“Kalau toh Bagus belum berhasil mencapainya, setidak-tidaknya kelak aku berharap akan ada anaknya Bagus atau cucu kita yang bisa membangun Kademangan Kejawar menjadi Kadipaten Kejawar. Hanya dengan cara itu, keturunan kita tidak akan pernah mewarisi kemiskinan duniawi!” kata Nyi Demang Kejawar pula, masih dengan nada yang membangkitkan semangat.
“Aku kira engkau betul, istriku. Engkau dan Bagus memang hanya satu-satunya kekayaanku yang paling berharga di dunia ini. Engka dan Bagus .juga satu-satunya harapanku. Dan satu-satunya masa depanku. Terimakasih istriku. Betapa besar pengorbananmu selama ini kepadaku. Maafkan aku, jika aku belum bisa membahagiakanmu,” kata Ki Demang. Diam-diam di kedalaman jiwanya mulai bangkit semangat untuk melawan kemiskinan duniawi yang selama ini membelenggunya.
“Sekarang langkah jangka pendeknya, kemana kelak Bagus harus belajar ilmu keprajuritan agar dapat menjadi seorang ksatria? Haruskan magang ke Kalipucang? Apakah tidak terlalu jauh? Seharusnya Kademangan Kejawar memang bisa mendirikan pusat pelatihan prajurit sendiri. Tetapi dijamin tidak akan diijinkan Kanjeng Adipati Wirasaba, bukan?” Nyi Demang Kejawar yang cerdik itu mulai merangsang gagasa-gagasan kreativitas pada diri Ki Demang.
“Ah, itu gampang. Nanti aku hubungi Rekajaya. Dengar-dengar Raden Arya dipercaya Adipati Pasirluhur membangun pusat pelatihan prajurit di Kendalisada. Itulah sebabya Raden Arya kini banyak uangnya. Beberapa bulan sebelum meletus perang Pasirluhur-Nusakambangan, konon Raden Arya dipercaya untuk mendidik 200 orang penderes menjadi prajurit sukarelawan ahli menggunakan sabit sebagai senjata untuk perang. Sebagian besar peserta pelatihan prajurit itu dari Kaliwedi. Namun ternyata secara diam-diam, ada beberapa orang penduduk Kejawar yang ikut dalam latihan keprajuritan di Kendalisada.
“Aku malah senang jika ada penduduk Kejawar yang pandai dalam ilmu keprajuritan. Mudah-mudahan pusat pelatihan keprajuritan Kendalisada yang telah dirintis oleh Raden Arya, Raden Kamandaka dan Putri Adipati Pasirluhur itu bisa terus berkembang. Ke sanalah kelak Bagus akan aku titipkan. Bagaimana istriku? Setujukah?” kata Ki Demang memaparkan rencana memilihkan tempat pendidikan bagi Bagus, apabila kelak Bagus sudah cukup umur untuk mulai belajar ilmu keprajuritan. “Sebuah gagasan yang masuk akal. Setuju sekali. Siapa dulu Suamiku!” kata Nyi Demang gembira karena suaminya sudah mulai memikirkan jalan baru bagi masa depan anaknya.
“Aku masih punya satu lagi jurus simpanan untuk masa depan Bagus,” kata Ki Demang.
“Apa jurus simpanan itu, Kakang?”
“Kamu pernah dengar Empu Supa?”
“Belum, siapa dia?”
“Empu Supa adalah seorang empu ahli pembuat keris-keris sakti dari Kerajaan Majapahit. Salah satu keris sakti karyanya adalah Kiai Sengkelat, keris pusaka Kerajaan Majapahit. Pemilik terakhir keris buatan Empu Supa itu adalah Dyah Supaprabhawa, Raja Majapahit terakhir. Ketika Sang Raja wafat (1478 M), Kerajaan Majapahit diserang Dyah Wijayakarana, penguasa Keling di Pare, Kediri, yang merupakan keponakan Sang Raja yang wafat itu. Akibatnya Kerajaan Majapahit runtuh, dan Dyah Wijayakarana yang merupakan putra bungsu Raja Sri Kertawijaya, menobatkan dirinya menjadi Raja Kerajaan Keling dan dia mengaku sebagai pewaris Kerajaan Majapahit. Aku tidak tahu apakah keris Kiyai Sengkelat itu jatuh ke tangan Raja Keling? Raja Kediri sekarang, Dyah Ranawijaya adalah putra bungsu Raja Keling, Dyah Wijayakarana. Dyah Ranawijaya itulah yang memindahkan Kerajaan Keling ke Kediri. Kemungkinan besar Kiyai Sengkelat ada di tangan Dyah Ranawijaya,” kata Ki Demang Kejawar.
“Aduh pusing aku. Kakang ceriteranya muter-muter. Apa hubungannya Mpu Supa, Kakang dan masa depan Bagus? Ngapain ceritera Sang Prabu Ranawijaya, Raja Kediri? Aku benci sama dia!”