Mohon tunggu...
Annisa Solihat
Annisa Solihat Mohon Tunggu... Penulis - Ibu Rumah Tangga

Menulis dan Membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah Aminah

4 Januari 2023   01:37 Diperbarui: 4 Januari 2023   01:42 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aminah belum mau beranjak dari kursi goyang. Ia memejam, tapi tidak tidur. Di jari telunjuknya melingkar sebuah alat yang setiap tiga detik ia tekan. Bersamaan dengan itu, mulutnya turut berkomat-kamit. Bila ayunan kursinya mulai melambat, ia akan mengentakkan kakinya ke lantai secara perlahan. Melihat hal tersebut, Jum merasa tidak enak hati. Mengingat majikannya tampak tidak seperti biasanya.

Jum baru tiga bulan bekerja di rumah Aminah, dan ia sudah tahu kebiasaan majikannya itu. Seharusnya, setelah sarapan, Aminah akan mengawasinya. Wanita yang telah menjanda selama bertahun-tahun itu tidak akan membiarkan Jum mengabaikan debu sedikit pun. Bahkan, ia tidak segan meminta Jum untuk mengulangi pekerjaannya bila dirasa kurang sempurna.

Jum dengan sapunya melintasi Aminah. Ia tampak curi-curi pandang pada majikannya. "Gak nonton tivi, Buk?"

"Saya nyalain, ya, Buk," katanya seraya menyalakan televisi.

"Acara gosipnya udah mulai, Buk," katanya lagi.

"Cerewet betul kamu, Jum." Akhirnya Aminah menegakkan tubuhnya. Lalu, ia menatap Jum dengan sendu.

"Gak usah nyuci kamu, Jum. Kayaknya bakal ujan lagi," ucap Aminah sembari beranjak pergi ke arah kamar. Suara geledek memang mulai terdengar bersahut-sahutan.

"Lah, Buk, kok malah ngamar." Jum menggaruk kepalanya yang kebetulan gatal.

"Jangan lupa kamu siapkan penadah, Jum," ucap Aminah sebelum pintu kamarnya ditutup.

Lantas Jum menepuk jidatnya. Kini ia mengerti mengapa perilaku sang majikan tidak seperti biasanya. Hujan deras yang terjadi terus-menerus membuat Aminah kelelahan. Karena ia harus bolak-balik membuang air akibat bocor di beberapa titik plafon. Untung saja ada Jum. Setidaknya wanita itu jauh lebih muda ketimbang Aminah, sehingga ia bisa diandalkan untuk membantu mengangkat ember berisi air, misalnya.

Tiba-tiba, terdengar suara dari ponsel yang tengah diisi dayanya di atas bufet, dekat televisi. Jum bergegas, hendak mengambil dan memberikannya kepada Aminah. Namun,  niat itu ia urungkan setelah melihat nama yang tertera di layar ponsel.

"Buset, anak ini! Emak lu setres gara-gara elu!" Jum memaki ponsel majikannya. Ia pun memilih untuk mengabaikan panggilan itu. Ia tidak mau mengganggu Aminah yang tengah beristirahat.

Kemudian, Jum melanjutkan aktivitasnya, yaitu menyapu. Ia teringat ketika pertama kali menyapu di rumah itu. Ia sampai terengah-engah. Itu baru menyapu, belum mengepel, mencuci baju dan lainnya. Ia sempat ragu untuk melanjutkan bekerja di rumah Aminah. Namun, ia menjadi iba tatkala melihat perdebatan antara sang majikan dan putranya yang baru saja menelepon.

Entah apa yang menyebabkan pertengkaran antara ibu dan anak itu. Yang Jum ingat, saat itu banyak alat masak yang menjadi korban. Panci, wajan, dan sudip melayang lalu jatuh, menghasilkan bunyi, "krontang-krontang." Jum bersyukur karena anak bungsu Aminah tidak menyentuh barang pecah belah.

Jum menghentikan kegiatannya dengan tiba-tiba. Ia menengadah, indra pendengarnya dipertajam. Ia menutup mata agar lebih fokus lagi. Helaan napas keluar dari mulutnya ketika suara air yang seperti mengetuk-ngetuk atap semakin terdengar jelas. Jum kembali mendongak, matanya berkeliaran menyusuri plafon. Dengan cepat, ia menaruh ember di titik plafon yang terdapat jejak rembesan air hujan.

Rumah Aminah memang luas dan tertata rapi. Namun, usia rumah itu tidak bisa disembunyikan. Jum harus menyapu lantai beberapa kali, akibat kayu yang lapuk. Kekurangan rumah itu akan semakin terlihat ketika musim hujan. Banyak titik di plafon rumah itu yang berhasil diterobos air hujan. Bahkan, ada satu titik paling parah. Di lantai dua, plafon terkoyak akibat terpaan hujan terus-menerus. Akibatnya, Jum bisa melihat hujan dalam rumah. Hal itulah yang membuat sang majikan merasa remuk raganya.
***

Dengan sigap, Jum mengambil ember dengan diameter lebih besar. Lalu ia membawanya menapaki satu per satu anak tangga. Kemudian, ditaruhnya ember berwarna hitam itu tepat di bawah plafon yang terkoyak. Ian mendongak seraya berdoa agar kali ini hujan tidak terlalu deras. Jum menghela napas ketika air mulai menembus dan berjatuhan ke ember.

"Buat apa kamu liatin bocor? Jum, Jum." Aminah datang membawa gayung dan ember kecil.

"Astagfirullahalazim," kata Jum seraya melompat. Aminah hanya menggeleng melihat tingkah pekerjanya itu.

"Ibuk ngapain ke sini? Mau ikut liatin air turun?" lanjut Jum mengoceh.

"Iya, Jum. Siapa tau airnya berubah jadi berlian," ujar Aminah sembari melempar gayung ke arah Jum.

Keduanya sempat terkekeh sebelum akhirnya diam kembali. Dering ponsel Aminah yang ditaruh di saku daster adalah penyebabnya. Seketika wajah Aminah mengeras. Napas terembus dengan kuat dari lubang hidungnya yang besar. Namun, otot di wajahnya seketika mengendur tatkala ia melihat layar ponsel. Belum sampai lima menit, air mukanya kembali masam.

"Napa, Buk?" tanya Jum yang sedang menyiduk air dari ember besar ke ember kecil. Sekilas wajahnya seperti tanah liat yang terkena cipratan air.

"Udah, sih, Buk, si Bagas mah gak usah dipikirin. Ini kan rumah Ibuk," ucap Jum sok bijak.

Belum ada satu pun kata yang meluncur dari mulut Aminah. Justru sesuatu muncul dari matanya. Sebentuk kristal cair jatuh membasahi pipi. Hal itu membuat mulut Jum ikut terkunci. Keduanya tenggelam dalam keheningan.

Jum memilih fokus menunggu ember penuh, lalu memindahkannya ke ember kecil. Kemudian membuangnya ke balkon. Dari sanalah air dikirim kembali ke tanah melalui pipa yang terhubung dari lantai atas ke bawah. Ia terus melakukan kegiatan itu sambil sesekali mengecek Aminah yang masih berkutat dengan ponselnya.

Setelah hujan sedikit reda, Jum pun bisa duduk, mengistirahatkan tubuhnya yang mulai lelah. Ia tersenyum ketika melihat air yang jatuh melewati plafon sudah tidak terlalu banyak. Minimal, butuh waktu yang lebih lama sampai ember itu kembali penuh.

"Putra, Karima, mereka ingin rumah ini dijual juga, Jum." Aminah tiba-tiba membuka pembicaraan.

"Kamu tau, Jum? Rumah ini dulu hanya setengahnya saja. Bapakku yang bangun. Suamiku menambah setengahnya lagi. Loteng ini, loteng ini peninggalan almarhum suamiku, Jum, almarhum ayah mereka, Jum!" Aminah tidak mampu lagi menahan keluh kesahnya. Sementara Jum, ia enggan mengomentari. Bukan karena tak ingin mencampuri, tapi karena ia memang tidak mengerti.

"Putra menyuruhku untuk tinggal di rumah mereka. Karima juga. Kenapa, sih, Jum? Kenapa mereka gak mau nunggu, Jum? Setelah aku mati, terserah mereka mau jual atau ancurin rumah ini." Aminah mulai terisak.

"Sabar, Buk." Hanya itu yang bisa diucapkan Jum.

"Sabar, Jum? Kurang sabar apa aku ini, Jum?" kata Aminah. Ia berdiri, lalu meninggalkan Jum dengan tergesa-gesa. Ia menuruni satu per satu anak tangga. Pikirannya yang semrawut membuat ia tidak fokus dengan pijakannya. Kakinya yang basah membuat ia tergelincir. Beruntung, jemarinya sempat meraih pagar pembatas. Bersamaan dengan itu, Aminah menjerit.

"Astagfirullah, Buk!" seru Jum seraya menghampiri sang majikan yang tengah tersedu. Dengan perlahan dan hati-hati, ia memapah Aminah turun, lalu membawanya duduk di sofa.

"Saya telepon Bang Putra, ya, Buk," ucap Jum menawarkan.

"Gak usah! Nanti dia malah makin nyuruh aku jual rumah ini." Dahi Aminah mengerut.

"Ya sudaaah." Jum hanya bisa pasrah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun