Mohon tunggu...
Anna Melody
Anna Melody Mohon Tunggu... -

Melihat dari sudut pandang berbeda...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dinasti Atut Kembali Berkuasa, Siapa yang Salah?

11 Desember 2015   12:26 Diperbarui: 11 Desember 2015   13:03 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayangkan bila Presiden Jokowi mengangkat 3 anak dan 3 adiknya jadi menteri, bukankah itu hak prerogatif presiden? Wkwkwk...

Ironi bukan bila sang pembuat kebijakan justru etikanya dipertanyakan? Betul sekali kata Sudirman Said, bagaimana mungkin orang2 tidak beretika menjadi pembuat kebijakan? Kebijakan seperti apa yang dihasilkan?

Kembali ke bahasan Politik Dinasti, kolusi, kroni dkk, semua itu adalah bibit-bibit korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang harus dicegah untuk tumbuh sebelum bertunas.

Pencegahan melalui kebijakan adalah jalan keluarnya, bisa saja kita bersepakat misalnya :

  1. Maksimal 2 orang dalam satu keluarga besar yang diperbolehkan untuk mengabdi negara di posisi eksekutif maupun legislatif di wilayah manapun di indonesia pada masa kerja yang sama.
  2. Petahana tidak boleh dilanjutkan oleh keluarga besar, harus jeda 1 periode.
  3. dst.

Ini kita masih membicarakan dinasti politik keluarga, belum membicarakan dinasti politik media, dinasti politik konglomerat, dst yang intinya adalah sama = kita sudah keblabasan = sehingga media, parpol, eksekutif, legislatif semua dikuasai HANYA oleh segelintir dan kelompok orang-orang yang kurang lebih sama, terus menerus sejak puluhan tahun lalu!

Mereka dengan terang-terangan menjalin hubungan keluarga untuk melanggengkan kekuasaan, lihat saja para ketum parpol yang saling berbesan, bahkan trend terkini, sesama koruptorpun juga perlu berbesan supaya makin maknyus aksinya, wkwkwk....

Segala jenis dinasti diatas seharusnya bisa diatasi dengan kebijakan.. misalnya media tidak boleh dimiliki politikus, konglomerat tidak boleh jadi politikus, dst... tetapi bagaimana kebijakan seperti itu bisa keluar bila pembuat kebijakan ada di dalam sistem dinasti itu sendiri? Muter-muter dah...

Akhir Kata

HAM bukan membebaskan semua orang (bahkan ex narapidana, bandar narkoba, dst) tanpa batas untuk menjadi pemimpin, tetapi memastikan kesempatan sama rata bagi semua orang untuk menjadi pemimpin.

Bagaimana kesempatan itu bisa sama rata, bila rakyat harus bersaing dengan kekuatan petahana/dinasti/uang dan kekuasaan untuk menjadi pemimpin? Lalu siapa yang peduli akan HAM rakyat yang tidak mampu bersaing dengan uang tersebut?

Selama kata DINASTI tetap eksis, maka selama itu pulalah negara ini dikuasai hanya oleh segelintir orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun