Mohon tunggu...
Siti Annisa Rizki
Siti Annisa Rizki Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog

Director of Arunika Psikologi Group. Top 15 Writer for the Call for Papers on Transition to Just Energy by The Habibie Center 2023. Favorite Blogger at BRI Write Fest 2023. Industrial and Organizational Psychologist since 2012 for State-Owned Enterprises (BUMN) and national Business Companies. • Your empathetic psychologist • Free spirit | open mind | happy to support.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Menjadi Remote Worker, Apakah Selalu Menyenangkan?

24 Juli 2024   17:54 Diperbarui: 24 Juli 2024   20:03 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jika di pikiran teman-teman bahwa pekerja remote bisa sefleksibel "ayo siapkan pakaian 3-4 potong, packing, pesan tiket, lalu pergi" itu tidak sepenuhnya salah, meskipun ada juga kebiasaan orang lain yang tidak seperti itu.

Sebagai salah satu remote worker, saya sendiri lebih banyak merasakan manfaatnya, terutama terkait kebebasan di dalam mengambil keputusan untuk menentukan lokasi kerja. Menurut saya, pemilihan paparan tempat bekerja adalah salah satu hal penting dan signifikan bagi konsentrasi dan kualitas kerja saya sendiri. Meski saya tidak akan mengeklaim bahwa itu sesuai untuk semua orang. Saya tahu persis bahwa tiap orang memiliki preferensi dan pertimbangan yang berbeda di dalam bekerja. Sebagai remote worker, saya sendiri memilih Ubud, sebagai tempat ideal saya bekerja dan juga untuk menikmati hidup.

Sekilas tentang Ubud, nama Ubud berasal dari kata Ubad (Bahasa Bali) yang artinya obat. Ubud memiliki alam yang sangat indah, dengan masyarakat yang hidup dengan nilai-nilai seni tinggi membuat saya merasa tenang dan nyaman berada disini. Saya merasa aliran pikiran saya terasa lebih lempang dan cepat berpikir ketika berada disini, saya juga merasa terbuka pada berbagai kemungkinan disini. Ubud juga membawa saya lebih disiplin, untuk memulai hari dan mengakhiri pekerjaan.

Tapi saya akan mencoba membahas tentang remote worker secara berimbang. Tidak hanya dari pengalaman subjektif saya, tapi dari riset-riset ilmiah yang ada.

Menilik artikel tentang Best Countries to Work From Based on 22 Factors dari kayak.com. Indonesia menduduki peringkat ke 5 dalam daftar negara terbaik di Asia Pasifik untuk remote working pada tahun 2022. Di wilayah Asia Pasifik sendiri, Indonesia melampaui Korea Selatan, Australia dan Singapura. Tidak cukup mengagetkan. Menjadi remote worker merupakan pilihan yang menarik bagi banyak orang. Namun di lain hal, seseorang yang bekerja sebagai remote worker perlu memastikan perencanaan kerjanya secara teratur sehingga pekerjaan dapat selesai dengan efektif dan juga efisien. Selain itu, perencanaan kerja yang baik juga dapat menunjang agar kehidupan pekerjaan tidak bercampur baur dengan aktivitas personal lainnya, seperti peran di keluarga, menjalani hobi, membangun dan menjaga relasi, mempelajari banyak hal dan menjalankan aktivitas personal lainnya.

Pada dasarnya, sebutan "pekerja remote" dapat bervariasi. Bisa sepenuhnya bekerja sebagai remote atau sebagian waktu saja. Tidak harus secara geografis melintasi pulau atau benua, tapi bisa sebagian waktu bekerja di kantor dan juga di rumah. Pemilihan tempat lainnya, seperti coworking space atau cafe, juga bisa menjadi pilihan.

Apakah bekerja sebagai remote worker sepenuhnya menyenangkan?

Di artikel yang berjudul The Future of Remote Work (Abrams, 2019), Zara Abrams menyebutkan bahwa menurut para ahli, pekerjaan remote dapat memberikan manfaat, baik dari sisi pengusaha, maupun karyawan. Pengusaha dapat merekrut bakat yang tersebar secara geografis dan mengurangi biaya yang tinggi. Sementara karyawan dapat memperoleh fleksibilitas, menghemat waktu dan juga mengurangi cost (seperti biaya transportasi menuju kantor dan biaya lainnya).

Remote worker bekerja dengan melakukan telecommuting. Dilansir dari The Balance Careers (Doyle, 2020), telecommuting adalah sistem kerja yang mengedepankan fleksibilitas, di mana para karyawannya dapat bekerja dari luar kantor. Pekerja menggunakan telekomunikasi untuk tetap berinteraksi dengan rekan kerja, anggota dan orang lain yang terkait dengan pekerjaan. Hal ini meliputi penggunaan telepon, program chat online, platform video meeting, email dan aplikasi lainnya.

Lebih dari separuh pekerja mencari "pengaturan" ini sebagai cara untuk meningkatkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan. Pekerja yang memilih untuk bekerja dari jarak jauh dapat menghindari perjalanan harian ke kantor, mengurangi gangguan di tempat kerja, dan dapat memenuhi tanggung jawab di keluarga (Owl Labs State of Remote Work, 2017). Dalam beberapa kasus, sebuah perusahaan mungkin memerlukan karyawannya untuk bekerja dari rumah, misalnya jika salah satu kantor unitnya ditutup.

Dapat diartikan bahwa jika pada pekerjaan atau posisi yang sesuai, telecommuting dapat membawa manfaat, baik bagi perusahaan dan juga pekerja.

Pertimbangan-Pertimbangan Lainnya

Hingga saat ini, masih diperdebatkan pengaruh mode kerja telecommuting terkait produktivitas, kreativitas dan moralitas kerja, dikarenakan bekerja dari jarak jauh dapat memberikan sedikit kesempatan kepada pekerja untuk berinteraksi secara langsung dan berjejaring dengan rekan kerja mereka atau individu lainnya yang ada di lingkungan kerjanya.

Bagi pemimpin sendiri, mendorong kohesivitas kelompok juga menjadi tantangan ketika tim tersebar secara geografis dan mengandalkan komunikasi virtual. Timothy Golden, PhD, seorang Psikolog Industri/organisasi dan koordinator area manajemen perusahaan dan organisasi di Rensselaer Polytechnic Institute di Troy, New York mengemukakan bahwa "telework is here to stay" atau "Telekerja sudah menjadi bagian dari kehidupan kita,". Ia menyebutkan bahwa yang perlu difokuskan adalah bukan pada apakah telework bermanfaat namun lebih kepada bagaimana telework ini dapat dilakukan secara optimal (Abrams, 2019).

 

Namun, apakah semua pekerjaan dapat dikondisikan sebagai remote work?

Tentu saja ada pekerjaan yang lebih cocok untuk dilakukan secara remote ada pula yang tidak. Misalnya seperti programmer komputer yang sebagian besar waktunya membutuhkan bekerja di depan laptop, seperti membuat coding, software, sistem dan lain-lain adalah pekerja yang paling mungkin untuk telecommuting (Gajendran dalam Abrams, 2019). Karyawan yang pekerjaannya sangat kompleks, tetapi tidak memerlukan kolaborasi atau social networking yang signifikan menunjukkan kinerja yang lebih baik dengan menggunakan telecommuting (Golden & Gajendran, 2019). Karyawan yang pekerjaannya membutuhkan konsentrasi atau pemecahan masalah yang mendalam seringkali memerlukan waktu khusus untuk berpikir mendalam tentang tugas yang dihadapinya, sementara jika dilaksanakan di kantor, maka ada potensi gangguan. Meskipun di dalam penyikapan terhadap berbagai tantangan dan gangguan ini masih dihubungkan dengan variable lain, seperti resilience yang dimiliki seseorang.

Sebagai asesor yang saat ini cukup sering mendapatkan pekerjaan melalui online, saya dapat memanfaatkan kondisi ini untuk bekerja dimana saja, asalkan tersedia ruang private untuk melaksanakan assessment dan laporan, serta memiliki akses internet yang mendukung. Di samping hal itu, kita juga perlu kritis di dalam melihat kesesuaian tempat dan juga sumber daya yang kita miliki. Mengenali diri juga diperlukan, misalkan apakah kita adalah seseorang yang perlu dekat dengan situasi yang familiar, atau memiliki kebutuhan yang tinggi akan lingkungan sosial yang menjadi support system kita. Itu semua kembali lagi pada diri masing-masing.

Namun, pekerjaan yang membutuhkan interaksi interpersonal yang signifikan, cenderung akan berjalan lebih lancar ketika dilakukan secara tatap muka. Misal, pekerjaan yang memantau kinerja triwulan anggota, mengunjungi site untuk audit dan lain sebagainya.

Telecommuting bukan sesuatu yang buruk namun juga bukan satu pendekatan yang bisa bekerja pada semua tugas. Namun, Golden menyebutkan bahwa hal yang lebih penting adalah pengkajian antara relevansi dan manfaatnya pada efektivitas suatu pekerjaan. Pada tahun 2015, Golden dan rekan-rekannya melakukan penelitian tentang telecommuting. Dari hasil penelitian disebutkan bahwa telecommuting dapat meningkatkan kepuasan kerja, performa dan rasa komitmen terhadap organisasi. Orang yang bekerja dari jarak jauh juga cenderung mengalami lebih sedikit stres atau kelelahan kerja. Namun, kekurangannya terletak pada interaksi sosial dan relasi profesional, sedikit kesempatan untuk berbagi informasi, dan kaburnya batasan antara kehidupan kerja dan pribadi (Allen dkk, 2015).

Selain terkait dengan isolasi sosial, kaburnya batas antara pekerjaan dan keluarga adalah tantangan signifikan bagi karyawan remote. Teleworkers yang beroperasi dari kantor dan rumah dapat berpotensi kaburnya batasan fisik dan psikologis antara dua domain ini. Kewajiban keluarga dan sosial dapat dengan mudah bercampur dengan jam kerja. Selain itu, studi menunjukkan, kewajiban profesional teleworkers cenderung melampaui hari kerja konvensional dan dapat mengganggu waktu keluarga dan sosial.

Teleworkers juga terlihat bekerja lebih banyak. Sebuah jajak pendapat Gallup tahun 2013 menemukan bahwa teleworkers rata-rata bekerja dengan tambahan empat jam per minggu dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di kantor (Gallup, 2013).

Pengusaha mungkin melihat hasil-hasil ini sebagai positif, dengan anggapan bahwa produktivitas menjadi lebih tinggi. Gajendran dan rekannya menemukan bahwa teleworkers seringkali melampaui yang diharapkan. Misalnya, mereka dapat merespons email di luar jam kerja untuk menunjukkan komitmen organisasional mereka (Gajendran dkk, 2015). Namun para ahli mengatakan bahwa tanpa batasan yang lebih kuat, karyawan dapat mengalami kelelahan, dan overwork semacam itu seharusnya dihindari oleh manajer dan organisasi.

"Ketakutan pemimpin perusahaan terhadap pengaturan kerja yang dilakukan secara fleksibel juga sering kali dipicu oleh kekhawatiran bahwa kinerja akan menurun jika karyawan tidak dipantau secara ketat," kata Jeanne Wilson, PhD, seorang profesor perilaku organisasi di College of William & Mary di Williamsburg, Virginia. "Seringkali, manajer menggunakan kesibukan, bekerja lembur, atau indikator lain untuk menyimpulkan bahwa seorang karyawan efektif. Di situasi kerja jarak jauh, manajer harus lebih bergantung pada hasil. Ini adalah transisi yang sulit bagi banyak pemimpin." (Abrams, 2019).

Sebelum memperbolehkan karyawan untuk bekerja dari jarak jauh, organisasi harus mengevaluasi kembali tentang kebijakan terkait evaluasi kinerja karyawan, tentang promosi, dan kenaikan gaji untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak memihak pekerja yang bekerja di lokasi.

