Banyak souvenir yang kakanya bawa untuk adik-adiknya dari bekerja sambil keliling dunia. Ada hiasan dinding berupa kulit kayu dengan gambar piramida dan spinx saat melewati mesir. Uang logam dan uang kertas dari berbagai negara, jam tangan mewah terbungkus kotak bagus yang bisa diganti-ganti bagian luarnya untuk semua adiknya. Sumpit, selimut, baju dan jaket tebal, Tak terkecuali gantungan kunci, pemotong kuku, peniti raksasa, souvenir dan kaos dengan tulisan negara-negara yang disinggahinya.
Pernah Mardiyah protes kepada anaknya. "Untuk apa membeli barang-barang yang tidak berguna. Lebih baik disimpan saja uangnya," tutur Mardiyah kepada anak lelakinya.
Dengan gaji yang lumayan besar dan waktu yang begitu lama, kakakku sudah mampu mengangkat ekonomi keluarga. Ayah Cahaya yang seorang petani dan Kepala Dusun, serta ibunya sebagai ibu rumah tangga dan membantu di sawah dengan tujuh anak perempuannya yang masih mondok dan sekolah cukup terbantu. Merenovasi rumah, membeli motor dan perlengkapan elektronik rumah yang tergolong mewah. Bahkan saat itu, saat warga di desanya belum banyak yang punya sumur bor, kulkas, kompor LPG dengan tabung 12 kg, Keluarga Cahaya sudah memilikinya.
Setelah sekian lama, berangkat kerja di kapal luar negeri tak lagi mudah. Karena sulitnya, akhirnya kakakku memutuskan bekerja di kapal dalam negeri saja. Segera ia mendaftar di sekolah pelayaran yang ada di Surabaya. Setelah lulus, kakak juga ikut kursus mengemudi mobil untuk bekal melamar kerja. Untuk biaya sekolah pelayaran pun ia tidak minta orang tua. Tentu saja dari tabungannya selama bekerja.
Sebenarnya, kakak Cahaya sangat menginginkan adik-adiknya kuliah. Ia ingin adik-adiknya melanjutkan pendidikan yang tinggi, tidak hanya sepertinya yang lulus SMA saja. Menyuruh kakak perempuan pertamanya untuk kuliah, tidak mungkin karena sudah menikah dan mempunyai putra. Begitu pun adik perempuan ketiga dan keempatnya. Harapan kakakku agar adik perempuan ke lima dan keenamnya untuk kuliah juga pupus sudah karena mereka lebih memilih bekerja setelah lulus Madrasah Aliyah.
Tinggal Cahaya dan adik bungsunya, anak ketujuh dan delapan yang jadi sasarannya. Dan akhirnya, Cahaya yang kuliah dengan biaya penuh dari kakaknya. Selama kuliah di salah satu PTN di Surabaya, hampir semua biaya kuliah berasal dari kakaknya. Hanya uang pertama masuk kuliah yang diberi oleh ayah dan ibu. Selanjutnya, semua ditanggung oleh Yasif, kakaknya.
Ketika Cahaya SMA, kakaknya bekerja sebagai pelayan di kapal penumpang tujuan Surabaya--Kalimantan. Bertahun menjadi pelayan, akhirnya naik pangkat menjadi Nakhoda. Dan ketika Cahaya kuliah, kakaknya bekerja di kapal Cargo jurusan Surabaya-Makasar dan sudah mempunyai posisi yang lumayan, jadi Tet atau apalah istilahnya, yakni posisi setelah Kapten dan Second. Di struktur jabatan dalam dunia perkapalan.
Saat Cahaya kuliah, Yasif memasukkan semua tabungannya atas nama Cahaya. "Kamu ambil saja untuk biaya kuliahmu," katanya kepada Cahaya sesaat setelah mengajak adiknya membuka tabungan atas namanya di salah satu bank milik pemerintah di seberang jalan dari kampusnya.
Hampir sebulan sekali, ketika kapal Cargonya sandar di Pelabuhan Tanjung Perak, Yasif selalu me-ngunjungiku sambil membawa sisah jatah bulanannya di kapal. Ada sabun mandi, sampoo, susu, roti dan gula.
Selain gaji yang diterima dari kapal, Yasif  juga nyambi berdagang. Ketika sampai di Surabaya, biasanya ia membeli kain dan segala keperluan untuk dijual di Makasar. Sebaliknya, dari Makasar membeli barang pecah belah untuk dijual sesuai permintaan di Surabaya.
Saat itu, usia Yasif tentu tidak lagi muda. Sudah Kepala Tiga. Orang tua Cahaya sudah sibuk mem-perkenalkan dengan banyak gadis. Entah dengan men-datangi langsung atau melalui foto ketika ia pulang ke rumah. Tapi tak ada satu pun yang cocok untuknya. Baginya, kuliah adiknya lebih penting dari rumah tangga. Bahkan, ia juga membelikan dua petak sawah kepada orang tuanya. Hal itu tentu karena ia sadar betul kalau orang tuanya pernah bersusah payah untuk mewujudkan keinginannya. Laksana matahari dan bulan yang mampu memberi terang kepada setiap keluarganya. Tak tampak susah, duka atau mengeluh atas semua jerih payah yang menguras isi dompetnya. Bangga dan bahagia seakan itulah yang menjadi tujuannya.