Puta Dino adalah kain tenun tidore. Â Apakah Puta Dino hanya sekedar nama yang berarti kain tenun, ataukah nama kain khas tidore, sebagai karya budaya yang merefleksikan estetika, filosofi, dan sejarah masyarakat tidore?
SEKAPUR SIRIH
Memiliki dan membaca buku ini bagai kembali belajar sejarah tentang Tidore. Â Meski konsentrasi utamanya adalah mengurai cerita tentang tenun Tidore yang hampir punah, buku ini mengajarkan dan mengajak kita mengikuti uraian sejarah dalam berbagai sisi. Â Khususnya sejarah di dunia wastra yang sempat punah lalu diangkat kembali sebagai bagian dari jejak sejarah tenun Tidore.
Buku yang adalah juga sebuah karya ilmiah ini dipersembahkan oleh 3 penulis (Dr. Ade Sholihat, S.S, M.A, Dwi Woro Retno Mastuti, M. Hum, dan Dr. Ari Anggari Harapan, M. Hum) dengan support luar biasa dari Rumah Cinwa (Cinta Wayang) dan tentu saja Universitas Indonesia dimana ke-3 wanita tangguh ini berkarya setiap harinya.
Dalam pemaparannya setiap pembaca diajak untuk berpikir secara berjenjang, satu demi satu, hingga mencapai satu titik kulminasi pemahaman yang sama dengan Tim Penulis. Â Mulai dari kisah masa lampau, pengungkapan dan pembuktian keberadaan tenun itu sendiri, proses revitalisasi, hingga kondisi yang ada saat ini. Â Semua terurai lengkap dan lugas diuraikan melalui 5 Bab dengan rincian sebagai berikut:
Bab 1. Â Pendahuluan. Â Mengantarkan pembaca untuk memahami tema dan latar belakang permasalahan yang diangkat pada tulisan.
Bab 2. Â Tenun dan Wastra Nusantara. Â Memaparkan tenun sebagai salah satu wastra yang dikembangkan oleh masyarakat Indonesia dan dunia sejak masa lampau. Â Bab kedua ini juga bertujuan untuk menjawab pertanyaan apakah memang ada kebudayaan menenun di masyarakat Tidore pada masa lampau.
Bab 3. Menelusuri Jejak Puta Dino.  Bab ini mencakup paparan perjalanan Tim Penulis dalam menelusuri jejak Puta Dino.  Dijelaskan juga tempat-tempat yang dikunjungi dari sisi sejarah dan kondisinya pada saat ini.
Bab 4. Â Pencarian Identitas. Â Merangkai cerita tentang upaya dari Ibu Anita Gathmir, seorang diaspora Tidore, dalam menggerakkan ngofa tidore (anak-anak Tidore) untuk menghidupkan kembali budaya menenun di Tidore dalam perspektif globalisasi.
Bab 5. Â Penutup. Meliputi resume/rangkuman dan paparan tentang keberlanjutan kegiatan menenun di Tidore saat ini.
Tanpa mengurangi sedikitpun nilai penelitian yang sudah dilakukan, ijinkan saya meracik sendiri ulasan dan kesimpulan atas buku ini. Â Tentu saja dengan birama kata dan kalimat ala blogger. Â Seorang Blogger yang sudah terlanjur jatuh cinta dengan Tidore dan 6 kali dapat kesempatan mondar-mandir ke Bumi Marijang lewat berbagai jalur rezeki yang mampir berkali-kali.
BEBERAPA DEFINISI YANG WAJIB DIKETAHUI
Sebelum menikmati racikan tulisan saya, berikut adalah beberapa kosa kata yang wajib pembaca ketahui terlebih dahulu.
Puta Dino adalah sebutan untuk kain tenun dalam bahasa Tidore. Â Puta berarti kain. Â Dino berarti Tenun atau Anyaman.
Revitalisasi adalah suatu proses atau cara dan perbuatan untuk menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya terberdaya menjadi vital/sangat penting/sangat diperlukan untuk kehidupan.
Diaspora adalah perpindahan individu atau kolektif dari daerah/negara asal ke daerah/negara lain; individu atau kolektif yang tinggal di luar daerah/negara asalnya; migrasi.
Tenun merupakan sebutan untuk jenis kain atau wastra yang dihasilkan dengan menggunakan alat tenun tradisional. Â Sedangkan menenun merupakan salah satu ketrampilan menghasilkan kain.
Wastra adalah jenis kain yang dihasilkan secara tradisional, dengan tangan manusia, tanpa menggunakan alat mesin. Â Selain itu, wastra biasanya memiliki makna dan simbol kebudayaan tertentu dari masyarakat yang menghasilkannya. Â Penggunaan istilah wastra mengacu kepada produk kebudayaan yang memiliki nilai tinggi. Â Kain tenun yang dihasilkan secara tradisional dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) merupakan salah satu jenis wastra.
KEMBALI KE MASA LAMPAU
Sebelum menenun atau menguasai teknik dan teknologi pembuatan kain, manusia di jaman lampau sudah memiliki kemampuan membuat pakaian dari kulit kayu atau binatang. Â Menurut Anas (1998), manusia prasejarah di nusantara, sejak sebelum budaya Hindu-Budha datang, telah menguasai teknologi dan membuat pelindung tubuh dari kulit binatang, kulit kayu, atau pohon. Â Dari bukti-bukti arkeologis, masyarakat prasejarah Indonesia, antara lain di Sulawesi, Kalimantan, Seram, Halmahera, Nias, dan sebagainya, telah membuat pakaian dari kulit kayu yang disebut sebagai FUYA atau TAPA.
Seiring dengan perkembangan jaman, manusia pun mengenal bahan-bahan lain yang bisa digunakan untuk pembuatan kebutuhan primer ini. Â Bahan-bahan tersebut seperti serat daun nanas, filamen pisang, katun dari pohon kapas, sutra, dan sebagainya. Â Hingga dalam satu fase tertentu seiring dengan meningginya kemampuan berpikir, terciptalah ragam pewarnaan dan pengembangan motif pada setiap materi sandang tersebut.
Tenun sendiri sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Â Media yang digunakan pada waktu itu antara lain tikar, keramik, nekara, termasuk kain. Kemampuan memberi gambar atau ornamen pada berbagai media, merupakan kemampuan manusia yang lebih tua dari kemampuan menciptakan kain dengan teknik menenun (Subagiyo, 2008). Â Jadi sejatinya, skill menciptakan seni sandang sudah dimulai ketika manusia terikat akan kebutuhan utama dalam hidup, jauh sebelum tenun lahir sebagai salah satu mahakarya di dunia sandang.
Fuya atau Tapa pun mulai mengalami perubahan seiring dengan kemampuan manusia melahirkan tenun yang mengusung motif-motif yang mencerminkan budaya dan karakter juga kearifan lokal. Â Dari sinilah kemudian lahir ULOS untuk masyarakat Batak di Sumatera Utara, TAPIS untuk masyarakat Lampung, SONGKET untuk masyarakat Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, serta berbagai kain-kain di berbagai daerah lainnya. Â Menurut info yang ada di buku ini, Songket adalah mahakarya seni tenun tertinggi di Indonesia.
Untuk masyarakat Tidore sendiri kisah "pencarian" jejak Puta Dino mengalami proses dan usaha yang tidaklah sedikit. Â Catatan awal yang terangkat adalah bahwa busana adat non tenun terbagi berdasarkan atas strata/kedudukan dari seseorang. Â Pakaian-pakaian yang dikenakan pada masa lampau lebih banyak bersumber dari perdagangan dengan berbagai negara. Â Jenisnya pun beragam. Â Mulai dari sutra, katun, dan bahan-bahan lain yang biasa digunakan untuk membuat pakaian. Â Bahkan tercatat bahwa materi pakaian kala itu banyak diambil dari batik-batik Jawa yang dikirim atau diperdagangkan di Tidore. Â Jadi bisa diambil kesimpulan bahwa pada saat itu tenun tidaklah menjadi satu produk yang dominan dikenakan atau diperkenalkan dalam kegiatan sehari-hari.
Jejak tenun Tidore sendiri dimulai dari ditemukannya alat tenun tua yang ada di Kadato Kie (Istana Sultan) di Soa Sio. Â Pengungkapan keberadaan tenun Tidore di masa lampau ini dibantu dengan studi pustaka, mewawancara beberapa informan yang sudah berusia di atas 70 tahun (Ibu Zainab, Paman Amien Faroek yang juga adalah Jojau/Perdana Mentri Kesultanan Tidore), serta beberapa helai kain tenun yang masih disimpan oleh masyarakat dalam jumlah terbatas.
Pencarian dan pengungkapan jejak Puta Dino kemudian berlanjut ke Halmahera Tengah. Â Daerah yang secara administratif berada di bawah Kota Tidore Kepulauan. Â Dalam sebuah dokumen yang ada di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), terungkap adanya dokumen yang menceritakan adanya kain dan busana berlabel Tidore/Halmahera.
Untuk selanjutnya Tim Peneliti bertemu dengan 1 informan lagi yaitu Bapak Muhamad Usman yang sudah berusia 85 tahun. Â Beliau tinggal di Gurabati (salah satu dari 5 negri bagian Tidore yang sekarang disebut sebagai Kelurahan) yang berada tidak jauh dari pusat kota Tidore (Soa Sio). Â Menurut Pak Usman, masyarakat Gurabati pernah berkegiatan menenun atau membuat kain dengan alat yang sederhana, yang disebut dino atau alat tenun. Â Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh para wanita dewasa pada siang hari. Â Tapi kegiatan menenun ini kemudian menghilang pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (sekitar 1942-an).
Dari berbagai penelusuran inilah akhirnya bisa dipastikan bahwa jaman dahulu ada kegiatan/kehidupan menenun dan memproduksi tenun di Tidore.
BERBICARA TENTANG MASA KINI
Saya sangat memahami saat Anita Gathmir mengungkapkan alasannya untuk melakukan Revitalisasi atas Puta Dino. Â Dalam sebuah zoom meeting yang diadakan dalam rangka mengulas buku ini, 2 alasan terkuat yang disampaikan Anita adalah bukti kecintaan atas tanah leluhur Tidore dan sebuah pertanyaan besar yang muncul saat melihat ketidakhadiran kain khas Tidore dalam setiap kesempatan formal. Â Termasuk diantaranya adalah upacara-upacara adat.
Berbekalkan semangat dan alasan-alasan yang penuh tekad tersebut, Anita kemudian mendapatkan dukungan dari Bank Indonesia cabang Maluku Utara untuk melakukan langkah-langkah yang signifikan dan nyata dalam mewujudkan mimpi revitalisasi Puta Dino.
Mengirimkan beberapa pemuda dan pemudi Tidore untuk belajar menenun di Jepara yang kemudian meneruskan keahlian tersebut kepada teman-teman lain yang berkenan menjadi ujung tombak produksi Puta Dino di Tidore. Â Penelusuran akan motif khas Tidore pun dilakukan seiring sejalan dengan perluasan dan pengukuhan skill menenun yang sudah didapat. Â Hingga akhirnya mendirikan sebuah rumah khusus tenun yang diberi nama Rumah Tenun Puta Dino Kayangan Ngofa Tidore. Â Rumah ini dibangun atas bantuan Bank Indonesia cabang Maluku Utara, sementara tanah untuk dipendiriannya adalah bentuk gotong royong dari berbagai sumber pendanaan dengan sistem wakaf. Â Rumah bersejarah ini berada di Topo Tiga, Kelurahan Soa Sio. Â Mulai dibangun pada 2018 dan akhirnya diresmikan operasionalnya pada 14 September 2019, Rumah Tenun Puta Dino Kayangan Ngofa Tidore lahir dengan prasasti yang ditandatangani oleh Ibu Destry Damayanti, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Rumah dengan 3 lantai inilah yang mengukir satu demi satu jejak sejarah dari sebuah tekad besar untuk melakukan revitalisasi Puta Dino. Â Bersama Ngofa Tidore, anak-anak muda Tidore dibawah asuhan Anita, jenama Puta Dino Kayangan pelan tapi pasti menjadi agen perubahan dan pelopor bangkitnya kembali Puta Dino. Â Keberadaan merekapun diharapkan dapat membantu melambungkan keberadaan Tidore sebagai tempat yang layak untuk dikunjungi, salah satu destinasi wisata dan budaya di timur Indonesia.
Dari kegiatan revitalisasi inilah kemudian lahir beberapa inspirasi motif tenun Tidore.  Motif yang menggambarkan beberapa kebajikan dan kekayaan budaya serta keluhuran budi orang-orang Tidore.  Beberapa diantara yang disebutkan dalam buku ini adalah Barakati yang berarti diberkati.  Marasante yang mengandung makna keberanian, sikap gigih dan berani dari masyarakat Tidore.  Jodati yang berarti ketulusan dengan tampak seperti anyaman bambu.  Mapolu yang berarti mengayomi dilengkapi dengan kehadiran lambang Kadato Kie.  Air Purba yang dipersembahkan kepada Tuan Guru/Imam Abdullah Qadhi Abdussalam.  Ada juga motif Kalajengking yang menggambarkan kegagahan Sultan Nuku, seorang pahlawan nasional dari Tidore.  Gambar kalajengking juga merupakan simbol dari karakter Pangeran Nuku yaitu hati-hati dan penuh perhitungan, teguh, dan fokus pada tujuan, penuh perjuangan, dermawan, dan kasih sayang.  Lalu ada motif Salawaku dengan gambar perisai yang melambangkan kepahlawanan.
Lewat tenun inilah kemudian tercipta banyak kesempatan untuk menggali potensi kesejarahan Tidore menjadi motif-motif yang cantik. Â Kesejarahan Tidore sebagai sebuah kesultanan besar yang memainkan peranan penting di Maluku Utara dan nusantara telah dijadikan sebagai inspirasi melahirkan berlembar-lembar kain tenun yang kaya akan informasi dan sebagai media komunikasi tentang kebesaran Tidore itu sendiri.
BERBAGAI CATATAN MENARIK dan SARAT PENGETAHUAN yang BISA KITA TEMUKAN di DALAM BUKU
Selain menceritakan tentang kelahiran dan proses revitalisasi Puta Dino, ada beberapa catatan menarik di buku ini yang layak kita ketahui untuk menambah pengetahuan serta sejarah.
Pakaian adat untuk acara-acara adat/ritual adat dikenakan berdasarkan posisi/kelas seseorang. Â Kelas bangsawan meliputi Sultan dan keluarga serta aparat kelengkapan Sultan (Bobato), termasuk diantaranya Bobato adat. Â Untuk Sultan baju kebesarannya dinamakan Manteren Lamo. Â Meliputi jubah panjang, celana panjang, dan penutup kepala. Â Untuk permaisuri/Boki, baju kebesarannya berupa kebaya panjang dengan bawahan kain, yang disebut Kimun Gia. Â Sementara setiap golongan bangsawan dan keluarga dari berbagai marga memiliki pakaian khas masing-masing yang terus dikenakan dan atau dipertahankan hingga saat ini. Â Di beberapa acara adat yang pernah saya hadiri, saya melihat Sultan Husain Sjah mengenakan baju kebesaran berwarna hitam, putih, dan merah dengan celana dan penutup kepala yang menyesuaikan.
Untuk rakyat biasa, baju adat yang dikenakan disebut Baju Koja. Â Untuk pria disebut Bela Dada/Bardada berupa blazer/jas pendek dengan dalaman putih tanpa kerah, celana panjang bukan jeans dan ikan pinggang kain. Â Untuk wanita disebut Basusu yang berupa baju kurung dipadupadankan dengan kain untuk bawahan.
Dalam setiap upacara dan atau ritual adat, siapapun yang hadir tidak diperkenankan mengenakan kaos. Â Semua wajib berbusana bahan berwarna putih dengan mengenakan kain untuk bagian bawah. Â Perempuan dengan baju kurung panjang atau atasan putih dengan rok panjang kain. Â Beberapa kali, sebelum Puta Dino lahir kembali, semua perempuan di Tidore mengenakan rok batik untuk bawahan. Â Sementara kaum lelaki menggunakan celana bahan hitam atau putih.
Begitupun saat kita berkunjung ke Kadato Kie/Istana Kesultanan. Â Lelaki wajib menggunakan baju kokok putih, celana kain/bahan, dan kopiah. Sementara perempuan mengenakan gamis panjang, atau baju atasan bahan dengan bawahan kain dan sebaiknya berkerudung atau berhijab. Â Jika mengenakan celana panjang maka wajib mengenakan Puta Dao yaitu sarung kuning khas Tidore sebagai bawahan.
Dalam beberapa kesempatan Tim Penulis seringkali menemukan batik Jawa sebagai baju resmi yang dikenakan oleh masyarakat Tidore. Â Hingga pada satu FGD (Focus Group Discussion) yang diadakan di Universitas Nuku - Tidore pada 21 Oktober 2019, mereka bertemu seorang ibu, wakil sebuah PKK, yang memperkenalkan batik dengan motif khas Tidore. Â Akan tetapi untuk produksinya sendiri masih dikerjakan oleh para pembatik dari Jawa. Â Saya berharap agar seni dan ilmu membatik ini bisa dikuasai oleh masyarakat Tidore, sehingga bisa melakukan produksi langsung di Bumi Marijang. Â Tentu saja dengan impian agar kehadiran batik khas Tidore ini nantinya akan berjalan seiring sejalan dengan Puta Dino dalam memperkaya khasanah budaya kain di Tidore.
Berbeda dengan halnya produksi batik di Ternate yang dikenal dengan sebutan Batik Tubo. Â Penamaan batik tersebut mengacu kepada sebuah kampung di Ternate bernama Tubo yang merupakan sentra pengembangan kebudayaan membatik pertama kali di Maluku Utara, yaitu pada tahun 2010. Â Saya dan beberapa teman blogger sempat berkunjung ke Batik Tubo setelah menyelesaikan rangkaian perjalanan dan liputan di Tidore pada tahun 2017. Â Kami melihat proses produksinya dan sebuah outlet kecil yang menghadirkan berbagai koleksi batik cantik, baik dari segi warna maupun coraknya.
Berbicara mengenai Batik, saya membaca rangkaian/uraian sarat makna yang ada di halaman 14-15.
Salah satu teknik membuat ornamen atau motif pada kain adalah membatik. Â Batik atau membatik merupakan kebudayaan melukis atau membuat motif dengan perintang warna dari bahan malam, parafin, atau lilin. Â Di Indonesia, kebudayaan membatik mula-mula dikembangkan masyarakat di Pulau Jawa. Â Menurut Wirjosuparto (1964), batik sebagai ketrampilan melukis atau membuat motif pada kain dengan 'malam', merupakan ketrampilan asli masyarakat Indonesia.
Kebudayaan menenun hampir ditemukan di banyak wilayah di nusantara maupun dunia. Â Perkembangan membatik terkonsentrasi di wilayah Jawa dan Bali. Â Selain itu, kebudayaan tenun atau menenun memang merupakan kebudayaan yang pada awalnya dibawa oleh bangsa-bangsa India dan Cina. Â Adapun ketrampilan membatik sudah ada sebelum kebudayaan India dan Cina datang ke nusantara. Â Oleh karena itulah kemudian UNESCO menetapkan batik sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan non-bendawi (masterpiece of the oral and intangible herritage of humanity) pada 2 Oktober 2009.Tenun sebagai kebudayaan universal. Â
Berbeda dengan batik yang dianggap sebagai indigenous knowledge (pengetahuan asli) masyarakat Indonesia, tenun atau menenun tidak dianggap sebagai pengetahuan khas atau asli masyarakat Indonesia. Tenun merupakan kebudayaan universal yang dapat ditemukan di banyak kelompok masyarakat dimanapun di dunia. Â Masyarakat Indonesia mengenal, menerima, dan mengadaptasi kemampuan dan kebudayaan menenun dari bangsa lain yang selanjutnya mengembangkan teknik menenun dengan daya rekonstruksi yang beragam. Â Keberagaman teknik dan motif inilah yang kemudian menjadikan beberapa daerah di Indonesia dikenal dengan kekhasan wastra masing-masing.Berbeda dengan pendapat tersebut, Veldhuisen (1993) menjelaskan bawah sebenarnya ketrampilan batik bukanlah kebudayaan yang dikembangkan masyarakat di Jawa saja, tetapi juga di beberapa negara di Asia, antara lain: di Cina, Jepang dan Thailand. Â Namun tradisi menggunakan canting dan bahan 'malam'(lilin atau wax) itulah yang merupakan penemuan asli masyarakat Jawa yang tidak ada di tempat lain.
PERKEMBANGAN ALAT TENUN
Alat tenun sederhana dikenal dengan nama Gedogan. Â Alat ini terbuat dari kayu untuk membuat kain dengan teknik menggabungkan atau merintangkan benang secara memanjang dan melintang (Anas 1998; Munaf, 2018). Â Benang yang dipasang secara vertikal disebut benang lungsi (atau lungsin) dan benang yang dipasang horizontal disebut benang pakan.
Kemudian muncul Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Â Alat tenun ini lebih kompleks dan terdiri dari beberapa bagian yaitu: boom lungsi untuk menggulung benang lungsi, boom kain untuk menggulung kain yang sudah ditenun, guun yang berfungsi untuk mengendalikan dan menggerakkan benang lungsi agar sekoci dapat masuk di sela-sela benang lungsi, injakan guun untuk mengatur guun, sisir untuk mengatur kerapatan benang lungsi, dan pemberat gulungan benang lungsi yang digunakan untuk menjaga kekencangan benang agar tetap stabil. Â Alat ini diberi nama ATBM untuk membedakannya dari mesin penghasil kain tekstil. Â Kain yang dihasilkan dari alat Gedogan dan ATBM ini dikategorikan sebagai Wastra. Â Sedangkan kain yang dihasilkan oleh mesin tekstil dikenal dengan sebutan bahan atau kain tekstil. Â Dengan demikian Wastra merupakan kain tradisional yang dihasilkan secara manual dengan tangan manusia.
Alat Tenun Mesin (ATM). Â Seiring dengan perkembangan teknologi dan revolusi industri kemudian tercipta berbagai alat untuk mempermudah produksi berbagai kebutuhan dimasa itu, termasuk untuk kebutuhan primer. Â Kemudian dengan hadirnya ATM ini kegiatan tenun dan menenun mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Â Era industri dengan mesin yang bisa memproduksi lebih banyak dan lebih cepat akhirnya menguasai kebutuhan pakaian di dunia.
Perkembangan Fungsi Tenun. Â Sebenarnya fungsi tenun secara mendasar adalah fungsi dasar pakaian yaitu sebagai penutup tubuh manusia. Tapi selain fungsi ini nyatanya beberapa masyarakat mengembangkan ketrampilan menenun bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan keseharian saja. Menenun juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ritual, estetika, kesenian, dan identitas.
Penyebaran Tenun di Nusantara. Â Perkembangan kebudayaan dan penyebaran wastra Indonesia sangat dipengaruhi oleh kedatangan dan kegiatan perdagangan dari bangsa-bangsa asing seperti Cina, India, dan negara-negara Eropa. Â Cina dan India merupakan bangsa asing yang pertama kali membawa kebudayaan wastra, termasuk membawakan produk dan teknik pembuatannya. Â Kebudaan wastra ini diserap dan dikembangkan secara berbeda-beda sesuai dengan daya kreasi dan reproduksi setiap masyarakat di nusantara.
Masih banyak lagi lembaran-lembaran penting yang diuraikan dalam buku ini. Â Entah berapa banyak sapuan stabilo dan tempelan post-it kecil warna warni yang saya sangkutkan di pinggir halaman. Â Terlalu banyak bagian yang ingin saya baca ulang lagi dan lagi demi mendapatkan pemahaman yang lebih baik. Â Beberapa catatan/rangkuman di atas sengaja saya fokuskan untuk segala hal yang berhubungan dengan kain dan tenun. Â Tentu saja dengan kemampuan saya pribadi dalam mengadaptasi sebuah karya tulisan bernilai tinggi yang telah dilakukan oleh ke-3 Penulis di atas.
Semoga apa yang sudah atau mampu saya ceritakan kembali, melahirkan semangat baru bagi kita semua untuk (lebih) peduli terhadap perkembangan dan eksistensi sebuah maha karya wastra khususnya Puta Dino, tenun Tidore, yang sempat punah 1 abad lamanya. Â Doa saya agar proses Revitalisasi yang sudah dilakukan dapat tetap berjalan berkesinambungan untuk kemudian diwariskan kepada anak cucu Tidore. Â Pun untuk produksi dan menghadirkan Puta Dino sebagai budaya yang dapat ditawarkan kepada para wisatawan yang berkunjung ke Tidore.
"Belajar sejarah itu penting. Â Tapi mengukir dan membuat sejarah itu jauh lebih penting"(Prof. Susanto Zuhdi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H