Mohon tunggu...
Annisa Dwi Susilowati
Annisa Dwi Susilowati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Pemimpi

Hi! hope you guys like my article

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Letusan Gunung Merapi Tahun 2010 dalam Memori: Sebuah Kajian Sejarah Lisan

14 Desember 2021   23:06 Diperbarui: 26 Oktober 2022   12:20 2428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Kompas.com/Letusan Merapi Tahun 2010

Tahun 2010 merupakan salah satu tahun yang berkecamuk bagi Indonesia. Banyaknya bencana alam menerpa berbagai wilayah di Indonesia. 

Berbagai bencana yang terjadi tak hanya mendatangkan kerugian baik berupa material maupun non material saja, tetapi juga menghadirkan perasaan traumatik kepada para korbannya. 

Erupsi Merapi pada tahun 2010 hingga kini dikatakan para peneliti sebagai erupsi terbesar yang pernah terjadi dalam sepanjang Merapi mengeluarkan erupsinya. 

Erupsi Merapi tahun 2010 telah menelan ratusan korban jiwa termasuk Mbah Maridjan, sang juru kunci Gunung Merapi.

Di samping itu, tak sedikit pula yang selamat dari ancaman bencana tersebut. Jumarno, korban letusan Gunung Merapi memberikan kesaksiannya. Jumarno merupakan salah satu warga Pedukuhan Ngancar, Kelurahan Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. 

Masih lekat di ingatan Jumarno mengenai peristiwa meletusnya Gunung Merapi di Sleman tahun 2010. Saat itu ia berusia 21 tahun. 

Pada waktu itu, dirinya yang lelah setelah menjaga neneknya di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta berencana untuk beristirahat di rumahnya. 

Meski telah mengetahui keadaan Merapi yang telah meletus sebelumnya yakni pada 26 Oktober 2010, Jumarno tetap berniat untuk beristirahat di rumahnya. Alasannya ialah karena ia tidak dapat beristirahat dengan baik di pengungsian, maka dari itu dirinya kembali ke rumahnya. 

Selain itu, ayahnya merasa kasihan jika harus meninggalkan kakeknya di rumah sendirian menjadi alasan lainnya mengapa Jumarno bersama ayahnya memilih untuk tidak mengungsi di kelurahan.

Malam Jumat Pahing dalam Kalender Jawa, tepatnya pada 28 Oktober 2010, setelah maghrib, saat Merapi tengah mengeluarkan lava beserta awan panasnya, dirinya yang tengah berbaring di depan televisi ditemani ayah serta kakeknya tidak menyadari hal tersebut. 

Ia bersama ayah dan kakeknya baru menyadari erupsi tersebut ketika sekitar pukul 12 malam. Mereka merasakan hawa panas menyelimuti rumahnya. 

Menyadari bahwa telah terjadi sesuatu, Gitodaryono sang ayah Jumarno beserta kakeknya yakni Mirso Sarwono mengajaknya untuk segera melarikan diri. 

Sang kakek pun segera melarikan diri untuk mencari pertolongan. Lebih lanjut, Jumarno mengungkapkan bahwa dirinya bersama ayahnya tidak melarikan diri, namun justru bertahan di dalam rumah. 

Alasannya ialah karena dirinya menyadari bahwa sudah tidak sempat untuk melarikan diri ketika abu vulkanik dengan ketebalan setinggi mata kaki telah mencapai rumahnya dalam jarak sekitar lima langkah dari rumah.

Mengetahui bahwa tidak memungkinkan baginya untuk selamat dengan cara keluar rumah, menjadikan tidak ada pilihan baginya selain tetap tinggal di rumah. Ia dan ayahnya kemudian mencari tempat aman untuk bertahan dari wedhus gembel atau awan panas Merapi. 

Lebih lanjut, Jumarno mengatakan bahwa dirinya pada waktu itu terpikirkan sebuah ide untuk berlindung di dalam lemari. Ia menjelaskan bahwa dirinya mengeluarkan semua barang agar ia bisa masuk dan berlindung di dalamnya. 

Setelah memasukkan seluruh tubuhnya ke bagian dasar lemari, kepalanya ia hadapkan pada bagian pojok lemari sehingga ia tetap bisa bernapas. 

Sembari menunggu keadaan pulih, dirinya terus memanjatkan doa memohon keselamatan pada Tuhan. Sedangkan, ayahnya menyelamatkan diri di samping lemari.

Tak dapat terelakkan bahwa rasa putus asa akan akhir kehidupan menyelimutinya saat itu. Tak kuat menahan panasnya wedhus gembel, ia pun sempat tak sadarkan diri hingga akhirnya pertolongan datang keesokan harinya. 

Jumarno beserta ayahnya baru bisa diselamatkan keesokan harinya, yakni pada tanggal 29 Oktober 2010. Jumarno tak mengingat secara pasti kapan waktu ia diselamatkan. 

Dalam ingatannya kala itu setelah pukul 9 pagi, ketika seseorang tengah bersepeda di sekeliling rumahnya, ia pun berteriak meminta pertolongan. Mendengar hal itu, segera seseorang datang menolong Jumarno serta ayahnya. 

Evakuasi oleh relawan mulanya dilakukan pada Gitodaryono, sang ayah Jumarno. Setelah jeda sekitar satu jam, barulah relawan mengevakuasi Jumarno dengan tandu. 

Dalam kondisi yang parah akibat awan panas, tim relawan segera membawa Jumarno ke Rumah Sakit Tegalyoso yakni Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro Tegalyoso, Klaten untuk mendapatkan pertolongan. 

Jumarno mengungkapkan bahwa dirinya terkena luka bakar hampir di seluruh bagian tubuhnya di antaranya yaitu di bagian tangan, leher, wajah, pundak bagian kanan dan kiri, paha kanan dan kiri, serta kaki.

Hal serupa juga dialami oleh Endah Fri Utami, salah satu warga Dusun Bronggang, Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Saat itu dirinya berusia 16 tahun. 

Sebelumnya, dirinya telah mengetahui letusan Merapi tanggal 26 Oktober 2010. Namun, ia dan keluarganya memilih untuk menetap di rumah karena mengetahui bahwa awan panas erupsi pertama tidak sampai ke rumahnya. Menganggap bahwa rumahnya aman dari letusan Merapi, ia dan keluarganya memutuskan untuk tinggal di rumah.

Namun, ternyata selama akhir bulan Oktober Gunung Merapi meletus hanyalah merupakan awal dari rangkaian erupsi Merapi tahun 2010 saja. 

Sepuluh hari setelah erupsi pertama pada 26 Oktober 2010, Gunung Merapi kembali mengeluarkan muntahan lava beserta awan panasnya pada 5 November 2010. Sebelumnya pada tanggal 4 November 2010 pukul 12 malam, Endah masih mengobrol bersama keluarganya. 

Kemudian, terdengar suara seseorang mengetuk pintu sembari meminta tolong dari arah luar. Mendengar hal itu, ibu Endah membukakan pintu dan saat itulah tepatnya Endah beserta anggota keluarganya yang lain menyadari bahwa Merapi kembali meletus hingga mencapai rumahnya. 

Melihat ibunya yang langsung terpental sampai ke dapur, dirinya segera memasuki kamar sehingga tidak langsung terkena awan panas. Selama 15 detik, dirinya kesulitan untuk bernapas. 

Lebih lanjut, Endah mengungkapkan bahwa yang dirasakannya saat itu ialah ia sempat mati rasa akibat hawa panas yang disertai bau belerang. 

Berbeda dengan Endah yang menyelamatkan diri di kamar, kakak laki-lakinya memilih untuk bertahan di kamar mandi, sedangkan kakak perempuannya bertahan di dapur. 

Endah mengungkapkan bahwa ia sempat terjebak di kamar karena bangunan rumahnya yang runtuh karena awan panas telah menutup akses keluar dari kamar.

Mengetahui hal itu, ayahnya yang berniat mencari bantuan berpesan agar Endah dan kakak-kakaknya tidak meninggalkan rumah. Saat hujan mengguyur desanya, barulah kemudian ayahnya pergi ke luar untuk mencari pertolongan. 

Setelah berhasil menyusuri sungai dan melewati lapangan, ayahnya kemudian menemukan sukarelawan yang mengendarai mobil pick up. Mendengar permintaan tersebut, sukarelawan segera mengevakuasi Endah beserta kakak-kakaknya. 

Butuh kira-kira dua hingga tiga jam dalam proses evakuasi dirinya beserta keluarganya. Tepatnya sekitar subuh, Endah dan keluarganya sampai di rumah sakit. 

Endah menjelaskan bahwa dirinya sempat tak sadarkan diri beberapa hari akibat luka bakar yang diperolehnya dari awan panas Merapi.

Setiap terjadinya suatu peristiwa tentu memiliki hikmahnya masing-masing. Setelah 11 tahun berlalu, baik Jumarno maupun Endah telah membangun kembali kehidupan bersama keluarga mereka masing-masing. 

Meski sudah 11 tahun berlalu, peristiwa meletusnya Gunung Merapi pada tahun 2010 tentunya memunculkan trauma yang sangat mendalam bagi para korbannya. Salah satunya Jumarno. 

Meskipun hingga kini ia sudah tidak menempati rumah tersebut dan pindah ke rumah lain yang dekat dengan rumah kediamannya dahulu, setiap kali dirinya berada di rumahnya yang sebelumnya ia selalu terbayang-bayang akan kejadian erupsi Merapi tersebut. 

Bahkan Jumarno belum pernah tidur kembali di rumah tersebut dan tidak akan datang kecuali ada kepentingan. 

Hingga kini, ia memilih untuk lebih berhati-hati. Jumarno mengungkapkan bahwa saat ini ia sudah berbekal Handy Talkie untuk berkomunikasi jika sewaktu-waktu muncul kabar untuk berevakuasi akibat Gunung Merapi erupsi kembali.

Bencana alam memang sejatinya merupakan sebuah ancaman yang tidak dapat diprediksi bagi setiap kalangan yang menghadirkan kerugian baik materi maupun non materi. 

Kerugian berupa materi memang bisa digantikan kembali, tetapi perasaan traumatik yang ditimbulkannya tidak akan pernah terlupakan dalam ingatan memori korban. 

Baik traumatik akan terancamnya nyawa korban saat itu, munculnya rasa khawatir saat bepergian, maupun kehilangan nyawa orang terkasih mereka. 

Tidak terelakkan bahwa bencana menyebabkan penurunan kemampuan seseorang dalam kehidupannya seperti bersosialisasi maupun dalam kegiatan memenuhi kebutuhan ekonomi. 

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa aspek psikologis korban sudah seharusnya mendapat perhatian penting dalam menanggulangi bencana agar korban dapat sepenuhnya pulih dan menerima peristiwa kelam tersebut sebagai bagian dari sejarah mereka.

REFERENSI

Merapi Erupsi, Bagong Mengisahkan Selamat dari Letusan 10 Tahun Lalu Berkat Lemari Tua. Jakarta: Suaradotcom, 2020. Akses 12 Desember 2021, https://www.youtube.com/watch?v=KkFNIFAc_zI.

Selamat dari Erupsi Merapi 2010 karena Menahan Nafas. Jakarta: Harian Kompas, 2021. Akses 13 Desember 2021, https://www.youtube.com/watch?v=MRXcy7fZFAY&list=PLOM_n-IgN9le-2s-J1rUBPVpeQXnCzXw_&index=14.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun