Ki Demang diam saja, tak berani menjawab pertanyaan istrinya. Ki Demang segera naik ke tempat tidur setelah berganti dengan pakaian tidur. Lalu Ki Demang membaringkan dirinya di samping istrinya. Tetapi Nyi Demang memunggunginya karena dia tetap memeluk Bagus yang tertidur pulas di dalam pelukannya.
“Belum tidur?” bisik Ki Demang lirih. Nyi Demang diam saja, pura-pura tidak mendengar.
“Maafkan aku, ya ,” bisik Ki Demang lagi.
“Memangnya apa salah Kakang kepadaku?” tanya istrinya. Ki Demang diam-diam tersenyum, ketika istrinya mulai menyebutnya dengan panggilan kesayangan ‘Kakang”. Suatu pertanda baik. Strategi merayu kepada istrinya pun dilanjutkan.
“Ya, aku suka membentak bentak kamu. Itu semua tidak sengaja,”
“Tidak apa. Asal Kakang jangan membentak aku ketika di atas tempat tidur,” jawab istrinya mulai memancing suaminya.
“Mana berani aku membentak kamu di tempat tidur?” kata Ki Demang sambil memeluk istrinya dari belakang dan mencium leher tepat di bawah telinga istrinya, sehingga membuat istrinya menggelinjang seketika. Istrinya pun langsung membalik. Kedua pasang suami istri itu saling berhadap-hadapan.
“Tahukah Kakang, kenapa Kakang suka membentak-bentak aku?” tanya Nyi Demang sambil menahan agar suaminya tidak memeluknya dulu. Maka tahulah Ki Demang bahwa sesungguhnya istrinya malam itu ingin membicarakan suatu masalah yang serius dengan dirinya.
“Ya, itulah makanya aku minta maaf kepadamu. Aku suka membentak-bentak kamu itu disebabkan aku miskin. Sebagai seorang demang daerah sima, aku hanya memiliki kekuasaan keagamaan. Tetapi aku tidak memiliki kekuasaan duniawi. Satu-satunya kekuasaan duniawi yang aku miliki hanya kamu, istriku dan Bagus anakku. Selebihnya aku miskin. Aku tidak punya kekuasaan duniawi yang berupa tahta dan harta,” kata Ki Demang mencurahkan isi hatinya yang paling dalam kepada istrinya. Nyi Demang hanya tersenyum. Tapi lalu dipeluknya suaminya itu dengan segenap kasih sayangnya.
“Aku melihat Kakang sudah semakin cerdas!” puji istrinya sambil tersenyum. Ki Demang diam sebentar, menarik nafas dalam-dalam lalu melanjutkan keluhannya.
“Dalam soal harta, misalnya. Untuk urusan beras saja yang sering bikin kamu pusing, aku harus minta-minta kepada Kanjeng Adipati Wirasaba. Dalam soal gula, aku harus menunggu belas kasihan Nyai Kertisara. Demikian pula dalam soal beras terkadang aku pun harus menunggu belas kasihan Nyi Kertisara. Bahkan aku tidak pernah mampu memberikan Bagus sepuluh tail emas. Aku lebih miskin dari Raden Arya,” kata Ki Demang.