Resign atau undur diri dari pekerjaan sejatinya adalah hak karyawan. Sedekat apapun hubungan antara atasan dan bawahan, sebesar apapun upaya perusahaan untuk menahan seorang karyawan, tiada yang dapat memaksa seseorang tetap tinggal jika keputusannya sudah bulat untuk pergi.
Idealnya, karyawan yang berniat resign perlu memberi waktu yang cukup bagi perusahaan untuk mencari penggantinya. Ia perlu melakukan serah terima pekerjaan dengan sebaik-baiknya, dan tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
Namun demikian, sebuah artikel di USA Today tertanggal 19 Juli 2018 melaporkan terjadinya peningkatan kasus karyawan yang melakukan “ghosting”. Karyawan tiba-tiba tidak masuk kerja tanpa kabar dan tidak dapat dihubungi. Mereka seolah hilang ditelan bumi.
Ghosting ternyata tidak hanya terjadi di Amerika. Peoplescout.com melaporkan bahwa hal yang sama juga terjadi di Inggris. Bbc.com melaporkan hal yang sama terjadi di Jepang.
Dalam budaya Jepang di mana resign dianggap hal yang buruk, sepasang suami istri membuka biro jasa untuk membantu para karyawan yang ingin resign dengan fee sebesar 50.000 Yen.
Sebuah artikel di bbc.com tertanggal 18 Januari 2019 melaporkan bahwa dalam 18 bulan terakhir, pasutri tersebut telah berhasil menyelesaikan 1.500 kasus.
Kisah korban ghosting
Seorang teman saya bercerita tentang pengalaman menjadi korban ghosting. Dia pernah merekrut seorang karyawan baru yang menurutnya sangat menjanjikan. Sebut saja nama karyawan baru itu Brilian.
Brilian lulusan terbaik dari sebuah universitas swasta ternama di Jakarta. IPK-nya 4.00. Dia sangat cepat dalam memahami secara akurat informasi yang diterima. Kemampuan verbal dan numeriknya sangat baik, demikian juga daya pikir kreatif dan daya ingatnya.
Dalam dua bulan pertama, dia menyelesaikan semua tugas yang diberikan atasannya dengan sangat baik. Pada hari kerja terakhir di bulan ketiga, perusahaan sudah menyiapkan "Surat Pengangkatan Pegawai Tetap" untuk dirinya.