Sebagai makhluk sosial tentu manusia tidak bisa hidup sendiri. Kita perlu bersosialisasi dengan orang lain dan saling membutuhkan. Apakah itu orang tua, keluarga, sahabat, teman atau tetangga. Ketika ditanya, siapa orang yang paling berjasa dalam hidupmu? Jawabnya bisa bermacam-macam. Ada orang tua, guru, sahabat seperjuangan, mantan, atau bahkan orang yang waktu itu baru kita kenal.
Selama perjalanan waktu, tak dapat dielakkan begitu banyak orang datang dan pergi dalam hidup kita. Ada yang singkat, namun membekas di hati. Ada yang setiap hari bertemu, tetapi tidak disadari kehadirannya. Ada yang jauh, tapi dekat di hati. Ada pula yang datang dan pergi seolah tak pernah ada. Akhir pertemuan, awal bagi pertemuan lainnya.
Kalau judul lagu Wali Band, 'Nenekku Pahlawanku', namun bagi Cahaya, selain orang tua, kakakku adalah pahlawanku. Seperti saudara lainnya yang tak jarang bertengkar jika berkumpul di rumah karena hal sepele dan banyak lagi sebab lainnya, tapi nyatanya, saudara adalah saudara. Saudara saling melindungi antara satu dan lainnya. Saudara selekat darah, tak ada dinding sebagai pemisah.
Tentu kita banyak sekali mendengar cerita, betapa seorang kakak yang sangat mencintai keluarganya, khususnya adik-adiknya. Ia rela bekerja keras, menepis dan menunda segala keinginannya demi membahagiakan orang tua dan keluarganya. Sungguh sangat beruntung Cahaya memiliki kakak yang seperti Yasif, kakak laki-laki satu-satunya. Kakak yang tak hanya bisa mengajari pelajaran sekolah, namun mampu hadir memberi bantuan materi dari hasil kerja kerasnya.
Yasif, kakak lelaki Cahaya satu-satunya. Anak kedua dari tujuh lainnya yang semuanya adalah perempuan. Mungkin karena merasa anak laki-laki satu-satunya di antara satu kakak perempuan dan enam adik perempuan lainnya, ia menjadi orang yang sangat bertanggungjawab bagi keluarganya.
"Lulus SMA, masmu dulu sangat ingin kuliah. Dia anak yang pintar di sekolahnya," kata Mardiyah suatu malam bercerita kepada anak-anaknya yang asyik tiduran di ruang tengah bersama. Tak terkecuali malam itu, saat Cahaya libur kuliah dan anak-anak yang lain pulang dari pondok.
Memang, berkumpul jadi satu di ruang tengah adalah kebiasaan dalam keluarga Cahaya. Hampir semua anggota keluarga jarang tidur di kamar, kecuali ayah dan kakak lelakinya. Semua tidur jadi satu di ruang tengah sambil bercerita. Kadang ibu, kadang kakak laki-laki yang bercerita.
"Ayo, baca bismillah 21 kali sebelum tidur," perintah Mardiyah, kepada semua anak-anaknya.
"Sudah," kata Sila, salah satu kakak Cahaya.
"Masak baru sebentar kok sudah," sanggah Mardiyah tidak percaya.
"Ayo ulang lagi yang keras," perintahnya lagi.
"Terus kenapa kok tidak kuliah? Malah kerja di luar negeri," tanya Cahaya pada ibunya karena penasaran dengan cerita yang tadi belum selesai.
"Bapak dan ibu tidak punya uang untuk biaya kuliah. Adik-adiknya masih banyak dan semua membutuhkan biaya," jawab Mardiyah.
"Karena tidak ingin mengecewakan masmu, Ibu menjual semua hasil panen padi untuk biaya selama daftar kuliah di Surabaya. Masmu pun daftar Si ... si ... sipenmaru (Dulu, seleksi penerimaan mahasiswa baru di salah satu kampus negeri)," terang ibu sambil terbata-bata karena tak paham istilahnya.
"Meski Ibu mengizinkan dia daftar kuliah, dalam hati ibu berdoa agar ia tidak diterima." Kenang ibu sambil melanjutkan ceritanya.
"Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, yakni pengumuman Sipenmaru dari kampus negeri yang diinginkan masmu. Masmu tidak diterima. Mendengar itu, tentu Ibu bahagia karena masmu tidak jadi kuliah," terangnya.
"Namun setelah itu, masmu ingin kerja di luar negri. Kerja di kapal Korea. Dan itu tidak mudah serta membutuhkan banyak biaya. Namun begitu, ibu dan bapak tetap mengusahakannya. Ibu menjual sawah dan hutang di bank demi menuruti keinginan anak lelaki satu-satunya," kata ibu sambil melanjutkan ceritanya.
Waktu itu, bekerja di kapal luar negeri memang menjadi primadona para pemuda. Selain karena gajinya besar, juga bisa keliling dunia, katanya. Tidak seperti sekarang yang sangat miris jika kita mendengar cerita tentang para ABK (Anak Buah Kapal) yang kerja di luar negeri. Selain harus kerja keras tanpa mengenal jam kerja, mereka juga tidak mendapat perlakuan layaknya manusia. Bahkan sampai di larung ke laut jika ada yang meninggal di sana.
Seperti kebanyakan lainnya, jika ingin kerja di luar negeri harus sekolah dahulu bahasa Korea di Jakarta. Hidup di penampungan yang konon katanya kotor dan kumuh serta penuh derita.
"Setelah berbulan-bulan di penampungan, akhirnya masmu berangkat juga. Tidak tega sebenarnya. Punya anak lelaki satu-satunya tapi harus kerja jauh dari keluarga. Tapi tekat masmu sangat kuat. Bahkan ia sampai sakit karena saking inginnya kerja di kapal luar negeri seperti teman-temannya." Kenang Mardiyah.
"Saat di luar negeri, sesekali masmu mengirimkan surat dan foto-foto di tempat kerjanya. Foto di kapal dengan teman-teman sesama orang Indonesia dan dari negara-negara lainnya, dan juga foto ketika berjalan-jalan saat kapal sandar," tambah wanita paruh baya itu kepada anak-anaknya yang sudah mulai tertidur semua.
Memang, seingatku banyak sekali surat dan foto-foto yang dikirim kakakku untuk keluarga. Mungkin dengan maksud agar keluarga bahagia mengetahui keadaannya di sana baik-baik saja. Bertahun-tahun setelah itu, kakakku memang sering pulang pergi bekerja di kapal besar keliling dunia. Setahun di rumah, berangkat lagi dua atau tiga tahun selanjutnya.
Banyak souvenir yang kakanya bawa untuk adik-adiknya dari bekerja sambil keliling dunia. Ada hiasan dinding berupa kulit kayu dengan gambar piramida dan spinx saat melewati mesir. Uang logam dan uang kertas dari berbagai negara, jam tangan mewah terbungkus kotak bagus yang bisa diganti-ganti bagian luarnya untuk semua adiknya. Sumpit, selimut, baju dan jaket tebal, Tak terkecuali gantungan kunci, pemotong kuku, peniti raksasa, souvenir dan kaos dengan tulisan negara-negara yang disinggahinya.
Pernah Mardiyah protes kepada anaknya. "Untuk apa membeli barang-barang yang tidak berguna. Lebih baik disimpan saja uangnya," tutur Mardiyah kepada anak lelakinya.
Dengan gaji yang lumayan besar dan waktu yang begitu lama, kakakku sudah mampu mengangkat ekonomi keluarga. Ayah Cahaya yang seorang petani dan Kepala Dusun, serta ibunya sebagai ibu rumah tangga dan membantu di sawah dengan tujuh anak perempuannya yang masih mondok dan sekolah cukup terbantu. Merenovasi rumah, membeli motor dan perlengkapan elektronik rumah yang tergolong mewah. Bahkan saat itu, saat warga di desanya belum banyak yang punya sumur bor, kulkas, kompor LPG dengan tabung 12 kg, Keluarga Cahaya sudah memilikinya.
Setelah sekian lama, berangkat kerja di kapal luar negeri tak lagi mudah. Karena sulitnya, akhirnya kakakku memutuskan bekerja di kapal dalam negeri saja. Segera ia mendaftar di sekolah pelayaran yang ada di Surabaya. Setelah lulus, kakak juga ikut kursus mengemudi mobil untuk bekal melamar kerja. Untuk biaya sekolah pelayaran pun ia tidak minta orang tua. Tentu saja dari tabungannya selama bekerja.
Sebenarnya, kakak Cahaya sangat menginginkan adik-adiknya kuliah. Ia ingin adik-adiknya melanjutkan pendidikan yang tinggi, tidak hanya sepertinya yang lulus SMA saja. Menyuruh kakak perempuan pertamanya untuk kuliah, tidak mungkin karena sudah menikah dan mempunyai putra. Begitu pun adik perempuan ketiga dan keempatnya. Harapan kakakku agar adik perempuan ke lima dan keenamnya untuk kuliah juga pupus sudah karena mereka lebih memilih bekerja setelah lulus Madrasah Aliyah.
Tinggal Cahaya dan adik bungsunya, anak ketujuh dan delapan yang jadi sasarannya. Dan akhirnya, Cahaya yang kuliah dengan biaya penuh dari kakaknya. Selama kuliah di salah satu PTN di Surabaya, hampir semua biaya kuliah berasal dari kakaknya. Hanya uang pertama masuk kuliah yang diberi oleh ayah dan ibu. Selanjutnya, semua ditanggung oleh Yasif, kakaknya.
Ketika Cahaya SMA, kakaknya bekerja sebagai pelayan di kapal penumpang tujuan Surabaya--Kalimantan. Bertahun menjadi pelayan, akhirnya naik pangkat menjadi Nakhoda. Dan ketika Cahaya kuliah, kakaknya bekerja di kapal Cargo jurusan Surabaya-Makasar dan sudah mempunyai posisi yang lumayan, jadi Tet atau apalah istilahnya, yakni posisi setelah Kapten dan Second. Di struktur jabatan dalam dunia perkapalan.
Saat Cahaya kuliah, Yasif memasukkan semua tabungannya atas nama Cahaya. "Kamu ambil saja untuk biaya kuliahmu," katanya kepada Cahaya sesaat setelah mengajak adiknya membuka tabungan atas namanya di salah satu bank milik pemerintah di seberang jalan dari kampusnya.
Hampir sebulan sekali, ketika kapal Cargonya sandar di Pelabuhan Tanjung Perak, Yasif selalu me-ngunjungiku sambil membawa sisah jatah bulanannya di kapal. Ada sabun mandi, sampoo, susu, roti dan gula.
Selain gaji yang diterima dari kapal, Yasif  juga nyambi berdagang. Ketika sampai di Surabaya, biasanya ia membeli kain dan segala keperluan untuk dijual di Makasar. Sebaliknya, dari Makasar membeli barang pecah belah untuk dijual sesuai permintaan di Surabaya.
Saat itu, usia Yasif tentu tidak lagi muda. Sudah Kepala Tiga. Orang tua Cahaya sudah sibuk mem-perkenalkan dengan banyak gadis. Entah dengan men-datangi langsung atau melalui foto ketika ia pulang ke rumah. Tapi tak ada satu pun yang cocok untuknya. Baginya, kuliah adiknya lebih penting dari rumah tangga. Bahkan, ia juga membelikan dua petak sawah kepada orang tuanya. Hal itu tentu karena ia sadar betul kalau orang tuanya pernah bersusah payah untuk mewujudkan keinginannya. Laksana matahari dan bulan yang mampu memberi terang kepada setiap keluarganya. Tak tampak susah, duka atau mengeluh atas semua jerih payah yang menguras isi dompetnya. Bangga dan bahagia seakan itulah yang menjadi tujuannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H