Mohon tunggu...
Siti Annisa Rizki
Siti Annisa Rizki Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog

Director of Arunika Psikologi Group. Top 15 Writer for the Call for Papers on Transition to Just Energy by The Habibie Center 2023. Favorite Blogger at BRI Write Fest 2023. Industrial and Organizational Psychologist since 2012 for State-Owned Enterprises (BUMN) and national Business Companies. • Your empathetic psychologist • Free spirit | open mind | happy to support.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sudah Sepaham Apa Kita tentang Diri Sendiri?

30 Mei 2024   23:20 Diperbarui: 30 Mei 2024   23:26 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Harvard Business School (2019)

Sebuah tulisan tentang Self Awareness.

Memahami diri sendiri sering kali tidak mudah pada sebagian besar orang. Dari interaksi yang saya lakukan dengan banyak orang yang sedang mengalami beragam kondisi sulit, termasuk sering saya menyaksikan bagaimana seseorang mengkritik dirinya secara keras dan berlebihan, atau memiliki harapan yang tidak realistis pada diri, orang lain dan kondisi yang sedang berlangsung. Kondisi pelik yang dialami, dapat mengarah pada terjebaknya seseorang pada perasaan dan pikiran yang mereka miliki, serta mengurangi kemampuan mereka untuk berfokus terhadap solusi.

Memiliki self awareness merupakan kemampuan yang penting di dalam hidup.

Memahami diri sendiri sangat tergantung pada kemauan seseorang untuk menyelami diri sendiri. Hal ini juga membutuhkan waktu, rasa ingin tahu, keberanian untuk menyadari kekurangan dan belajar menerima realita yang mungkin bertentangan dengan keinginan dan harapan.

Pada dasarnya, tema tentang self awareness sudah disebut-sebut sejak dulu. Kita bisa melihat salah satunya dari legenda Yunani Kuno, yakni Orakel Delfi (orang atau benda yang dianggap dapat memberi petunjuk, nasihat atau perkiraan). Orakel Delfi memberikan nasehat "kenali dirimu sendiri" sejak ribuan tahun yang lalu.

Apa itu self awareness?

Menurut Daniel Goleman (2012), Self awareness (kesadaran diri) adalah komponen pertama dari Emotional Intelligence. Self Awareness berarti memahami secara mendalam tentang emosi, kekuatan, kelemahan, kebutuhan dan dorongan.

Orang dengan self awareness yang kuat juga memahami bagaimana perasaan mereka dapat berefek terhadap diri mereka dan pada orang lain, serta memahami bagaimana pengaruhnya pada aktivitas atau pekerjaan yang mereka jalani. Misalkan saja, pada bidang kerja pelayanan, orang yang memiliki self Awareness yang kuat akan memahami bagaimana mereka berhadapan dengan customer yang mengeluh dan menuntut. Mereka memahami pengaruh dari mood customer terhadap perasaan mereka, serta dapat mengambil langkah untuk mengarahkan emosi mereka menjadi sesuatu yang konstruktif.

Menurut Daniel Goleman, Emotional Intelligence (EI) terdiri dari 5 kemampuan, yaitu :

a. Self Awareness

Memahami kekuatan, kekurangan, dorongan, nilai dan pengaruhnya terhadap diri dan orang lain. Self awareness juga berarti kemampuan melihat diri secara objektif dengan melakukan refleksi dan introspeksi.

b. Self Regulation

Kemampuan mengendalikan atau mengarahkan dorongan dan suasana hati yang mengganggu/disruptive. Self-regulation adalah kemampuan mengendalikan perilaku dan emosi sendiri dalam melakukan tugas yang melibatkan pemahaman diri dan kaitannya dengan keadaan di luar diri. (Bandura, dalam Istriyanti & Sinarmata, 2014). Di dalam self-regulation, terdapat proses pemahaman, perencanaan, penilaian, pelaksanaan terkait perubahan yang diinginkan demi mencapai tujuan.

c. Motivation

Motivasi dapat diartikan dorongan untuk mengeluarkan kekuatan (energi) yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan guna mendapatkan pencapaian.

d. Empati

Empati adalah kemampuan untuk merasakan maupun memahami perasaan, pikiran, dan pengalaman orang lain.

e. Keterampilan sosial

Yaitu kemampuan membangun hubungan baik dengan orang lain. Keterampilan sosial juga dapat diartikan sebagai kemampuan dalam berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, memberi atau menerima feedback seperti kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku (Majorsy, Kinasih, Andriani, & Lisa, 2013).

Menurut Daniel Goleman, masing-masing orang dilahirkan dengan keterampilan EI tertentu, namun kita dapat memperkuat kemampuan ini melalui ketekunan, latihan, dan umpan balik dari rekan-rekan atau coach (HBR, 2019).

Berdasarkan penelitian, terdapat hubungan antara self awareness dengan berbagai sikap dan perilaku, seperti dengan kepercayaan diri, kreativitas, komunikasi yang efektif, kemampuan membangun relasi, kepuasan kerja, empati, kebahagiaan dan tingkat stres.

Tasha Eurich (seorang psikolog organisasi, peneliti dan penulis) dan timnya pernah melakukan penelitian dengan 5000 partisipan untuk meneliti tentang self awareness. Dari hasil penelitian diketahui bahwa banyak orang yang percaya bahwa mereka mengenal diri mereka, namun pada kenyataannya orang yang memiliki self awareness adalah kualitas yang jarang ditemukan. Dari hasil penelitian menunjukkan hanya sekitar 10--15% orang yang memenuhi kriteria tersebut.

Kesadaran diri terdiri dari 2 kategori, yaitu internal self awareness dan external self awareness.

Internal self awareness, mencerminkan seberapa jelas kita melihat nilai-nilai, passions, aspirasi, kesesuaian diri dengan lingkungan kita, reaksi (termasuk pemikiran, perasaan, perilaku, kelebihan, dan kelemahan), dan dampak kita terhadap orang lain.

Internal self awareness terkait dengan kepuasan kerja dan hubungan yang lebih tinggi, kontrol pribadi dan sosial, serta kebahagiaan. Internal self awareness juga berkaitan negatif dengan kecemasan, stres, dan depresi.

External self awareness, berarti memahami bagaimana orang lain memandang diri kita. Orang yang memiliki external self awareness yang tinggi juga lebih terampil dalam menunjukkan empati dan mengambil perspektif orang lain.

Mudah untuk mengasumsikan bahwa ketika memiliki tingkat kesadaran diri yang tinggi dalam satu kategori akan berarti memiliki tingkat yang tinggi dalam yang lain. Namun, hasil penelitian menunjukkan hal yang berbeda, yaitu : hampir tidak ada hubungan antara keduanya.

Terdapat empat arketipe self awareness, masing-masing memiliki rangkaian peluang pengembangan yang berbeda untuk ditingkatkan, seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.

Jika Anda tertarik untuk mengetahui di mana Arketipe Anda, Anda dapat mengambil versi singkat gratis dari penilaian kesadaran diri di link berikut.

Self Awareness Quiz

Tentang refleksi

Orang yang sering refleksi tidak langsung menunjukkan hubungan yang lurus dengan pengembangan self awareness. Penelitian telah menunjukkan bahwa kita tidak memiliki akses ke banyak pikiran, perasaan, dan motif bawah sadar/unconscious yang kita cari. Intropeksi juga lebih banyak mempertanyakan "mengapa". Pikiran manusia tidak selalu dapat rasional, dan penilaian kita jarang bebas dari bias. Manusia cenderung menangkap wawasan yang ditemukan tanpa mempertanyakan validitas atau nilainya, dan mengabaikan bukti yang bertentangan.

Konsekuensi lain dengan mempertanyakan "mengapa" adalah mengundang pikiran negatif yang tidak produktif. Peneliti juga menemukan bahwa orang yang sangat introspektif juga lebih cenderung terjebak dalam pola ruminasi yang tidak produktif. Ruminasi dapat diartikan sebagai pemikiran negatif berulang yang mengganggu tentang pengalaman masa lalu atau dapat diiringi dengan emosi dan cenderung relatif stabil dari waktu ke waktu (Nolen-Hoeksema W, Morrow J, Fredrickson BL, 1993)

Pada saat melakukan refleksi, Tasha Eurich memberikan suggest dari pada mempertanyakan "mengapa", kata yang lebih tepat untuk meningkatkan insight diri dan mengurangi remunasi yang tidak produktif adalah dengan mempertanyakan "apa". Mempertanyakan "apa" dapat membantu kita lebih objektif, berfokus terhadap masa depan dan mengembangkan insight baru. Misal pada saat berhadapan dengan customer yang menyampaikan keluhan, dari pada bertanya "mengapa mereka mengatakan hal demikian kepada saya" maka lebih baik ditanyakan "apa yang dapat saya lakukan untuk menyampaikan informasi layanan dengan lebih baik?" pertanyaan itu membantu mereka untuk mengembangkan solusi.

Kapan biasanya refleksi dilakukan oleh individu?

Menurut penelitian yang dilakukan Bernie Swain, refleksi umumnya dilakukan oleh individu saat berhadapan dengan tiga kategori, yaitu :

People.

Partisipan di dalam penelitian mengemukakan bahwa mereka memiliki seseorang yang berpengaruh dan berkesan dalam hidup mereka yang dapat mendorong mereka untuk melakukan refleksi.

Misal sebuah cerita tentang Madeleine Albright, mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat. Orang yang menginspirasinya adalah ayahnya. Ayahnya merupakan seorang pria cerdas, dan berkarir sebagai Diplomat Cekoslowakia yang karirnya terputus dua kali, yaitu : pada saat Perang Dunia II dan pada saat pengambilalihan Komunis setelah perang. Setelah keluarga pindah ke Amerika Serikat, ayahnya menjadi seorang profesor yang tinggal di hunian fakultas yang sempit, langkah yang cukup menurun jika dibandingkan dengan kediaman yang dimilikinya sebagai seorang duta besar. Namun ayahnya tetap bekerja dengan gembira dan tekun. Madeleine Albright mengatakan bahwa menjadi menteri luar negeri menantang, tetapi dia tidak pernah mengalami kesulitan untuk fokus : "Saya hanya harus membayangkan ayah saya di ruang belajarnya yang tergenang air di ruang bawah tanah, bekerja dengan keras dengan kakinya di atas batu bata."

Events

Peristiwa, misal sebuah kegagalan, sebuah cedera, kematian orang lain, atau peristiwa lainnya yang menjadi titik balik dalam hidup mereka, dapat membuat orang lain melakukan refleksi. Misal, kisah tentang Tony Blair yang dulunya senang memberontak pada aturan sekolah, namun pada saat ayahnya meninggal, ia kemudian banyak melakukan refleksi. Sejak itu, ia mulai membangkitkan disiplin dan ketekunan dalam diri Tony yang pada akhirnya akan membuatnya menjadi perdana menteri Britania Raya.

Banyak perubahan yang terjadi pada diri seseorang setelah berhadapan dengan sebuah-ataupun pada serangkaian peristiwa. Membuktikan bahwa refleksi adalah kegiatan mempelajari diri, seumur hidup.

Lingkungan

Lingkungan, seperti tempat, waktu, atau pengalaman yang meliputi di dalamnya, sebagai pengaruh paling kuat dalam hidup mereka.

Contohnya, Chris Matthews, seorang komentator politik Amerika dan penulis. Pengalamannya di Peace Corps di Swaziland mengalihkannya dari sebelumnya ada di jalur akademis dan membawanya menuju kehidupan yang terlibat dalam politik dan jurnalisme.

Pengalaman pindah tempat ke lokasi baru dengan budaya yang berbeda juga dapat membawa kita melakukan refleksi tentang diri.

Refleksi adalah pemikiran yang berhati-hati. Penggunaan Refleksi melibatkan pertimbangan dan analisis sadar terhadap keyakinan dan tindakan dengan tujuan pembelajaran. Refleksi memberi kesempatan bagi otak untuk berhenti sejenak di tengah kekacauan, mengurai dan menyortir pengamatan dan pengalaman, mempertimbangkan berbagai interpretasi yang mungkin, dan menciptakan makna.

Namun, dari banyaknya keuntungan refleksi, banyak orang yang tidak melakukannya. Berikut beberapa alasannya :

1. Orang tersebut tidak memahami proses refleksi.

2. Orang tersebut tidak menyukai proses refleksi.

Refleksi memerlukan sejumlah hal yang biasanya tidak mereka sukai: yaitu mengambil jeda, mengadopsi pola pikir baru dan mendorong rasa ingin tahu, menerima kekacauan dan ketidakefisienan, dan mengambil tanggung jawab pribadi. Hal ini dapat mengarah kepada ketidaknyamanan, perasaan rapuh dan perilaku defensive.

3. Orang tersebut tidak menyukai hasil refleksi.

Ketika seseorang mengambil waktu untuk refleksi, mereka biasanya melihat cara di mana dia efektif dan yang belum efektif. Kebanyakan orang tidak menyukai kelemahan diri. Beberapa menjadi begitu defensif dalam proses tersebut sehingga mereka tidak belajar apapun, sehingga hasilnya tidak membantu.

4. Memiliki bias terhadap langkah tindakan berikutnya.

5. Tidak melihat ROI (return of investment) secara langsung dari refleksi.

Emotional Agility

Pada dasarnya, semua individu yang sehat dapat memiliki pemikiran dan perasaan yang melibatkan kritik, keragu-raguan dan rasa takut. Demikian pikiran kita didesain untuk melakukan antisipasi, menyelesaikan masalah dan menghindari resiko yang lebih keras.

Di dalam berhadapan dengan berbagai situasi yang mempengaruhi emosi, kita perlu lebih mindful, menggunakan value yang kita miliki di dalam menyelesaikan permasalahan dan dengan cara yang produktif. Emotional agility adalah tentang menjadi fleksibel dengan pikiran, perasaan, dan perilaku.

Dari beberapa studi yang dilakukan oleh Profesor Frank Bond dan rekannya dari University of London mengemukakan bahwa emotional agility dapat membantu seseorang untuk mengurangi stres, error, lebih inovatif dan meningkatkan performa kerja.

Namun, banyak orang yang masih kewalahan dengan mengelola emosinya. Berikut terdapat empat praktik yang dapat dilakukan agar individu tidak terjebak pada pikiran negatif dan emosinya sendiri :

1. Kenali pola

Langkah pertama dalam mengembangkan emotional agility adalah memperhatikan saat diri kita terjebak oleh pikiran dan perasaan. Itu sulit dilakukan, tetapi jika diperhatikan, ada tanda-tanda tertentu. Salah satunya adalah pikiran menjadi rigid (kaku-tidak fleksibel) dan berulang-ulang. Kita harus memiliki kesadaran terhadap hal tersebut, sebelum memulai perubahan.

2. Menamakan pikiran dan emosi.

Ketika pemikiran diri sendiri penuh dan merasa terjebak, salah satu strategi yang mungkin dapat membantu dalam mempertimbangkan situasi agar lebih objektif adalah dengan melakukan tindakan sederhana yaitu penamaan. Misal : "Saya tidak bekerja dengan cukup keras di tempat kerja", menjadi "Saya memiliki pikiran bahwa saya tidak bekerja dengan cukup keras di tempat kerja". Contoh lain "rekan kerja saya salah, dia membuat saya sangat marah", menjadi "saya memiliki pikiran bahwa rekan kerja saya salah, dan saya merasa marah"

Pada pemberian penamaan, latihlah diri agar jujur dan apa adanya di dalam mengakui emosi yang dirasakan. Pahami bahwa sebagai manusia, diri sendiri bisa saja mengalami beragam emosi dan berlatihlah untuk welas asih atas perasaan dan pikiran yang Anda miliki.

Manusia secara psikologis dapat melihat pengalaman pribadi dari helicopter view dan sudut pandang yang lebih luas. Bukti ilmiah yang berkembang menunjukkan bahwa praktik kesadaran sederhana dan langsung seperti ini tidak hanya meningkatkan perilaku dan kesejahteraan, tetapi juga meningkatkan perubahan biologis yang bermanfaat di otak.

3. Menerima

Kebalikan dari kontrol adalah penerimaan. Kita perlu merespons ide dan emosi dengan sikap terbuka, memperhatikannya, dan membiarkan diri mengalaminya.

Dalam hal ini, kita dapat mengambil 10 kali napas dalam-dalam, dan memperhatikan apa yang sedang terjadi pada saat ini. Dengan cara ini, kita dapat merasakan kelegaan, tetapi tidak selalu membuat diri merasa baik. Bahkan, kita mungkin menyadari seberapa terganggunya diri kita sebenarnya. Hal yang penting adalah menunjukkan belas kasih kepada diri sendiri (dan orang lain), serta memeriksa realitas dari situasi yang sedang dihadapi dengan apa adanya.

4. Bertindak sesuai nilai

Ketika kita melepaskan diri dari pikiran dan emosi sulit, kita juga memperluas pilihan. Kita dapat memutuskan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang kita miliki.

Di bawah ini adalah daftar yang diambil dari Personal Values Card Sort (2001), yang dikembangkan oleh W. R. Miller, J. C'de Baca, D. B. Matthews, dan P. L. Wilbourne, dari University of New Mexico. kita dapat menggunakannya untuk mengidentifikasi nilai-nilai yang kita pegang yang mungkin memengaruhi cara kita berhadapan dengan situasi sulit. Ketika kita membuat keputusan berikutnya, tanyakan pada diri sendiri apakah tindakan tersebut konsisten dengan nilai-nilai yang dimiliki.

Sumber : Harvard Business School (2019)
Sumber : Harvard Business School (2019)

Feedback (umpan balik)

Feedback juga dapat membantu mengembangkan self awareness. Kendati demikian, tidak semua orang dapat menerima feedback dengan mudah. Orang-orang yang ingin mengembangkan eksternal self awareness cenderung menyukai dan umpan balik dari loving critics (penyampai kritik yang menunjukkan kasih/kepedulian). Sehingga sebagai orang yang mengasihi orang lain dan peduli pada pengembangan self awareness yang dimiliki teman/saudara/rekan ataupun orang lain yang membutuhkan, kita perlu memperhatikan cara penyampaian kita terhadap pemberian feedback dengan cara yang welas asih, namun juga objektif.

DAFTAR REFERENSI

  • HBR (2019). Self Awareness. Harvard Business School Publishing Corporation. Unites States of America.
  • Istriyanti, N. L. A., & Sinarmata, N. (2014). Hubungan antara Regulasi Diri dan Perencanan Karir Pada Remaja Putri Bali. Jurnal Psikologi Udayana, 1(2), 301--310.
  • Majorsy, U., Kinasih, A. D., Andriani, I., & Lisa, W. (2013). Hubungan antara Keterampilan Sosial dan Kecanduan Situs Jejaring Sosial Pada Masa Dewasa Awal. Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Teknik Sipil), 5, 78--84. Diambil dari https://media.neliti.com/media/publications/172566-ID-hubungan-antara-keterampilan-sosial-dan.pdf
  • Nolen-Hoeksema W, Morrow J, Fredrickson BL (1993). Response Styles and The Duration of Episodes of Depressed Mood. Journal of Abnormal Psychology, 102 (1). 20--28

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun