Mohon tunggu...
Siti Annisa Rizki
Siti Annisa Rizki Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog

Director of Arunika Psikologi Group. Top 15 Writer for the Call for Papers on Transition to Just Energy by The Habibie Center 2023. Favorite Blogger at BRI Write Fest 2023. Industrial and Organizational Psychologist since 2012 for State-Owned Enterprises (BUMN) and national Business Companies. • Your empathetic psychologist • Free spirit | open mind | happy to support.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Menjadi Remote Worker, Apakah Selalu Menyenangkan?

24 Juli 2024   17:54 Diperbarui: 24 Juli 2024   20:03 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertimbangan-Pertimbangan Lainnya

Hingga saat ini, masih diperdebatkan pengaruh mode kerja telecommuting terkait produktivitas, kreativitas dan moralitas kerja, dikarenakan bekerja dari jarak jauh dapat memberikan sedikit kesempatan kepada pekerja untuk berinteraksi secara langsung dan berjejaring dengan rekan kerja mereka atau individu lainnya yang ada di lingkungan kerjanya.

Bagi pemimpin sendiri, mendorong kohesivitas kelompok juga menjadi tantangan ketika tim tersebar secara geografis dan mengandalkan komunikasi virtual. Timothy Golden, PhD, seorang Psikolog Industri/organisasi dan koordinator area manajemen perusahaan dan organisasi di Rensselaer Polytechnic Institute di Troy, New York mengemukakan bahwa "telework is here to stay" atau "Telekerja sudah menjadi bagian dari kehidupan kita,". Ia menyebutkan bahwa yang perlu difokuskan adalah bukan pada apakah telework bermanfaat namun lebih kepada bagaimana telework ini dapat dilakukan secara optimal (Abrams, 2019).

 

Namun, apakah semua pekerjaan dapat dikondisikan sebagai remote work?

Tentu saja ada pekerjaan yang lebih cocok untuk dilakukan secara remote ada pula yang tidak. Misalnya seperti programmer komputer yang sebagian besar waktunya membutuhkan bekerja di depan laptop, seperti membuat coding, software, sistem dan lain-lain adalah pekerja yang paling mungkin untuk telecommuting (Gajendran dalam Abrams, 2019). Karyawan yang pekerjaannya sangat kompleks, tetapi tidak memerlukan kolaborasi atau social networking yang signifikan menunjukkan kinerja yang lebih baik dengan menggunakan telecommuting (Golden & Gajendran, 2019). Karyawan yang pekerjaannya membutuhkan konsentrasi atau pemecahan masalah yang mendalam seringkali memerlukan waktu khusus untuk berpikir mendalam tentang tugas yang dihadapinya, sementara jika dilaksanakan di kantor, maka ada potensi gangguan. Meskipun di dalam penyikapan terhadap berbagai tantangan dan gangguan ini masih dihubungkan dengan variable lain, seperti resilience yang dimiliki seseorang.

Sebagai asesor yang saat ini cukup sering mendapatkan pekerjaan melalui online, saya dapat memanfaatkan kondisi ini untuk bekerja dimana saja, asalkan tersedia ruang private untuk melaksanakan assessment dan laporan, serta memiliki akses internet yang mendukung. Di samping hal itu, kita juga perlu kritis di dalam melihat kesesuaian tempat dan juga sumber daya yang kita miliki. Mengenali diri juga diperlukan, misalkan apakah kita adalah seseorang yang perlu dekat dengan situasi yang familiar, atau memiliki kebutuhan yang tinggi akan lingkungan sosial yang menjadi support system kita. Itu semua kembali lagi pada diri masing-masing.

Namun, pekerjaan yang membutuhkan interaksi interpersonal yang signifikan, cenderung akan berjalan lebih lancar ketika dilakukan secara tatap muka. Misal, pekerjaan yang memantau kinerja triwulan anggota, mengunjungi site untuk audit dan lain sebagainya.

Telecommuting bukan sesuatu yang buruk namun juga bukan satu pendekatan yang bisa bekerja pada semua tugas. Namun, Golden menyebutkan bahwa hal yang lebih penting adalah pengkajian antara relevansi dan manfaatnya pada efektivitas suatu pekerjaan. Pada tahun 2015, Golden dan rekan-rekannya melakukan penelitian tentang telecommuting. Dari hasil penelitian disebutkan bahwa telecommuting dapat meningkatkan kepuasan kerja, performa dan rasa komitmen terhadap organisasi. Orang yang bekerja dari jarak jauh juga cenderung mengalami lebih sedikit stres atau kelelahan kerja. Namun, kekurangannya terletak pada interaksi sosial dan relasi profesional, sedikit kesempatan untuk berbagi informasi, dan kaburnya batasan antara kehidupan kerja dan pribadi (Allen dkk, 2015).

Selain terkait dengan isolasi sosial, kaburnya batas antara pekerjaan dan keluarga adalah tantangan signifikan bagi karyawan remote. Teleworkers yang beroperasi dari kantor dan rumah dapat berpotensi kaburnya batasan fisik dan psikologis antara dua domain ini. Kewajiban keluarga dan sosial dapat dengan mudah bercampur dengan jam kerja. Selain itu, studi menunjukkan, kewajiban profesional teleworkers cenderung melampaui hari kerja konvensional dan dapat mengganggu waktu keluarga dan sosial.

Teleworkers juga terlihat bekerja lebih banyak. Sebuah jajak pendapat Gallup tahun 2013 menemukan bahwa teleworkers rata-rata bekerja dengan tambahan empat jam per minggu dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di kantor (Gallup, 2013).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun