Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

5 Alasan Pegawai Tidak Sejahtera, Para Bos Wajib Tahu

16 Juni 2022   08:24 Diperbarui: 16 Juni 2022   18:03 1791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pegawai sejahtera | sumber foto: senivpetro/freepik

Tanggal 14 Juni 2022, Gallup merilis laporan survei bertajuk "State of the Global Workplace 2022 Report: The Voice of the World's Employees". Laporan ini memotret pengalaman hidup dan kerja para pegawai di seluruh dunia sepanjang tahun lalu (1).

Dalam laporan tersebut, Gallup memeriksa bagaimana perasaan pegawai tentang pekerjaan dan kehidupan mereka. Gallup mengevaluasi keterlibatan pegawai (employee engagement) dan kesejahteraan hidup mereka.

Negara-negara yang disurvei mencakup 10 area, yakni: Amerika Serikat dan Kanada; Amerika Latin dan Karibia; Eropa; Negara-Negara Persemakmuran; Timur Tengah dan Afrika Utara; Sub-Sahara Afrika; Asia Timur; Asia Selatan; Asia Tenggara; serta Australia dan Selandia Baru.

Keterlibatan pegawai di Indonesia meningkat namun kesejahteraan stagnan

Keterlibatan dan kesejahteraan pegawai di Asia Tenggara | Sumber: State of the Global Workplace 2022 Report
Keterlibatan dan kesejahteraan pegawai di Asia Tenggara | Sumber: State of the Global Workplace 2022 Report
Secara global, 21% pegawai merasa terlibat di tempat kerja dan 33% merasa hidup mereka sejahtera. Asia Tenggara menempati posisi ketiga dalam hal keterlibatan pegawai (24%) dan keenam dalam hal kesejahteraan (30%).

Keterlibatan pegawai di Indonesia meningkat dari 22% (rata-rata 2018-2020) menjadi 24% (rata-rata 2019-2021). Indonesia menempati posisi keempat di Asia Tenggara, di bawah Filipina, Thailand dan Kamboja.

Namun, persentase pegawai yang merasa sejahtera stagnan pada angka 24%. Indonesia menempati posisi ketujuh dari 9 negara Asia Tenggara, di atas Kamboja dan Myanmar.

Secara global, stres yang dialami para pegawai mencapai titik tertinggi sepanjang masa 

Tingkat stres pegawai | Sumber: State of the Global Workplace 2022 Report
Tingkat stres pegawai | Sumber: State of the Global Workplace 2022 Report
Pada tahun 2020, persentase pegawai di seluruh dunia yang merasa mengalami stres selama beberapa hari sebelum survei, mencapai titik tertinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ternyata, persentase tersebut meningkat lagi pada tahun 2021.

Temuan ini dapat dipahami. Dalam dua tahun terakhir, pandemi mengakibatkan isolasi sosial, guncangan ekonomi, gangguan pendidikan, penyakit jangka panjang, dan kematian.

Secara global, pegawai yang merasa stres mencapai 44%. Kabar baiknya, Asia Tenggara menempati posisi ke sembilan (31%) di dunia dan Indonesia menempati posisi terendah di Asia Tenggara (20%).

Memang, stres yang dirasakan pegawai belum tentu disebabkan oleh pekerjaan. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa hal tersebut berdampak pada tempat kerja.

5 Alasan Pegawai Tidak Sejahtera, Para Bos Wajib Tahu

Survei Gallup mengungkap 5 alasan pegawai merasa tidak sejahtera di tempat kerja. Mari kita simak satu per satu.

Pertama, diperlakukan tidak adil

"Menurutku, adil atau tidak adilnya seorang atasan, kembali lagi kepada persepsi bawahan. Hal itu sangat subjektif," kata seorang sahabat saya, sebut saja namanya Mona. "Pernah ada anggota tim kami yang sudah lama bekerja di perusahaan. Ketika ada peluang promosi jabatan dan orang lain mendapatkannya, dia merasa aku perlakukan tidak adil."

Mona bercerita bahwa bawahannya tersebut merasa diri sudah senior karena masa kerjanya lebih lama dibandingkan rekan yang dipromosikan. Padahal, keputusan promosi tersebut tidak diputuskan oleh Mona sendiri, melainkan keputusan tim dan melalui tes.

Tentu saja, apa yang dilakukan Mona bukan sikap pilih kasih. Semua pegawai yang merasa diri mampu mengisi posisi lowong, diberi kesempatan sama untuk mengikuti tes.

Akan menjadi tidak adil jika Mona membuat keputusan tersebut berdasarkan ras, usia, agama, orientasi seksual, jenis kelamin, atau alasan subjektif lainnya. Ketidakadilan seperti ini sangat mungkin menimbulkan kelelahan kerja (burnout) dan mengganggu produktivitas.

Kedua, beban kerja tak terkendali 

"Aku belum lama lulus masa percobaan di perusahaan ini. Awalnya, atasan dan klien memuji hasil kerjaku. Tentu saja aku senang," cerita Ika (nama samaran), kreator konten di sebuah perusahaan periklanan.

"Ini perusahaan baru dan aku bergabung tidak lama setelah lulus kuliah. Jadi, ini pekerjaan pertamaku," lanjut Ika. "Aku sangat menikmati pekerjaan dan berharap bisa berkembang bersama perusahaan."

Namun, seiring bertambahnya klien, beban kerja Ika bertambah. Sementara beban kerjanya meningkat hingga hampir empat kali lipat, kualitas kerja Ika pun dinilai menurun oleh atasannya.

"Aku berusaha bekerja cepat sambil tetap mempertahankan kualitas. Tetapi beban kerjaku sudah bertambah menjadi hampir empat kali lipat, kapasitasku ada batasnya."

Ya, meskipun Ika berusaha mempertahankan kualitas kerja, beban kerja tak terkendali membuatnya lelah. Hasilnya menjadi kontraproduktif.

"Akhirnya aku tidak tahan dan berbicara dari hati ke hati dengan atasan. Jika mereka belum bisa mendapatkan kandidat yang sesuai, lebih baik memperlambat ekspansi pasar."

Ika berharap atasannya dapat menemukan keseimbangan antara kemampuan sumber daya manusia yang ada dan ekspansi pasar. Bagaimanapun, akan menimbulkan kesan buruk dan merugikan perusahaan jika atasan terus menerima klien sementara tim produksi tidak mampu menghasilkan apa yang dijanjikan.

Ketiga, komunikasi dari manajer tidak jelas

"Aku sadar diri sebagai fresh graduate memerlukan bimbingan dari seorang mentor," cerita Inka. Dia mengundurkan diri pada hari pertama bekerja.

"Aku memang masih WFH," Inka melanjutkan. "Saat aku kirim hasil kerjaku, atasan menelepon dan bertanya mengapa aku membuat desain demikian. Belum selesai aku menjelaskan konsepku, dia sudah memotong dengan mengatakan konsepku jelek."

Inka bercerita bahwa atasannya bukan saja tidak memberi umpan balik mengapa konsep Inka dinilai jelek. Sebaliknya, dia mengeluh tempo kerja Inka terlalu lambat dan menyerahkan kepada pegawai lain untuk memperbaikinya karena sudah dikejar tenggat waktu.

Inka merasa tidak cocok dengan budaya kerja di perusahaan. Dia mengajukan permohonan pengunduran diri pada saat itu juga.

"Aku juga mengalaminya pada hari pertama bekerja," cerita Wili, rekan kerja yang diminta memperbaiki hasil kerja Inka. "Mungkin karena aku sering mengalami perlakuan serupa dari beberapa dosen saat masih kuliah, aku mencoba menyesuaikan diri saja."

Setiap kali hasil kerjanya dinilai jelek, Wili berusaha mencari referensi dan memperbaiki hingga mendapat persetujuan dari atasannya. "Kadang capek juga, sih," Wili mengaku terus terang. "Tapi aku berusaha memaknai pengalaman ini sebagai pelajaran untuk menempa diriku menjadi lebih baik."

Keempat, kurangnya dukungan manajer

Inka mendeskripsikan dengan benar. Baik Ika, Inka, maupun Wili masih fresh graduate. Mereka baru saja memasuki dunia kerja.

Mereka membutuhkan mentor yang dapat membimbing dan memberi umpan balik untuk peningkatan kompetensi. Komunikasi terbuka dan umpan balik adalah bentuk dukungan yang dapat diberikan atasan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota tim.  

Kelima, tekanan tenggat waktu yang tidak masuk akal

"Aku berusaha memberikan hasil kerja kepada atasan dua atau tiga hari sebelum tenggat waktu. Aku berharap dia memiliki cukup waktu untuk memeriksa dan memberi umpan balik sehingga aku juga memiliki cukup waktu untuk merevisi jika dibutuhkan." Cerita Wili.

"Yang mengesalkan, dia sering kali memberi umpan balik hanya beberapa jam sebelum tenggat waktu. Capek banget menunggu umpan balik selama berhari-hari dan hanya diberi waktu beberapa jam untuk merevisi. Terkadang aku harus tidur menjelang dini hari dan bekerja pada akhir pekan gara-gara hal ini."

Wasana kata

Banyak orang menganggap keterlibatan sebagai sesuatu yang terjadi di tempat kerja dan kesejahteraan sebagai sesuatu yang terjadi di luar pekerjaan. Analisis Gallup menunjukkan dikotomi tersebut tidak tepat.

Pengalaman seseorang di tempat kerja memengaruhi kehidupannya di luar pekerjaan. Pegawai yang secara konsisten mengalami tingkat kelelahan tinggi di tempat kerja mengatakan bahwa pekerjaan membuat mereka sulit memenuhi tanggung jawab keluarga.

Ketika pegawai terlibat dan berkembang, stres dan kemarahan berkurang, kondisi kesehatan membaik. Sudah saatnya perusahaan memprioritaskan kesejahteraan pegawai. Sebagai hasilnya, mereka akan menuai bukan hanya perusahaan yang produktif, melainkan individu, keluarga, dan komunitas yang berkembang.

***

Jakarta, 16 Juni 2022

Siska Dewi

***

Referensi: 1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun