Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kabupaten Purwakarta dan Pembangunan Berbasis Budaya

28 Juli 2016   13:11 Diperbarui: 28 Juli 2016   15:21 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar, Dokumen Pribadi.
Sumber Gambar, Dokumen Pribadi.
                                                                               
Aristektur bangunan kantor kabupaten dan rumah dinas bupati sendiri masih merupakan arsitektur warisan Eropa, sebab kedua bangunan itu memang dibangun pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Bangunan kantor kabupaten dibangun pada tahun 1854. Semula merupakan Gedung Negara. Pilar tiang penyangga yang berbentuk silinder mengingatkan orang pada tiang-tiang bangunan kuno di Yunani, yang kemudian menyebar ke seluruh Eropa. Ketika orang-orang Eropa menjadi penguasa di Pulau Jawa dan Tanah Sunda, corak arsitektur Eropa ikut terbawa masuk. Ahli sejarah Perancis, Denys Lombart, menyebutkan munculnya bangunan dengan arsitektur Eropa sebagai penanda awal pengaruh peradaban Eropa di Pulau Jawa.

Lantai bangunan kantor kabupaten itu dilapisi batu pualam putih bersih mengkilap. Setiap orang yang akan masuk ke ruang tamu, diwajibkan melepaskan alas kaki. Sebuah etika budaya Sunda yang menghormati rumah sebagai suatu tempat suci, sehingga orang yang masuk ke dalam rumah orang Sunda pada masa lalu, kaki harus dalam keadaan bersih dan melepaskan alas kaki. Rumah adat orang Sunda pada awalnya memang berbentuk rumah panggung dengan lantai papan. Tamu pun diterima dengan lesehan, sehingga tampak akrab dan tidak terkesan formal.

Tetapi arsitektur bangunan pendapa yang ada di depan kantor kabupaten, tiang dan atapnya merupakan bangunan dengan arsitektur yang terpengaruh Kerajaan Islam Demak. Demikian pula konsep catur gatra tunggal warisan Kerajaan Islam Demak tampak pada penataan bangunan kantor kabupaten dan pendapa yang menghadap alun-alun, bangunan Masjid Agung Syekh Baing Yusuf di sebelah kiri alun-alun, bangunan kantor pengadilan, dan lokasi bangunanan penjara yang juga tidak jauh dari alun-alun.  Alun-aluh masih dibelah menjadi dua dengan satu jalan di tengah. Tetapi saya tidak melihat sepasang beringin yang lazimnya ada pada alun-alun warisan Kerajaan Islam Demak yang diadopsi dari Kerajaan Majapahit, kecuali masjid di samping alun-alun yang merupakan ciri Kerajaan Islam di  Pulau Jawa.

Pengaruh budaya Sunda tampak pada ornamen hiasan gedung, hiasan taman, dan tiang-tiang penerangan sekitar pendapa, serta karyawan yang berpakaian putih hitam. Terkadang tampak ada karyawan laki-laki yang lalu lalang dengan mengenakan ikat kepala khas Sunda. Tentu saja mereka berbincang-bincang dengan bahasa Sunda. Gambar Bupati H.Dedi Mulyadi SH terpampang dimana-mana dengan pakaian adat Sunda pangsi warna putih kegemarannya, lengkap dengan ikat kepala khas Sunda yang  juga berwarna putih. Di bawah gambar Bupati, tertulis kata Daiang Ki Sunda. Kata Daiang mungkin gelar untuk laki-laki yang dihormati. Kata Daiang sendiri  belum saya temukan dalam Kamus Bahasa Sunda. Yang ada kata Dayang, yang mengandung arti gelar untuk wanita yang dihormati. Misalnya, Dayang Sumbi. Dalam gambar senyum khas Pak Bupati mengembang menghiasai wajahnya, seakan Pak Bupati sedang meyambut dengan segala keramahtamahan kepada setiap tamu, seraya mengucapkan sapaan favoritnya,”Sampurasun…”

Kereta Kencana diparkir di teras Kantor Kabupaten Purwakarta. Ada sepasang. Yang tampak hanya satu.Sumber gambar: dokumen pribadi
Kereta Kencana diparkir di teras Kantor Kabupaten Purwakarta. Ada sepasang. Yang tampak hanya satu.Sumber gambar: dokumen pribadi
Di teras kantor kabupaten di kanan kiri pintu masuk diparkir dua buah kereta kencana berwarna hitam yang mengingatkan orang pada kereta kebesaran Kerajaan Galuh Kawali maupun Kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran. Di bawah masing-masing kereta ada patung banteng, seakan mengingatkan orang pada binatang yang pantang menyerah. Kemudian dua becak dengan tulisan Situ Buleud, juga diparkir menjadi hiasan di teras kantor kabupaten, tidak jauh dari kereta kencana. 

Becak belum dikenal pada masa Kerajaan Galuh dan Pajajaran. Tetapi becak, sekalipun sudah lama digusur dari jalan-jalan utama di kota-kota besar, masih merupakan alat transportasi rakyat yang amat populer dan merupakan sarana mencari nafkah bagi sebagian besar  penduduk yang tingkat pendidikannya pas-pasan. Mungkin maksud Pak Bupati memajang sepasang becak di teras kantor kabupaten, sekedar simbol agar kita senantiasa ingat pada rakyat kecil, kawula alit, atau kaum dhuafa dalam bahasa agama Islam.

Jika kita masuk ke ruang tunggu kantor kabupaten, segera akan kita saksikan ornamen lukisan harimau di dinding yang menghadap pintu masuk, seakan-akan hendak menyapa para tamu yang akan menghadap Pak Bupati. Sebuah karpet warna kelabu dengan hiasan ornamen bunga warna hitam menutupi lantai marmer putih bersih. Sejumlah kursi dengan plitur warna hitam mengkilat berderet di ruang tunggu. Pada dinding di samping pintu masuk, terpasang lukisan gadis cantik Putri Galuh yang pernah dilamar Raja Majapahit Hayam Wuruk, Dyah Ayu Pitaloka Citraresmi, seperti telah disebutkan di atas.  Tampak cantik, anggun, berwibawa, dengan menyungging senyum di bibir.

Pendapa Kabupaten yang terletak di depan bangunan kantor kabupaten, tampak megah dengan tiang-tiang-tiang penyangga atap yang mengingatkan orang pada bangunan pendapa kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hanya Pendapa Panyawangan, demikian nama Pendapa Kabupaten Purwakarta itu, dibanguan di atas taman yang dikeliingi kolam indah, sehingga dalam konsep arsitektur Jawa, pendapa yang demikian itu disebut Bale Kambang. Di kanan kiri Pendapa Panyawangan melintang jembatan kayu di atas kolam yang menghubungkkan jalan dari halaman kantor kabupaten ke alun-alun.  

Jika orang dari Kantor Kabupaten dan Pendapa Kabupaten akan menuju alun-alun yang ada di depan pendapa, mau tidak mau harus melintasi jembatan kayu itu. Lantai pendapa dilapisi karpet tebal bersih warna kelabu dengan ornamen bunga warna hitam. Tak ada kursi, sehingga jika ada pertemuan di Pendapa Panyawangan pastilah juga dilakukan dengan cara lesehan.

Konon Pak Bupati jarang menerima tamu dikantornya. Beliau lebih suka menerima tamu dengan cara lesehan di ruang tamu rumah dinasnya yang hanya beberapa meter di samping kiri kantor kabupaten. Bangunan warisan Pemerintah Hindia Belanda dengan cat putih itu, memiliki teras yang disangga empat tiang persegi panjang. Pada kaki keempat tiang dihiasi dengan lukisan timbul senjata kujang warna kuning emas. Di kiri kanan jalan yang menghubungkan kantor kabupaten dan rumah dinas bupati, berdiri tiang-tiang yang di atasnya bergelantungan lampu penerangan dengan kap terbuat dari caping bambu sehingga kelihatan antik. 

Ruang tamu rumah Dinas Pak Bupati Purwakarta berbentuk empat persegi panjang dengan pintu masuk ke ruang dalam yang ada di tengah. Kelambu dengan corak kotak-kotak hitam putih menjadi penghias pintu masuk ke ruang dalam yang memiliki lantai lebih rendah dari pada lantai ruang tamu. Tepat di atas tengah-tengah pintu yang menghubungkan dua kelambu kotak-kotak hitam putih di kanan dan kiri pintu dipasang topeng raksasa mini dari kayu dengan wajah merah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun