Disisi lain, pemimpin Arab dari bani Hashimiyah yang juga penguasa kota suci Mekah saat itu yaitu Hussein Bin Ali melihat perang dunia sebagai kesempatan untuk memberontak pada Ottoman Turki yang sudah menguasai tanah Arab selama 4 abad. Hussein berambisi punya negara Arab sendiri yang terbentang mulai dari Hejaz hingga Suriah (termasuk Palestina) atau dikenal dengan istilah "Greater Syria".
Untuk mewujudkan ambisinya itu, Hussein bersekutu dengan Inggris dan melakukan negosiasi lewat surat menyurat dengan pejabat Inggris di Mesir yaitu Sir Henry Mc Mahon tentang pembagian wilayah Timur Tengah jika Ottoman kalah. Koresponden antara Hussein Bin Ali dan Mcmahon berlangsung sejak 14 Juli 1915 hingga 30 Januari 1916. Hussein begitu yakin pihak Inggris akan memenuhi permintaannya untuk memiliki kerajaan Arab-Suriah sendiri. Karena itu dia dan kedua anaknya (Faisal dan Abdullah) memimpin revolusi bangsa Arab. Pada Juni 1916 sekitar 70 ribu pasukan Arab ikut berperang melawan pasukan Ottoman.
Pada tahun 1917 ketika perang dunia masih berkecamuk, terjadi revolusi di Rusia. Bolsheviks membocorkan perjanjian rahasia itu, perjanjian Sykes-Picot dipublikasikan di Koran Pravda 23 November 1917 lalu menyebar di Koran Manchester Guardian Inggris. Setelah Hussein mengetahui perjanjian Sykes-Picot, akhirnya dia menyadari bahwa Inggris sudah mengkhianati Arab karena isi perjanjian Sykes-Picot bertentangan dengan isi perjanjian Hussein-McMahon. Disisi lain Inggris juga menjanjikan Palestina untuk jadi tanah air bangsa Yahudi yang tertuang dalam deklarasi Balfour.
Mulailah terjadi konflik akibat dari 3 perjanjian yang saling bertentangan antara "Hussein-McMahon Correspondence", "Sykes-Picot Agreement" dan "Balfour Declaration" yang pada intinya saling berebut wilayah di Timur Tengah untuk kepentingan masing-masing.
[caption id="attachment_357299" align="aligncenter" width="560" caption="Peta wilayah kerajaan Arab-Suriah 1920 sesuai perjanjian Hussein-McMahon (tidak termasuk Palestina) sumber foto ibctimes.co.uk"]
Khilafah Arab-Suriah Bertahan Hanya 4 Bulan
Hussein bin Ali serta anaknya, Faisal bersikeras agar Inggris menepati janjinya karena Arab sudah membantu Inggris mengalahkan Ottoman. Sebagai balas jasa, pihak Inggris memberikan kekuasaan atas Hejaz pada Hussein bin Ali memberikan Transjordan pada Abdullah dan Irak pada Faisal. Tapi sebelum Faisal ditempatkan di Irak, dengan persetujuan Jendral Inggris, Edmund Allenby yang mengambil alih Damaskus dari pasukan Ottoman, Faisal berniat mendirikan kerajaan Arab yang terbentang dari Hejaz hingga Irak, Suriah dan Transjordan dengan ibu kota di Damaskus sesuai dengan perjanjian Hussein-McMahon.
Tapi disisi lain Perancis juga menuntut Inggris menepati perjanjian Sykes-Picot yang menempatkan Suriah dibawah pengaruh Perancis. Pada Konperensi Perdamaian Perancis 1919, Eropa memutuskan untuk mengabaikan keinginan Arab dan perjanjian di Eropa memutuskan Suriah tetap dibawah mandat Perancis.
Keputusan itu membuat perhimpunan nasionalis muda Arab melakukan kongres nasional dan menuntut dunia arab bersatu dibawah pimpinan Faisal. Pemilihan mendadak diadakan, seluruh wakil dari tanah Arab, termasuk Palestina dan Libanon dipanggil. Keinginan bangsa Arab saat itu, membentuk negara Suriah yang berbentuk kerajaan berdasarkan pada keadilan dan kesetaraan untuk seluruh bangsa Arab dan terlepas dari unsur agama.
Bangsa Arab masih berharap dengan janji yang diberikan Inggris sebelumnya bahwa seluruh tanah Arab yang membentang dari Aleppo di bagian selatan Suriah hingga ke Aden di sebelah utara Yaman adalah bagian dari kerajaan Arab-Suriah dengan Faisal sebagai rajanya. Saat itu Faisal meminta bantuan Inggris dan Amerika untuk menentang klaim Perancis atas Suriah.
[caption id="attachment_357300" align="aligncenter" width="560" caption="Faisal paling depan dalam acara Peace Conference di Perancis 1919 lalu dinobatkan jadi raja Suriah 8 Maret 1920. sumber foto tusenord.com"]