“R.Soekartimah/R.H.Warga Oetama II/R.H.Boepati Wirasaba ping VII pindah Mrapat Banyoemas I taoen 1571” (hal 27).
Jadi, dari teks itu kita memperoleh informasi Sang Adipati Mrapat beserta istrinya, keluarganya dan tentu dengan para punggawanya, pindah ke kota Banyumas pada tahun 1571. Dan itu dapat ditafsirkan bahwa pada tahun 1571 kota Banyumas sudah siap dengan segala infrasrukturnya. Malah bisa jadi kota Banyumas itu sudah ada, sudah menjelma menjadi desa. Nama desa sebelum menjadi nama kota Banyumas bisa jadi adalah kota Selarong sebagaimana disebut dalam salah satu legenda. Atau malah nama desa itu Pekunden jika mengikuti deskripsi Sugeng Priyadi soal situs kota lama Banyumas.
Tetapi jika dilihat dalam teks tembang sejarah Banyumas di atas, kota Banyumas sama sekali tidak disebut. Yang disebut adalah tlatah Kejawar dan perintah agar membabad kayu Tembaga, sebagaimana bunyi teks” trukahana Kulup benere kayu Tembaga”. Kata trukahana dalam kamus Banyumas memang berarti membuka hutan. Mungkin hutan Mangli yang banyak tumbuh kayu tembaganya.
Sementara itu dalam Naskah Kalibening, disebutkan bahwa pada 27 Puasa, hari Rabu Sore Jaka Kahiman berada di Pajang, menghadap Raja Pajang. Menurut dugaan Sugeng Priyadi, Jaka Kahiman langsung dilantik jadi Adipati Wirasaba VII. Karena Sugeng Priyadi menduga tanggal 27 Puasa itu adalah tahun 1571 sebagaimana disebut dalam teks Kranji Kedungwuluh, yakni tahun 1571 Adipati Mrapat pindah Banyumas, maka tahun pelantikan dan tahun pindah ke kota Banyumas terjadi pada tahun yang bersamaan yakni satu tahun. Hal ini berarti pembangunan hutan Tembaga oleh Adipati Mrapat relatip super cepat, hanya kurang dari satu tahun!
Mungkinkah pembangunan kota Banyumas dan rumah Kabupaten hanya berlangsung kurang satu tahun? Jelas ada dimensi waktu yang diabaikan dalam proses pembangunan kota Banyumas. Padahal penyebutan pohon tembaga menunjukkan bahwa pembangunan kota Banyumas akan lebih berat dibandingkan dengan membabat hutan Jambu Mangli!. Tradisi pembangunan kraton di Jawa paling tidak memakan waktu antara 3-5-7 tahun. Kraton Majapahit sekitar 2 tahun, kraton Mataram di Kota Gede sekitar 7 tahun dan Mataram di Kerta perlu waktu 5 tahun. Majapahit relatip cepat karena R.Wijaya mendapat bantuan rakyat Madura anak buah Adipati Wiraraja dan hutan yang dibabatnya bukan hutan dengan pohon kayu keras. Apalagi pembangunan Kadipatan Bintaran lebih mudah lagi, karena yang dibabat hanya hutan glagah.
Pada masa pra-mekanisasi, pembangunan kota Banyumas yang hanya butuh waktu kurang dari satu tahun, sangat tidak masuk akal.Paling cepat adalah 4 tahun. Ini pun dengan asumsi Adipati Mrapat mampu mengerahkan rakyat Wirasaba untuk membabat hutan dengan struktur kayu sekeras tembaga!. Tentu saja logika mistik akan menganggapnya masuk akal membangun kota Banyumas, bahkan hanya dalam hitungan bulan. Sebab dalam logika mistik, segalanya adalah mungkin. Dan tidak ada yang tidak mungkin. Kota Roma saja hanya dibangun dalam waktu satu malam!.
Berbeda dengan hasil penelitian Sukarto yang menghasilkan hari jadi kota Banyumas dan Kabupaten Banyumas tanggal 6 April tahun 1582. Nampak penetapan tahun 1582 lebih rasional, dapat dibuktikan secara empiris dengan melakukan perbandingan pembangunan kota lain dan lebih mempertimbangkan dimensi waktu proses pembangunan sebuah kota Kabupaten. Jika diasumsikan proses pembangunan kota Kabupaten Banyumas memerlukan waktu 4 tahu, maka awal pembabatan hutan baru dimulai pada tahun 1578-1579 yakni mundur empat tahun dari angka tahun 1582.
Jika kita pegang tahun 1579, maka sangat cocok dengan telaah De Graaf yang menyatakan bahwa Adipati Wirasaba VI terbunuh pada tahun 1578 dan pengangkatan Jaka Kahiman menjadi Adipati Wirasaba VII dengan gelar Adipati Wargahutomo II menggantikan mertuanya, juga terjadi pada tahun 1578. Nampak ada dimensi waktu yang lebih rasional antara waktu pengangkatan Jaka Kahiman(1578 ), peletakan batu pertama pembabatan hutan (1579) dan peresmian penggunaan kota Kabupaten Banyumas yang telah siap untuk dijadikan pusat mengendalikan pemerintahan Kabupaten Banyumas(1582).
Demikianlah telah terjadi anakronisme dalam Naskah Kedungwuluh ketika sang penyalin, menyebutkan “R.Soekartimah/R.H.Warga Oetama II/R.H.Boepati Wirasaba ping VII pindah Mrapat Banyoemas I taoen 1571”
Perpindahan itu bukan terjadi tahun 1571. Tetapi tahun 1582. Tepatnya 6 April atau 12 Mulud 1504 Jawa !
2.Profil Biodata Adipati Wirasaba VI
Dengan menggunakan analisa filologi secara kasar dan berpegang pada telaah De Graaf bahwa Adipati Wirasaba wafat pada tahun 1578, kita dapat menyusun gambaran singkat profil masa hidup Adipati Wirasaba VI. Asumsi yang dipakai adalah data dari budaya, adat dan tradisi bangsawan Jawa yang menunjukkan bahwa rata-rata para ksatria Jawa menikah pada usia windu ketiga yakni usia antara 17-24 tahun. Sedang para putri bangsawan rata-rata menikah antara 16-20 tahun.