azas tiada pidana tanpa kesalahannya‖pada umumnya diakui sebagai prinsip umum diberbagai negara. Namun tidak banyak undang-undang hukum materil di berbagai negara yang merumuskan secara tegas azas ini dalam undang-undangnya. Biasanya perumusan azas ini terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, azas ini dapat ditemukan pada :
Pasal 44 ayat (1) KUHP:
Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman :
Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang,
mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Rancangan KUHP (RKUHP) versi 2005 juga telah mencantumkan azas ini dalam Pasal 37 ayat (1), yaitu tiada seorangpun dapat dipidana tanpa kesalahannya.

Berkaitan dengan azas tersebut di atas, dalam hukum pidana dikenal istilah actus reus dan mens rea.Actus Reus atau disebut juga elemen luar (external elements) dari kejahatan adalah istilah latin untuk perbuatan lahiriah yang terlarang (guilty act). Untuk membuktikan bahwa seorang adalah benar bersalah dan memiliki tanggung jawab pidana atas perbuatannya maka harus terdapat perbuatan lahiriah yang terlarang (actus reus) dan terdapat sikap batin yang jahat/tercela (mens
rea). Actus reus tidak hanya memandang pada suatu perbuatan dalam arti biasa, tetapi juga mengandung arti yang lebih luas, yaitu meliputi :

1. Perbuatan dari si terdakwa (the conduct of the accused person).Perbuatan ini dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu; komisi (commisions) dan omisi (omissions).
2. Hasil atau akibat dari perbuatannya itu (its result/consequences)
3. Keadaan-keadaan yang tercantum dalam perumusan tindak pidana (surrounding circumstances which are inclided ini the definition of the offence). 

Mens rea berasal dari bahasa latin yang artinya adalah sikap kalbu (guilty mind). Sikap kalbu seseorang yang termasuk mens rea dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Intention (kesengajaan)
2. Recklessness (kesembronoan), atau sering disebut juga dengan istilah willful blindness. Dikatakan terdapat recklessness jika
seseorang mengambil dengan sengaja suatu risiko yang tidak dibenarkan.
3. Criminal negligence (kealpaan/kekurang hati-hatian). 

Dalam hukum pidana Indonesia mens rea hanya terbagi menjadi dua bagian, yaitu kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa. Jika seseorang hanya memiliki sikap batin yang jahat tetapi tidak pernah melaksanakan sikap batinnya itu dalam wujud suatu perilaku, baik yang terlihat sebagai melakukan perbuatan tertentu (commission) atau sebagai  tidak berbuat sesuatu (ommission), tidak dapat dikatakan orang tersebut telah melakukan suatu tindak pidana.

WHY

PPT PROF. APOLLO - TM 12 
PPT PROF. APOLLO - TM 12 

Kenapa Relevansi Actus Reus dan Mens Rea pada Korupsi di Indonesia

Korupsi di Indonesia sering melibatkan kolaborasi kompleks antara actus reus dan mens rea. Berikut beberapa alasan mengapa teori ini penting:

  1. Menentukan Elemen Kejahatan:
    Dengan mengidentifikasi actus reus (misalnya, penggelapan dana proyek Hambalang) dan mens rea (niat memperkaya diri), aparat penegak hukum dapat membangun kasus yang solid.

  2. Mengatasi Pembelaan Formalitas:
    Beberapa pelaku sering kali berkilah bahwa mereka hanya "mengikuti prosedur." Analisis mens rea membantu membuktikan bahwa pelaku sebenarnya sadar akan ilegalitas tindakannya.

  3. Mengungkap Modus Operandi:
    Dalam korupsi seperti BLBI, actus reus dapat berupa penyaluran dana yang tidak sah ke pihak tertentu, sedangkan mens rea menjelaskan niat pelaku untuk menguntungkan kroninya

Pentingnya Actus Reus dan Mens Rea dalam Kasus Korupsi di Indonesia

Teori Edward Coke menjadi relevan di Indonesia karena membantu menegakkan keadilan dalam kasus-kasus korupsi yang kompleks. Berikut adalah alasan kenapa konsep ini penting:

Membedakan Tindakan Kriminal dari Tindakan Tidak Sengaja

Tidak semua tindakan yang tampak ilegal adalah tindak pidana. Actus reus membantu menentukan tindakan apa yang dilakukan, sementara mens rea mengidentifikasi apakah pelaku memiliki niat jahat. Hal ini penting untuk mencegah tuduhan yang salah atau tidak berdasar.
Contoh: Dalam kasus Hambalang, bukti actus reus menunjukkan bahwa dana proyek digunakan secara tidak semestinya, sedangkan mens rea menunjukkan niat pelaku untuk memperkaya diri dengan menerima suap.

Membangun Kasus Hukum yang Solid

Pengadilan memerlukan bukti actus reus dan mens rea untuk memastikan kejahatan korupsi dapat dihukum secara sah. Jika salah satu elemen ini tidak terbukti, pelaku dapat bebas dari tuduhan.
Contoh: Dalam kasus korupsi pajak Gayus Tambunan, actus reus-nya adalah penerimaan uang suap dari wajib pajak, sementara mens rea-nya adalah niat untuk menyalahgunakan wewenang demi keuntungan pribadi.

Mengungkap Modus Operandi Pelaku Korupsi

Banyak pelaku korupsi menggunakan sistem birokrasi yang kompleks untuk menyamarkan tindakannya. Analisis mens rea dapat membantu mengungkap niat di balik tindakan tersebut, meskipun secara administratif tampak sah.
Contoh: Dalam kasus BLBI, pelaku menyamarkan penggelapan dana sebagai bagian dari program pemulihan ekonomi nasional.

Menegakkan Akuntabilitas Pejabat Publik

Pejabat publik memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menjalankan wewenang dengan integritas. Teori actus reus dan mens rea membantu memastikan bahwa pelanggaran tanggung jawab ini dihukum secara adil.

HOW

PPT PROF. APOLLO - TM 12
PPT PROF. APOLLO - TM 12

Bagaimana Penerapan pada Kasus Korupsi di Indonesia

1. Kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)

  • Actus Reus:
    Penyaluran dana BLBI senilai ratusan triliun rupiah kepada bank-bank bermasalah tanpa pengawasan ketat, yang kemudian disalahgunakan oleh pihak bank untuk kepentingan pribadi.
  • Mens Rea:
    Kesengajaan pelaku, termasuk pejabat tinggi, untuk menggelapkan dana tersebut demi keuntungan pribadi dan kroni politik.

2. Kasus Jiwasraya

  • Actus Reus:
    Manipulasi investasi oleh manajemen Jiwasraya yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp 16 triliun. Dana nasabah dialokasikan ke saham-saham berisiko tinggi.
  • Mens Rea:
    Niat jahat pelaku untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari pengelolaan dana yang tidak transparan.

3. Kasus Gayus Tambunan (Korupsi Pajak)

  • Actus Reus:
    Penggelapan pajak dengan menerima suap dari wajib pajak besar untuk mengurangi nilai pajak yang harus dibayar.
  • Mens Rea:
    Kesadaran Gayus bahwa tindakannya melanggar hukum, namun tetap dilakukan demi memperkaya diri.

4. Kasus Koperasi Indosurya

  • Actus Reus:
    Penghimpunan dana dari masyarakat tanpa izin resmi, yang akhirnya merugikan nasabah hingga puluhan triliun rupiah.
  • Mens Rea:
    Pelaku memiliki niat sejak awal untuk menipu masyarakat demi keuntungan pribadi, terlihat dari pola skema ponzi yang digunakan.

Pendekatan Edward Coke melalui actus reus dan mens rea memberikan alat analisis yang tajam untuk mengungkap kejahatan korupsi. Dalam kasus korupsi di Indonesia, baik tindakan fisik (penggelapan, manipulasi) maupun niat pelaku (keserakahan, penyalahgunaan wewenang) harus dibuktikan untuk menegakkan keadilan. Dengan memahami elemen ini, pengadilan dan masyarakat dapat melihat kejahatan korupsi tidak hanya sebagai tindakan, tetapi juga sebagai cerminan niat buruk yang merugikan negara dan rakyat.

Bagaimana Actus Reus dan Mens Rea Diaplikasikan dalam Kasus Korupsi di Indonesia?

Dalam penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia, kombinasi dari elemen actus reus dan mens rea menjadi dasar pembuktian yang sangat penting. Proses ini melibatkan langkah-langkah berikut:

Identifikasi Tindakan (Actus Reus)

  • Penyelidik dan penyidik dari KPK atau aparat penegak hukum lainnya melakukan pengumpulan bukti terkait perbuatan koruptif. Misalnya, bukti transfer dana ilegal, dokumen palsu, atau barang bukti fisik seperti pemberian suap.
  • Bukti perbuatan ini harus jelas dan konkret untuk menunjukkan adanya tindakan melawan hukum.

Pembuktian Niat (Mens Rea)

  • Mens rea dibuktikan melalui dokumen atau komunikasi yang menunjukkan niat pelaku. Misalnya, korespondensi email yang menunjukkan rencana menerima suap atau pengakuan pelaku.
  • Selain itu, pengakuan saksi atau ahli dapat memperkuat bukti bahwa tindakan tersebut dilakukan dengan sengaja.

Peran Sistem Hukum

  • Dalam sistem hukum Indonesia, pasal-pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) seperti Pasal 2 dan 3 menjadi dasar untuk menuntut actus reus dan mens rea.
  • Penegak hukum perlu membuktikan bahwa tindakan melawan hukum tidak hanya terjadi secara kebetulan tetapi merupakan hasil dari niat atau kesadaran pelaku.

Analisis Kontekstual

  • Dalam banyak kasus, pelaku korupsi berusaha menutupi mens rea dengan dalih “tidak tahu” atau mengklaim bahwa perbuatannya adalah hasil dari kelalaian. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis pola tindakan pelaku dan motifnya secara mendalam.

Studi Kasus: Aplikasi Actus Reus dan Mens Rea

Salah satu contoh penerapan konsep ini adalah kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) yang melibatkan pejabat tinggi. Dalam kasus ini:

  • Actus Reus: Tindakan berupa penyelewengan dana bansos melalui pengadaan barang yang tidak sesuai spesifikasi.
  • Mens Rea: Bukti adanya niat untuk memperkaya diri sendiri, seperti pengaturan tender fiktif dan permintaan komisi tertentu.

KPK berhasil menunjukkan kedua elemen tersebut melalui bukti dokumen kontrak palsu, aliran dana ke rekening pribadi, dan komunikasi internal yang mengindikasikan niat koruptif.

Tantangan dalam Membuktikan Actus Reus dan Mens Rea

  • Kompleksitas Bukti: Kasus korupsi sering melibatkan jaringan pelaku yang luas, sehingga sulit untuk membuktikan keterlibatan langsung seseorang.
  • Niat Tersembunyi: Pelaku korupsi sering menggunakan berbagai cara untuk menyembunyikan niat jahat mereka, seperti menggunakan proxy atau pihak ketiga.
  • Intervensi Politik: Dalam beberapa kasus, ada tekanan politik yang menghambat proses pembuktian dan penegakan hukum.

Daftar Pustaka

- PPT Prof. Apollo - TM 12

- Danardono, D., & Novyana, H. (2024). Implementasi Perbandingan Perkara Tindak Pidana Korupsi antara Negara Indonesia dengan Negara China. Innovative: Journal Of Social Science Research, 4(3), 12106-12119. 

- Prakasa, R. S., Fajrin, N. I., Vebrianti, N., Maulana, R. I., Sari, F. K., Ferisya, S., & Adriansyah, R. (2024). Kebijakan Hukum Pidana dalam Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi di Indonesia. Indonesian Research Journal on Education, 4(3), 578-587.

- Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994)

-   Purba, N. (2017). Kearifan lokal budaya malu masyarakat melayu dalam mencegah korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun