Rumah dengan 3 lantai inilah yang mengukir satu demi satu jejak sejarah dari sebuah tekad besar untuk melakukan revitalisasi Puta Dino. Â Bersama Ngofa Tidore, anak-anak muda Tidore dibawah asuhan Anita, jenama Puta Dino Kayangan pelan tapi pasti menjadi agen perubahan dan pelopor bangkitnya kembali Puta Dino. Â Keberadaan merekapun diharapkan dapat membantu melambungkan keberadaan Tidore sebagai tempat yang layak untuk dikunjungi, salah satu destinasi wisata dan budaya di timur Indonesia.
Dari kegiatan revitalisasi inilah kemudian lahir beberapa inspirasi motif tenun Tidore.  Motif yang menggambarkan beberapa kebajikan dan kekayaan budaya serta keluhuran budi orang-orang Tidore.  Beberapa diantara yang disebutkan dalam buku ini adalah Barakati yang berarti diberkati.  Marasante yang mengandung makna keberanian, sikap gigih dan berani dari masyarakat Tidore.  Jodati yang berarti ketulusan dengan tampak seperti anyaman bambu.  Mapolu yang berarti mengayomi dilengkapi dengan kehadiran lambang Kadato Kie.  Air Purba yang dipersembahkan kepada Tuan Guru/Imam Abdullah Qadhi Abdussalam.  Ada juga motif Kalajengking yang menggambarkan kegagahan Sultan Nuku, seorang pahlawan nasional dari Tidore.  Gambar kalajengking juga merupakan simbol dari karakter Pangeran Nuku yaitu hati-hati dan penuh perhitungan, teguh, dan fokus pada tujuan, penuh perjuangan, dermawan, dan kasih sayang.  Lalu ada motif Salawaku dengan gambar perisai yang melambangkan kepahlawanan.
Lewat tenun inilah kemudian tercipta banyak kesempatan untuk menggali potensi kesejarahan Tidore menjadi motif-motif yang cantik. Â Kesejarahan Tidore sebagai sebuah kesultanan besar yang memainkan peranan penting di Maluku Utara dan nusantara telah dijadikan sebagai inspirasi melahirkan berlembar-lembar kain tenun yang kaya akan informasi dan sebagai media komunikasi tentang kebesaran Tidore itu sendiri.
BERBAGAI CATATAN MENARIK dan SARAT PENGETAHUAN yang BISA KITA TEMUKAN di DALAM BUKU
Selain menceritakan tentang kelahiran dan proses revitalisasi Puta Dino, ada beberapa catatan menarik di buku ini yang layak kita ketahui untuk menambah pengetahuan serta sejarah.
Pakaian adat untuk acara-acara adat/ritual adat dikenakan berdasarkan posisi/kelas seseorang. Â Kelas bangsawan meliputi Sultan dan keluarga serta aparat kelengkapan Sultan (Bobato), termasuk diantaranya Bobato adat. Â Untuk Sultan baju kebesarannya dinamakan Manteren Lamo. Â Meliputi jubah panjang, celana panjang, dan penutup kepala. Â Untuk permaisuri/Boki, baju kebesarannya berupa kebaya panjang dengan bawahan kain, yang disebut Kimun Gia. Â Sementara setiap golongan bangsawan dan keluarga dari berbagai marga memiliki pakaian khas masing-masing yang terus dikenakan dan atau dipertahankan hingga saat ini. Â Di beberapa acara adat yang pernah saya hadiri, saya melihat Sultan Husain Sjah mengenakan baju kebesaran berwarna hitam, putih, dan merah dengan celana dan penutup kepala yang menyesuaikan.
Untuk rakyat biasa, baju adat yang dikenakan disebut Baju Koja. Â Untuk pria disebut Bela Dada/Bardada berupa blazer/jas pendek dengan dalaman putih tanpa kerah, celana panjang bukan jeans dan ikan pinggang kain. Â Untuk wanita disebut Basusu yang berupa baju kurung dipadupadankan dengan kain untuk bawahan.
Dalam setiap upacara dan atau ritual adat, siapapun yang hadir tidak diperkenankan mengenakan kaos. Â Semua wajib berbusana bahan berwarna putih dengan mengenakan kain untuk bagian bawah. Â Perempuan dengan baju kurung panjang atau atasan putih dengan rok panjang kain. Â Beberapa kali, sebelum Puta Dino lahir kembali, semua perempuan di Tidore mengenakan rok batik untuk bawahan. Â Sementara kaum lelaki menggunakan celana bahan hitam atau putih.
Begitupun saat kita berkunjung ke Kadato Kie/Istana Kesultanan. Â Lelaki wajib menggunakan baju kokok putih, celana kain/bahan, dan kopiah. Sementara perempuan mengenakan gamis panjang, atau baju atasan bahan dengan bawahan kain dan sebaiknya berkerudung atau berhijab. Â Jika mengenakan celana panjang maka wajib mengenakan Puta Dao yaitu sarung kuning khas Tidore sebagai bawahan.
Dalam beberapa kesempatan Tim Penulis seringkali menemukan batik Jawa sebagai baju resmi yang dikenakan oleh masyarakat Tidore. Â Hingga pada satu FGD (Focus Group Discussion) yang diadakan di Universitas Nuku - Tidore pada 21 Oktober 2019, mereka bertemu seorang ibu, wakil sebuah PKK, yang memperkenalkan batik dengan motif khas Tidore. Â Akan tetapi untuk produksinya sendiri masih dikerjakan oleh para pembatik dari Jawa. Â Saya berharap agar seni dan ilmu membatik ini bisa dikuasai oleh masyarakat Tidore, sehingga bisa melakukan produksi langsung di Bumi Marijang. Â Tentu saja dengan impian agar kehadiran batik khas Tidore ini nantinya akan berjalan seiring sejalan dengan Puta Dino dalam memperkaya khasanah budaya kain di Tidore.
Berbeda dengan halnya produksi batik di Ternate yang dikenal dengan sebutan Batik Tubo. Â Penamaan batik tersebut mengacu kepada sebuah kampung di Ternate bernama Tubo yang merupakan sentra pengembangan kebudayaan membatik pertama kali di Maluku Utara, yaitu pada tahun 2010. Â Saya dan beberapa teman blogger sempat berkunjung ke Batik Tubo setelah menyelesaikan rangkaian perjalanan dan liputan di Tidore pada tahun 2017. Â Kami melihat proses produksinya dan sebuah outlet kecil yang menghadirkan berbagai koleksi batik cantik, baik dari segi warna maupun coraknya.