Namun, tanggung jawab untuk membuat telecommuting menjadi sukses tidak hanya berada pada pundak pengusaha. Karyawan juga perlu mengembangkan rutinitas yang efektif, menetapkan batasan yang sehat dengan manajer, rekan kerja, dan anggota keluarga, serta berusaha untuk tetap terlibat secara sosial dan profesional. Selain itu, perlu untuk mengembangkan kemampuan di dalam membangun perencanaan yang efektif dan efisien. Pada situasi kerja dengan autonomy yang tinggi, perlu sekali untuk mempertahankan komitmen dan rasa tanggung jawab di dalam mengelola tugas dan kehidupan pribadi.

Bagi beberapa orang, bekerja dari ruang co-working yang menyediakan akses internet, ruang rapat, dan fasilitas lainnya dapat membantu mengatasi isolasi sosial. Dalam salah satu penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti University of Michigan, tim peneliti telah menggunakan survei, wawancara, dan observasi partisipatif untuk menunjukkan bahwa ruang-ruang seperti ini dapat menciptakan rasa komunitas tanpa mengancam otonomi karyawan yang bekerja dari luar kantor (Garrett dkk, 2017). Di Bali ataupun di kota-kota lainnya yang ramah terhadap remote worker atau digital nomad sudah banyak ditemui coworking space. Saya juga menemui salah satu coworking space di Bali yang juga membuat aktivitas-aktivitas kolektif untuk meningkatkan layanan kepada para pekerja. Hal ini juga menghubungkan antara kemungkinan kolaborasi yang bisa dibangun dengan memanfaatkan berbagai peluang dan keberagaman yang ada di sana, baik lokal maupun internasional. Hal tersebut menguntungkan berbagai pihak, baik dari sisi jejaring, peluang kerja sama, peluang pembelajaran dan lain sebagainya.

Menariknya, menurut penelitian yang dilakukan Gajendran, popularitas yang meningkat dari telecommuting dapat mengurangi manfaat dari telecommuting itu sendiri. Gajendran menyebutkan bahwa ketika telecommuting menjadi sesuatu yang jarang terjadi di sebuah perusahaan, karyawan cenderung berkinerja terbaik. Namun, ketika sebagian besar karyawan di sebuah organisasi diizinkan untuk melaksanakan telecommuting, bekerja dari jarak jauh lebih sering tidak meningkatkan kinerja kerja, menunjukkan bahwa antusiasme terhadap pengaturan ini dapat menurun dalam kasus-kasus seperti itu (Gajendran dkk, 2015).

"Gagasan telecommuting adalah alat manajemen seperti alat manajemen lainnya," kata Gajendran. Ketika dilakukan dengan baik, kerja remote memiliki potensi untuk meningkatkan kinerja, meningkatkan kepuasan karyawan, dan menguntungkan bisnis.

 

Daftar Referensi

Alisan Doyle (2020). What Is Telecommuting? Diakses dari : https://www.thebalancemoney.com/what-is-telecommuting-2062113

Gallup (2013). Remote Workers Log More Hours and Are Slightly More Engaged. Diakses dari : https://news.gallup.com/opinion/gallup/170669/remote-workers-log-hours-slightly-engaged.aspx

Lyndon E. Garrett, Gretchen M. Spreitzer, & Peter A. Bacevice (2017). Co-constructing a Sense of Community at Work: The Emergence of Community in Coworking Spaces. Organization Studies, Vol. 38, No. 6.

Owl Labs State of Remote Work (2017). Diakses dari : https://owllabs.com/state-of-remote-work-2017

Ravi S. Gajendran, David A. Harrison, Kelly Delaney-Klinger (2015). Are Telecommuters Remotely Good Citizens? Unpacking Telecommuting's Effects on Performance Via I-Deals and Job Resources. Personnel Psychology, Vol. 62, No. 2.

Tammy D. Allen, Timothy D. Golden, & Kristen M. Shockley (2015). How Effective Is Telecommuting? Assessing the Status of Our Scientific Findings. Psychological Science in the Public Interest, Vol. 16, No. 2.

Timothy D. Golden., & Ravi S. Gajendran (2019). Unpacking the Role of a Telecommuter's Job in Their Performance: Examining Job Complexity, Problem Solving, Interdependence, and Social Support. Journal of Business and Psychology, Vol. 34, No. 1.

Zara Abrams (2019). The Future of Remote Work. American Psychological Association 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun