Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kabupaten Purwakarta dan Pembangunan Berbasis Budaya

28 Juli 2016   13:11 Diperbarui: 28 Juli 2016   15:21 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar;Dokumen Pribadi

Sebuah lukisan indah gadis cantik bermahkota berdiri dengan anggun diiringi dua ekor harimau putih, langsung menarik perhatian saya. Lukisan itu menjadi salah satu hiasan ruang tamu Kantor Bupati Purwakarta. Dan menjadi lukisan favorit Bupati Purwakarta, H.Dedi Mulyadi SH. Saya sendiri belum pernah melihatnya di sentra lukisan Desa Jelekong, Ciparay, Kabupaten Bandung, karena memang lukisan itu  tidak pernah dipasarkan di sana.

 Kulit gadis dalam lukisan itu berwarna kuning, rambutnya hitam bak mayang terurai, dibalut kain dan penutup dada juga bewarna hitam, diiringi dua harimau putih. Langit biru menjadi latar belakang gadis dalam lukisan itu. Secara keseluruhan lukisan itu enak dipandang dan mampu menerbangkan daya khayal  siapa saja yang memandangnya dan  membawanya ke masa lalu. Sayang saya tidak tahu siapa pelukisnya.  Bahkan salah satu staf Setda Kabupaten Purwakarta yang mengenakan pakaian seragam kemeja putih dan celana hitam, hanya menggelengkan kepala saat saya tanya, siapakah gadis cantik dalam lukisan itu.

                                                                       
“Mungkin Nyi Roro Kidul,” jawabnya sambil tertawa. Saya ikut tertawa mendengar jawabannya. Sebab saya tahu itu bukan lukisan Nyi Roro Lidul.

“Dapat dipastikan itu bukan lukisan Nyi Roro Kidul. Sebab kalau Nyi Roro Kidul  latar belakangnya laut dan tidak memiliki dua ekor harimau putih sebagai pengiringnya,”  kata saya, ingat-ingat lupa pada lukisan Affandi berjudul Nyi Roro Kidul dalam album koleksi lukisan Bung Karno.

Tetapi akhirnya saya menemukan nama gadis dalam lukisan itu, Citraresmi. Nama lengkapnya, Dyah Ayu Pitaloka Citraresmi (1340 – 1357 M). Dia adalah Putri Sang Maharaja Linggabuana, yang gugur dalam tragedi Bubat (1357 M).  Sang Maha Raja Linggabuana adalah Raja Kerajaan Galuh yang berpusat di Kawali, sekarang masuk Kabupaten Ciamis. Tragedi Bubat menjadi catatan hitam hubungan dua etnis terbesar di Pulau Jawa, Etnis Sunda dan Etnis Jawa. Sebab etnis Jawa mewarisi Kerajaan Besar Majapahit yang berpusat di Trowulan, sedangkan Etnis Sunda mewarisi Kerajaan Besar Galuh yang berpusat di Kawali , kemudian di Pakuan.

Ambisi Maha Patih Gajah Mada yang ingin mewujudkan Sumpah Palapa telah menenggelamkan cita-cita  Hayam Wuruk untuk menyatukan dua Kerajaan Besar di Pulau Jawa pada masa itu dalam satu federasi atau konfederasi Majapahit – Galuh.

Tragedi Bubat mengakibatkan tewasnya Dyah Ayu Pitaloka Citra Resmi,  Sang Prabu Maharaja Linggabuana, beserta segenap prajurit pengiringnya. Para prajurit pengawalnya telah berjuang dengan gagah berani sekalipun tahu bahwa mereka akan kalah karena jumlah prajurit dan peralatan yang tidak seimbang.  Pasca peristiwa Bubat hubungan Majapahit dan Galuh langsung memburuk. Kerajaan Galuh memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Majapahit. Raja Hayamwuruk sendiri telah meminta maaf akan kejadian yang memalukan itu.

Ketika tragedi Bubat terjadi, Kerajaan Galuh masih berpusat di Kawali, sehingga dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai Kerajaan Galuh Kawali. Dr.Husein Djajadiningrat dalam tesisnya di Universitas Leiden,”Tinjauan Kritis Sejarah Banten”  yang telah mengantarkannya meraih gelar doktor dengan nilai Cum Laude, menyebutkan bahwa Kerajaan Galuh di Pakuan yang merupakan penerus Kerajaan Galuh Kawali berdiri pada tahun 1433 M. Dengan kata lain, Kerajaan Galuh Kawali telah dipindahkan ke Pakuan, dekat Bogor sekarang, sehingga muncul Kerajaan Galuh yang berpusat di Pakuan, atau Kerajaan Galuh Pakuan. Kerajaan Galuh Pakuan, kemudian lebih dikenal sebagai Kerajaan Pajajaran. Disebut Kerajaan Pajajaran, karena konon pusat kerajaan ini, yakni Pakuan, terletak di hulu dua sungai yang nyaris sejajar, yaitu Sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung.

Pada gapura masuk Kantor Kabupaten Purwakarta yang kini memiliki air mancur indah sekali, Air Mancur Sri Baduga, tertulis kata-kata, “Galuh Pakuan”.  Sri Baduga adalah Raja Besar Kerajaan Pajajaran ( 1482 – 1522 M) yang dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Nama Sri Baduga juga diabadikan menjadi nama musium sejarah dan kebudayaan Sunda di Kota Bandung,  yakni Musium Sri Baduga.

Kemasyhuran dan kebesaran Kerajaan Galuh Kawali dan Galuh Pakuan pada masa lalu itulah agaknya yang telah memberikan inspirasi Bupati H.Dedi Mulyadi, SH untuk membangun Kota Purwakarta dengan basis budaya Sunda yang inklusif dan toleran. Simbol-simbol yang digali dari budaya Sunda segera terasa, begitu orang masuk alun-alun Kabupaten Purwakarta, Pendopo Kabupaten,  Kantor Kabupaten, dan rumah dinas bupati yang berada di samping kiri Kantor Kabupaten.  

Sumber Gambar, Dokumen Pribadi.
Sumber Gambar, Dokumen Pribadi.
                                                                               
Aristektur bangunan kantor kabupaten dan rumah dinas bupati sendiri masih merupakan arsitektur warisan Eropa, sebab kedua bangunan itu memang dibangun pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Bangunan kantor kabupaten dibangun pada tahun 1854. Semula merupakan Gedung Negara. Pilar tiang penyangga yang berbentuk silinder mengingatkan orang pada tiang-tiang bangunan kuno di Yunani, yang kemudian menyebar ke seluruh Eropa. Ketika orang-orang Eropa menjadi penguasa di Pulau Jawa dan Tanah Sunda, corak arsitektur Eropa ikut terbawa masuk. Ahli sejarah Perancis, Denys Lombart, menyebutkan munculnya bangunan dengan arsitektur Eropa sebagai penanda awal pengaruh peradaban Eropa di Pulau Jawa.

Lantai bangunan kantor kabupaten itu dilapisi batu pualam putih bersih mengkilap. Setiap orang yang akan masuk ke ruang tamu, diwajibkan melepaskan alas kaki. Sebuah etika budaya Sunda yang menghormati rumah sebagai suatu tempat suci, sehingga orang yang masuk ke dalam rumah orang Sunda pada masa lalu, kaki harus dalam keadaan bersih dan melepaskan alas kaki. Rumah adat orang Sunda pada awalnya memang berbentuk rumah panggung dengan lantai papan. Tamu pun diterima dengan lesehan, sehingga tampak akrab dan tidak terkesan formal.

Tetapi arsitektur bangunan pendapa yang ada di depan kantor kabupaten, tiang dan atapnya merupakan bangunan dengan arsitektur yang terpengaruh Kerajaan Islam Demak. Demikian pula konsep catur gatra tunggal warisan Kerajaan Islam Demak tampak pada penataan bangunan kantor kabupaten dan pendapa yang menghadap alun-alun, bangunan Masjid Agung Syekh Baing Yusuf di sebelah kiri alun-alun, bangunan kantor pengadilan, dan lokasi bangunanan penjara yang juga tidak jauh dari alun-alun.  Alun-aluh masih dibelah menjadi dua dengan satu jalan di tengah. Tetapi saya tidak melihat sepasang beringin yang lazimnya ada pada alun-alun warisan Kerajaan Islam Demak yang diadopsi dari Kerajaan Majapahit, kecuali masjid di samping alun-alun yang merupakan ciri Kerajaan Islam di  Pulau Jawa.

Pengaruh budaya Sunda tampak pada ornamen hiasan gedung, hiasan taman, dan tiang-tiang penerangan sekitar pendapa, serta karyawan yang berpakaian putih hitam. Terkadang tampak ada karyawan laki-laki yang lalu lalang dengan mengenakan ikat kepala khas Sunda. Tentu saja mereka berbincang-bincang dengan bahasa Sunda. Gambar Bupati H.Dedi Mulyadi SH terpampang dimana-mana dengan pakaian adat Sunda pangsi warna putih kegemarannya, lengkap dengan ikat kepala khas Sunda yang  juga berwarna putih. Di bawah gambar Bupati, tertulis kata Daiang Ki Sunda. Kata Daiang mungkin gelar untuk laki-laki yang dihormati. Kata Daiang sendiri  belum saya temukan dalam Kamus Bahasa Sunda. Yang ada kata Dayang, yang mengandung arti gelar untuk wanita yang dihormati. Misalnya, Dayang Sumbi. Dalam gambar senyum khas Pak Bupati mengembang menghiasai wajahnya, seakan Pak Bupati sedang meyambut dengan segala keramahtamahan kepada setiap tamu, seraya mengucapkan sapaan favoritnya,”Sampurasun…”

Kereta Kencana diparkir di teras Kantor Kabupaten Purwakarta. Ada sepasang. Yang tampak hanya satu.Sumber gambar: dokumen pribadi
Kereta Kencana diparkir di teras Kantor Kabupaten Purwakarta. Ada sepasang. Yang tampak hanya satu.Sumber gambar: dokumen pribadi
Di teras kantor kabupaten di kanan kiri pintu masuk diparkir dua buah kereta kencana berwarna hitam yang mengingatkan orang pada kereta kebesaran Kerajaan Galuh Kawali maupun Kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran. Di bawah masing-masing kereta ada patung banteng, seakan mengingatkan orang pada binatang yang pantang menyerah. Kemudian dua becak dengan tulisan Situ Buleud, juga diparkir menjadi hiasan di teras kantor kabupaten, tidak jauh dari kereta kencana. 

Becak belum dikenal pada masa Kerajaan Galuh dan Pajajaran. Tetapi becak, sekalipun sudah lama digusur dari jalan-jalan utama di kota-kota besar, masih merupakan alat transportasi rakyat yang amat populer dan merupakan sarana mencari nafkah bagi sebagian besar  penduduk yang tingkat pendidikannya pas-pasan. Mungkin maksud Pak Bupati memajang sepasang becak di teras kantor kabupaten, sekedar simbol agar kita senantiasa ingat pada rakyat kecil, kawula alit, atau kaum dhuafa dalam bahasa agama Islam.

Jika kita masuk ke ruang tunggu kantor kabupaten, segera akan kita saksikan ornamen lukisan harimau di dinding yang menghadap pintu masuk, seakan-akan hendak menyapa para tamu yang akan menghadap Pak Bupati. Sebuah karpet warna kelabu dengan hiasan ornamen bunga warna hitam menutupi lantai marmer putih bersih. Sejumlah kursi dengan plitur warna hitam mengkilat berderet di ruang tunggu. Pada dinding di samping pintu masuk, terpasang lukisan gadis cantik Putri Galuh yang pernah dilamar Raja Majapahit Hayam Wuruk, Dyah Ayu Pitaloka Citraresmi, seperti telah disebutkan di atas.  Tampak cantik, anggun, berwibawa, dengan menyungging senyum di bibir.

Pendapa Kabupaten yang terletak di depan bangunan kantor kabupaten, tampak megah dengan tiang-tiang-tiang penyangga atap yang mengingatkan orang pada bangunan pendapa kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hanya Pendapa Panyawangan, demikian nama Pendapa Kabupaten Purwakarta itu, dibanguan di atas taman yang dikeliingi kolam indah, sehingga dalam konsep arsitektur Jawa, pendapa yang demikian itu disebut Bale Kambang. Di kanan kiri Pendapa Panyawangan melintang jembatan kayu di atas kolam yang menghubungkkan jalan dari halaman kantor kabupaten ke alun-alun.  

Jika orang dari Kantor Kabupaten dan Pendapa Kabupaten akan menuju alun-alun yang ada di depan pendapa, mau tidak mau harus melintasi jembatan kayu itu. Lantai pendapa dilapisi karpet tebal bersih warna kelabu dengan ornamen bunga warna hitam. Tak ada kursi, sehingga jika ada pertemuan di Pendapa Panyawangan pastilah juga dilakukan dengan cara lesehan.

Konon Pak Bupati jarang menerima tamu dikantornya. Beliau lebih suka menerima tamu dengan cara lesehan di ruang tamu rumah dinasnya yang hanya beberapa meter di samping kiri kantor kabupaten. Bangunan warisan Pemerintah Hindia Belanda dengan cat putih itu, memiliki teras yang disangga empat tiang persegi panjang. Pada kaki keempat tiang dihiasi dengan lukisan timbul senjata kujang warna kuning emas. Di kiri kanan jalan yang menghubungkan kantor kabupaten dan rumah dinas bupati, berdiri tiang-tiang yang di atasnya bergelantungan lampu penerangan dengan kap terbuat dari caping bambu sehingga kelihatan antik. 

Ruang tamu rumah Dinas Pak Bupati Purwakarta berbentuk empat persegi panjang dengan pintu masuk ke ruang dalam yang ada di tengah. Kelambu dengan corak kotak-kotak hitam putih menjadi penghias pintu masuk ke ruang dalam yang memiliki lantai lebih rendah dari pada lantai ruang tamu. Tepat di atas tengah-tengah pintu yang menghubungkan dua kelambu kotak-kotak hitam putih di kanan dan kiri pintu dipasang topeng raksasa mini dari kayu dengan wajah merah. 

Sepintas kilas orang akan mengira itu topeng Bali karena kelambu kotak-kotak hitam putih mengingatkan orang pada kain kotak hitam putih yang sering diikutsertakan pada upacara-upacara sesaji di Bali. Mungkin topeng raksasa berwarna merah itu simbol dari nafsu lauwamah dan sufiah pada diri manusia yang harus selalu dapat dikendalikan oleh nafsu mutmainah dan fitrah ketuhanan yang dilambangkan dengan warna putih dan hitam. Bupati H.Dedi Mulyadi, SH sendiri menafsirkan warna putih sebagai lambang air dan warna hitam sebagai lambang tanah. Perpaduan air dan tanah, mencerminkan kesuburan, kemakmuran, dan keberlimpahan. Orang Sunda bilang bumi lemah cai.

Pada dinding kiri ruang tamu terdapat lukisan timbul berwarna kuning, sebuah lukisan kereta perang dikendarai oleh seorang ksatria yang sedang menarik busur untuk melepaskan anak panah. Di depan kereta, seorang sais sibuk mengendalikan kuda yang berlari menarik kereta perang. Mungkin ksatria yang sedang memanah itu adalah Arjuna dalam kisah Perang Bharatayudha. Kalau dalam seni pedalangan, lukisan itu menceriterakan  kisah Karno Tanding.

Tampak dalam lukisan kuda-kuda penarik kereta dengan susah payah sedang bergerak maju. Arjuna tampak sedang menarik tali busur untuk melepaskan anak panahnya. Dalam Bhagawat Gita dikisahkan, bahwa Arjuna pada awalnya mengalami kesulitan untuk mengarahkan mata anak panah pada obyek yang menjadi titik sasaran. 

Obyek itu dalam pandangan Arjuna selalu berubah-rubah, sehingga membuat bingung Arjuna. Ketika Arjuna mengeluh karena tidak bisa berkonsentrasi untuk memanah obyek sasaran dengan tepat, Sri Kresna memberi nasihat agar Arjuna berkonsentrasi. Ketika Arjuna kembali berkonsentrasi, Arjuna kembali terkejut karena dia melihat pada obyek yang akan dipanah di medang perang Kurusetra itu ternyata adalah bayangan sorang ksatria yang mirip dirinya sendiri, sehingga Arjuna kembali ragu untuk melepaskan anak panahnya. Sesekali wajah Bhisma dan Drona juga muncul menggantikan bayangan ksatria yang mirip dirinya itu.

“Bagaimanakah hamba harus berpanah-panahan dengan Bhisma dan Drona, ya Pembunuh Madhu. Karena keduanya itu mulia. Sebab terlebih baik jangan membunuh Guru-guru yang maha kuasa itu, walaupun kita makan nasi dalam dunia yang dipintal ini. Tetapi dari sebab membunuh guru-guru yang mengingini kesejahteraan itu, termasuk hambalah makanan yang dicemari darah. Dan hati hamba ini telah dikenai dosa kelemahan.Tiadalah hamba ini hendak berperang,” Arjuna mengendorkan tali busurnya.  Hampir saja Arjuna mogok menolak untuk berperang.

Kemudian Arjuna memohon pencerahan kepada Sri Kresna. “Dengan hati yang tiada tetap pada dharma, bertanyalah hamba kepada tuan. Apakah yang sebenarnya terjadi pada hamba? Katakanlah dengan terang. Hamba murid tuan. Ajarilah hamba. Inilah permohonan hamba,”

Sri Kresna tersenyum, dan berkata kepada Arjuna. “Petemuan dengan alam ini, ya Kuntiputra. Telah menimbulkan perasaan sejuk dan panas, kesukaan dan kedukaan. Kesukaan dan kedukaan dalam hidup ini akan datang silih berganti. Tanggunglah ia dengan hati tetap, wahai Tunas Bharata. Semua yang dilahirkan itu akan mati. Dan yang mati pun akan lahir kembali. Sesungguhnya badan itu mengandung yang baka yang tiada akan punah. Karena itu janganlah tuan susahkan sesuatu yang tidak mungkin tuan elakkan itu.”

Selanjutnya Sri Krisna mengatakan bahwa Arjuna hanya akan dapat mengalahkan musuh-musuhnya hanya apabila dia lebih dahulu dapat mengalahkan dirinya sendiri.  Bayangan yang muncul sebagai kstaria yang mirip dirinya sendiri setiap kali Arjuna berkonsentrasi untuk memanahnya, itu tidak lain adalah bayangan dari nafsu dalam dirinya sendiri yang harus lebih dulu dikalahkan.

Mendengar nasihat Sri Kresna, semangat Arjuna kembali bangkit. Bayangan obyek yang hendak dipanahnya, kembali tampak sebagai dirinya sendiri. Tetapi Arjuna yang telah tercerahkan, kini tidak ragu-ragu lagi. Arjuna pun kembali menarik tali busurnya. Anak panah yang dilepaskannya melesat bagaikan kilat membunuh lawan-lawannya dalam Perang Bharatayudha, sekalipun dalam bayangannya musuh yang akan dibunuhnya itu adalah bayangannya sendiri. Nabi saw dalam salah satu hadistnya juga pernah bersabda, bahwa jihad yang paling berat adalah jihad melawan diri sendiri. Sesungguhnya lukisan itu sedang mengajarkan sebuah kearifan yang bersifat universal kepada siapa saja yang memandangnya.

Setiap tamu yang duduk lesehan di ruang tamu rumah dinas Bupati Purwakarta itu, dapat dipastikan ketika masih menunggu tuan rumah, pandangannya akan menyaksikan lukisan dari kisah perang Barathayudha yang dipajang sebagai hiasan di ruang tamu itu. Mungkin maksud Bupati H.Dedi Mulyadi,SH memasang lukisan yang diambil dari episode perang Bharatayudha itu, terkandung pesan simbolik yang ingin disampaikannya. Yaitu bahwa kemampuan mengendalikan diri  dari keserakahan akan harta, tahta, dan wanita itu penting. Dengan bekal kemampuan mengendalikan diri, korupsi di birokrasi yang dipimpinnya akan dapat dengan mudah di atasi. Ya, Pak Bupati bisa jadi  secara diam-diam sedang menyampaikan pesan pentingnya mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel melalui sebuah lukisan.

Sesungguhnya memaknai simbol-simbol budaya, bukan perkara mudah karena sifatnya yang subyektif dan relatip. Namun demikian bagi rakyat, yang penting memang  bukan apa isi dari janji yang dikomunikasikan baik melalui bahasa simbolik maupun bahasa verbal. Bagi rakyat yang penting adalah pelaksanaan janji dan program yang dapat langsung dirasakan rakyat banyak. Tampaknya, dalam mewujudkan janji-janjinya, Bupati yang pernah berpidato mengenalkan budaya Sunda di forom internasional bergengsi di PBB itu, cukup berhasil.

Tidak lama setelah saya dan teman-teman dari Bandung dipersilahkan duduk lesehan oleh petugas, dua orang wanita cantik  mengenakan jilbab warna hitam, baju atasan putih dan bagian bawah hitam, membawa beberapa cangkir berisi minuman keluar dari ruang dalam, menyajikan cangkir-cangkir minuman dan dengan senyum menghiasi bibirnya mempersilahkan kami untuk menikmatinya. Padahal di depan kami sudah tersaji makanan kecil dan minuman dalam gelas plastik.

Tak lama kemudian Pak Bupati keluar langsung menyapa kami dengan senyumannya yang khas. Kali ini dia tampil dengan pakaian kegemarannya yang telah menjadi ikon dirinya. Bukan warna putih-putih seperti biasanya. Tetapi warna hitam-hitam. Tampil tanpa alas kaki, penampilan Bupati yang pada tanggal 13 April 2016 terpilih secara aklamsi menjadi Ketua DPD Golkar Jawa Barat 2016 – 2020 itu, tampak amat sederhana dan merakyat.  Sepintas kilas, tidak banyak orang menduga bahwa sosok yang tampil sederhana itu adalah orang nomor satu Kabupaten Purwakarta.

Kepada sejumlah media massa, Pak Bupati mengaku sebagai penggemar wayang sejak masa kanak-kanak di Subang.  Memulai debut politiknya pada usia terbilang muda. Diawali dengan menjadi anggota DPRD Kabupaten Purwakarta, maka pada tahun 2008 beliau sudah berhasil menduduki kursi Bupati Purwakarta. Pada tahun 2013 terpilih kembali untuk kedua kalinya sampai tahun 2018. H.Dedi Mulyadi,SH termasuk sosok politisi muda yang berprestasi. Usianya kini baru 45 tahun, sebab beliau kelahiran tahun 1971

 Di bawah kepemimpinannya, Kabupaten Purwakarta berkembang menjadi kota budaya yang mencengangkan banyak orang.  Pembangunan fisik, sarana jalan, transportasi, penerangan, obyek wisata, pengobatan dan pendidikan gratis sampai SMA-SMK, serta santunan kepada warga miskin lima ratus ribu rupiyah/bulan, hanyalah deretan dari sejumlah prestasi yang berhasil diwujudkannya.  Konon Penghasilan Daerah dari Kabupaten yang memiliki 17 kecamatan dan luas  sekitar, telah mencapai angka 2 trilyun. Padahal bebera tahun sebelumnya penghasilan daerah baru sekitar 800-900 milyard.

Sebagai politisi, intelektual, dan budayawan  yang pernah dibesarkan lewat organisasi Islam HMI, pernah menjadi Ketua HMI Purwakarta dan Ketua KAHMI Purwakarta, tentunya Bupati H.Dedi Mulyadi, SH sangat paham relasi antara Islam dan kebudayaan. Islam bukanlah agama peribadatan saja. Islam adalah agama yang mengajarakan sistem nilai dengan dua dimensi, yakni dimensi vertikal dan dimensi horisontal. Dimensi vertikal berkaitan dengan soal-soal ritual peribadatan.

 Sedang dimensi horisontal berkaitan dengan hablumminannas, muamalah, dan kebudayaan. Jika pada dimensi vertikal berlaku azas ushul fikih, yakni segala urusan peribadatan adalah terlarang, kecuali ada perintahNya. Maka pada dimensi horisontal, habluminnannas, muamalah, dan kebudayaan berlaku azas ushul fikih, semua hal boleh, kecuali ada larangan dari Nya. Artinya, membangun dengan basis budaya dan tradis tetap harus dalam bingkai iman dan takwa, agar senantiasa mendapat maghfirah, rahmat, barokah, dan kasih sayang dari Allah SWT.

Saya meninggalkan rumah Dinas Bupati, bersamaan dengan bunyi azan Ashar dari Masjid Agung Purwakarta yang tidak jauh dari alun-alun. Konon kabarnya,  kadang-kadang Bupati H.Dedi Mulyadi,SH jika sedang tidak sibuk, menyempatkan diri untuk mengumandangkan azan di Masjid Agung Purwakarta.Dirgahayu HUT ke 185 dan 48 Purwakarta yang memang Istimewa.Wallahualam.[24-07-2016]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun