Mohon tunggu...
Annisa Solihat
Annisa Solihat Mohon Tunggu... Penulis - Ibu Rumah Tangga

Menulis dan Membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah Aminah

4 Januari 2023   01:37 Diperbarui: 4 Januari 2023   01:42 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Napa, Buk?" tanya Jum yang sedang menyiduk air dari ember besar ke ember kecil. Sekilas wajahnya seperti tanah liat yang terkena cipratan air.

"Udah, sih, Buk, si Bagas mah gak usah dipikirin. Ini kan rumah Ibuk," ucap Jum sok bijak.

Belum ada satu pun kata yang meluncur dari mulut Aminah. Justru sesuatu muncul dari matanya. Sebentuk kristal cair jatuh membasahi pipi. Hal itu membuat mulut Jum ikut terkunci. Keduanya tenggelam dalam keheningan.

Jum memilih fokus menunggu ember penuh, lalu memindahkannya ke ember kecil. Kemudian membuangnya ke balkon. Dari sanalah air dikirim kembali ke tanah melalui pipa yang terhubung dari lantai atas ke bawah. Ia terus melakukan kegiatan itu sambil sesekali mengecek Aminah yang masih berkutat dengan ponselnya.

Setelah hujan sedikit reda, Jum pun bisa duduk, mengistirahatkan tubuhnya yang mulai lelah. Ia tersenyum ketika melihat air yang jatuh melewati plafon sudah tidak terlalu banyak. Minimal, butuh waktu yang lebih lama sampai ember itu kembali penuh.

"Putra, Karima, mereka ingin rumah ini dijual juga, Jum." Aminah tiba-tiba membuka pembicaraan.

"Kamu tau, Jum? Rumah ini dulu hanya setengahnya saja. Bapakku yang bangun. Suamiku menambah setengahnya lagi. Loteng ini, loteng ini peninggalan almarhum suamiku, Jum, almarhum ayah mereka, Jum!" Aminah tidak mampu lagi menahan keluh kesahnya. Sementara Jum, ia enggan mengomentari. Bukan karena tak ingin mencampuri, tapi karena ia memang tidak mengerti.

"Putra menyuruhku untuk tinggal di rumah mereka. Karima juga. Kenapa, sih, Jum? Kenapa mereka gak mau nunggu, Jum? Setelah aku mati, terserah mereka mau jual atau ancurin rumah ini." Aminah mulai terisak.

"Sabar, Buk." Hanya itu yang bisa diucapkan Jum.

"Sabar, Jum? Kurang sabar apa aku ini, Jum?" kata Aminah. Ia berdiri, lalu meninggalkan Jum dengan tergesa-gesa. Ia menuruni satu per satu anak tangga. Pikirannya yang semrawut membuat ia tidak fokus dengan pijakannya. Kakinya yang basah membuat ia tergelincir. Beruntung, jemarinya sempat meraih pagar pembatas. Bersamaan dengan itu, Aminah menjerit.

"Astagfirullah, Buk!" seru Jum seraya menghampiri sang majikan yang tengah tersedu. Dengan perlahan dan hati-hati, ia memapah Aminah turun, lalu membawanya duduk di sofa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun