Mohon tunggu...
Anna Melody
Anna Melody Mohon Tunggu... -

Melihat dari sudut pandang berbeda...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dinasti Atut Kembali Berkuasa, Siapa yang Salah?

11 Desember 2015   12:26 Diperbarui: 11 Desember 2015   13:03 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Politik Dinasti, sumber gambar : matanews.com"][/caption]

Hasil QuickCount Pilkada 2015 menyatakan dinasti Atut kembali berkuasa di 3 wilayah, yaitu Tangsel, Pandeglang dan Serang.

Bagaimana hal ini bisa terjadi padahal keluarga mereka sudah ada beberapa yang masuk bui karena kasus korupsi dan penyuapan?

  1. Kekuasaan dan Kekayaan

Adalah realita bahwa mereka tidak hanya berada di posisi eksekutif, tetapi juga legislatif daerah, kekuasaannya telah mengakar kemana-mana.

Realita pula bahwa kekayaan mereka luar biasa, sampai salah satu anggota keluarga saja memiliki puluhan mobil mewah (salah satu, bukan total keluarga besar).

  1. Penampilan

Banyak rakyat yang memilih calon berdasarkan penampilan saja, apalagi kalo cantiq, klepek-klepek dah... hahaha...

  1. Strategi

Entah benar/tidak, selain isu bagi-bagi bansos, banyak juga rakyat wilayah2 tersebut yang mengatakan tidak menerima undangan nyoblos, silakan KPU yang menginvestigasi...

  1. Saingannya Tidak Berkualitas

Antara disengaja/tidak, tapi kalo saingannya tidak berkualitas, tentu rakyat tidak ada pilihan...

  1. Hasil Kerja

Kalau sebelumnya sudah menjabat/petahana, tentu ada hasil kerja lah, masa 5 tahun nol besar? Tetapi penulis tidak setuju kalo seperti tangsel dikatakan semua karena hasil kerja pemerintahan, karena tangsel itu unik dan rebutan para developer serta konglomerat. Harus dibedakan antara program pemerintah murni dan program swasta.

  1. Dukungan Partai-partai Besar

Apalagi kalo didukung oleh partai papa minta saham, dijamin lolos karena mereka memang punya banyak saham dimana-mana, wkwkwk...

 

Selain berbagai pandangan negatif, ternyata banyak juga bermunculan pandangan positif terutama untuk wilayah tangsel yang calonnya fenomenal tetap menang meski suami tersandung korupsi dan dibui.

Menurut menulis simple saja, sebaik apapun calon yang berasal dari dinasti politik, meskipun dia bidadari dari langit dengan banyak kesaktian, tetap saja, dinasti politik tidak boleh terjadi!

Mereka (keluarga besar) harus memilih siapa yang dijagokan dan itu harus dibatasi 1-2 orang sehingga tidak terbentuk dinasti sampai mengakar kemana-mana seperti itu.

Bisa kita bayangkan bila keluarga mereka semakin besar, ponakan, sepupu dst terus merambah jawa barat, jakarta, senayan, pemerintahan dst? Dan kita masih mengatakan tidak apa2?

Lalu semua ini salah siapa?

Salah DPR, MK dll pihak terkait pembuat kebijakan dan hukum!

Bukan salah keluarga Atut, dimana peraturan memungkinkan, tentu semua orang berusaha menguasai sebesar-besarnya yang bisa dikuasai, karena itulah sifat manusia.

Sama seperti korupsi, meski koruptor bersalah, menurut penulis, pembuat kebijakan/celah lah yang memungkinkan seseorang korupsi, yang mempunyai andil lebih besar daripada koruptor itu sendiri.

Dan bila kita melihat kredibilitas pembuat kebijakan (wakil rakyat) saat ini, tentu kita maklum kenapa politik dinasti, kroni, kolusi dan korupsi memang "sengaja dimungkinkan" dengan berbagai embel-embel Hak Asasi Manusia?

Apanya yang HAM? Bila si A ingin telanjang di bundaran HI, bolehkah? Kenapa tidak boleh? Bukankah dia memiliki hak asasi untuk memilih pakai baju/telanjang dimanapun dia suka? Hahaha...

Ada kepatutan, ada etika dalam kehidupan ini! Yang bila dilanggar maka akan ada banyak akibat buruknya....

Bayangkan bila Presiden Jokowi mengangkat 3 anak dan 3 adiknya jadi menteri, bukankah itu hak prerogatif presiden? Wkwkwk...

Ironi bukan bila sang pembuat kebijakan justru etikanya dipertanyakan? Betul sekali kata Sudirman Said, bagaimana mungkin orang2 tidak beretika menjadi pembuat kebijakan? Kebijakan seperti apa yang dihasilkan?

Kembali ke bahasan Politik Dinasti, kolusi, kroni dkk, semua itu adalah bibit-bibit korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang harus dicegah untuk tumbuh sebelum bertunas.

Pencegahan melalui kebijakan adalah jalan keluarnya, bisa saja kita bersepakat misalnya :

  1. Maksimal 2 orang dalam satu keluarga besar yang diperbolehkan untuk mengabdi negara di posisi eksekutif maupun legislatif di wilayah manapun di indonesia pada masa kerja yang sama.
  2. Petahana tidak boleh dilanjutkan oleh keluarga besar, harus jeda 1 periode.
  3. dst.

Ini kita masih membicarakan dinasti politik keluarga, belum membicarakan dinasti politik media, dinasti politik konglomerat, dst yang intinya adalah sama = kita sudah keblabasan = sehingga media, parpol, eksekutif, legislatif semua dikuasai HANYA oleh segelintir dan kelompok orang-orang yang kurang lebih sama, terus menerus sejak puluhan tahun lalu!

Mereka dengan terang-terangan menjalin hubungan keluarga untuk melanggengkan kekuasaan, lihat saja para ketum parpol yang saling berbesan, bahkan trend terkini, sesama koruptorpun juga perlu berbesan supaya makin maknyus aksinya, wkwkwk....

Segala jenis dinasti diatas seharusnya bisa diatasi dengan kebijakan.. misalnya media tidak boleh dimiliki politikus, konglomerat tidak boleh jadi politikus, dst... tetapi bagaimana kebijakan seperti itu bisa keluar bila pembuat kebijakan ada di dalam sistem dinasti itu sendiri? Muter-muter dah...

Akhir Kata

HAM bukan membebaskan semua orang (bahkan ex narapidana, bandar narkoba, dst) tanpa batas untuk menjadi pemimpin, tetapi memastikan kesempatan sama rata bagi semua orang untuk menjadi pemimpin.

Bagaimana kesempatan itu bisa sama rata, bila rakyat harus bersaing dengan kekuatan petahana/dinasti/uang dan kekuasaan untuk menjadi pemimpin? Lalu siapa yang peduli akan HAM rakyat yang tidak mampu bersaing dengan uang tersebut?

Selama kata DINASTI tetap eksis, maka selama itu pulalah negara ini dikuasai hanya oleh segelintir orang.

Penduduk kita 250juta, sebodoh itukah kita sampai tidak ada orang lain yang bisa menggantikan mereka?

Mari bercermin, memeriksa... siapa tahu kita memang sebodoh yang mereka katakan... hahaha...

#tolakPolitikDinasti 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun