Tenun sendiri sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Â Media yang digunakan pada waktu itu antara lain tikar, keramik, nekara, termasuk kain. Kemampuan memberi gambar atau ornamen pada berbagai media, merupakan kemampuan manusia yang lebih tua dari kemampuan menciptakan kain dengan teknik menenun (Subagiyo, 2008). Â Jadi sejatinya, skill menciptakan seni sandang sudah dimulai ketika manusia terikat akan kebutuhan utama dalam hidup, jauh sebelum tenun lahir sebagai salah satu mahakarya di dunia sandang.
Fuya atau Tapa pun mulai mengalami perubahan seiring dengan kemampuan manusia melahirkan tenun yang mengusung motif-motif yang mencerminkan budaya dan karakter juga kearifan lokal. Â Dari sinilah kemudian lahir ULOS untuk masyarakat Batak di Sumatera Utara, TAPIS untuk masyarakat Lampung, SONGKET untuk masyarakat Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, serta berbagai kain-kain di berbagai daerah lainnya. Â Menurut info yang ada di buku ini, Songket adalah mahakarya seni tenun tertinggi di Indonesia.
Untuk masyarakat Tidore sendiri kisah "pencarian" jejak Puta Dino mengalami proses dan usaha yang tidaklah sedikit. Â Catatan awal yang terangkat adalah bahwa busana adat non tenun terbagi berdasarkan atas strata/kedudukan dari seseorang. Â Pakaian-pakaian yang dikenakan pada masa lampau lebih banyak bersumber dari perdagangan dengan berbagai negara. Â Jenisnya pun beragam. Â Mulai dari sutra, katun, dan bahan-bahan lain yang biasa digunakan untuk membuat pakaian. Â Bahkan tercatat bahwa materi pakaian kala itu banyak diambil dari batik-batik Jawa yang dikirim atau diperdagangkan di Tidore. Â Jadi bisa diambil kesimpulan bahwa pada saat itu tenun tidaklah menjadi satu produk yang dominan dikenakan atau diperkenalkan dalam kegiatan sehari-hari.
Jejak tenun Tidore sendiri dimulai dari ditemukannya alat tenun tua yang ada di Kadato Kie (Istana Sultan) di Soa Sio. Â Pengungkapan keberadaan tenun Tidore di masa lampau ini dibantu dengan studi pustaka, mewawancara beberapa informan yang sudah berusia di atas 70 tahun (Ibu Zainab, Paman Amien Faroek yang juga adalah Jojau/Perdana Mentri Kesultanan Tidore), serta beberapa helai kain tenun yang masih disimpan oleh masyarakat dalam jumlah terbatas.
Pencarian dan pengungkapan jejak Puta Dino kemudian berlanjut ke Halmahera Tengah. Â Daerah yang secara administratif berada di bawah Kota Tidore Kepulauan. Â Dalam sebuah dokumen yang ada di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), terungkap adanya dokumen yang menceritakan adanya kain dan busana berlabel Tidore/Halmahera.
Untuk selanjutnya Tim Peneliti bertemu dengan 1 informan lagi yaitu Bapak Muhamad Usman yang sudah berusia 85 tahun. Â Beliau tinggal di Gurabati (salah satu dari 5 negri bagian Tidore yang sekarang disebut sebagai Kelurahan) yang berada tidak jauh dari pusat kota Tidore (Soa Sio). Â Menurut Pak Usman, masyarakat Gurabati pernah berkegiatan menenun atau membuat kain dengan alat yang sederhana, yang disebut dino atau alat tenun. Â Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh para wanita dewasa pada siang hari. Â Tapi kegiatan menenun ini kemudian menghilang pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (sekitar 1942-an).
Dari berbagai penelusuran inilah akhirnya bisa dipastikan bahwa jaman dahulu ada kegiatan/kehidupan menenun dan memproduksi tenun di Tidore.
BERBICARA TENTANG MASA KINI
Saya sangat memahami saat Anita Gathmir mengungkapkan alasannya untuk melakukan Revitalisasi atas Puta Dino. Â Dalam sebuah zoom meeting yang diadakan dalam rangka mengulas buku ini, 2 alasan terkuat yang disampaikan Anita adalah bukti kecintaan atas tanah leluhur Tidore dan sebuah pertanyaan besar yang muncul saat melihat ketidakhadiran kain khas Tidore dalam setiap kesempatan formal. Â Termasuk diantaranya adalah upacara-upacara adat.
Berbekalkan semangat dan alasan-alasan yang penuh tekad tersebut, Anita kemudian mendapatkan dukungan dari Bank Indonesia cabang Maluku Utara untuk melakukan langkah-langkah yang signifikan dan nyata dalam mewujudkan mimpi revitalisasi Puta Dino.
Mengirimkan beberapa pemuda dan pemudi Tidore untuk belajar menenun di Jepara yang kemudian meneruskan keahlian tersebut kepada teman-teman lain yang berkenan menjadi ujung tombak produksi Puta Dino di Tidore. Â Penelusuran akan motif khas Tidore pun dilakukan seiring sejalan dengan perluasan dan pengukuhan skill menenun yang sudah didapat. Â Hingga akhirnya mendirikan sebuah rumah khusus tenun yang diberi nama Rumah Tenun Puta Dino Kayangan Ngofa Tidore. Â Rumah ini dibangun atas bantuan Bank Indonesia cabang Maluku Utara, sementara tanah untuk dipendiriannya adalah bentuk gotong royong dari berbagai sumber pendanaan dengan sistem wakaf. Â Rumah bersejarah ini berada di Topo Tiga, Kelurahan Soa Sio. Â Mulai dibangun pada 2018 dan akhirnya diresmikan operasionalnya pada 14 September 2019, Rumah Tenun Puta Dino Kayangan Ngofa Tidore lahir dengan prasasti yang ditandatangani oleh Ibu Destry Damayanti, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.