Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dimensi Waktu dalam Pembangunan Kota Banyumas

19 Februari 2016   00:53 Diperbarui: 6 Maret 2016   15:11 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kisah mitologi, kita hanya mengenal empat tokoh hebat yang mampu menciptakan bangunan besar hanya dalam waktu satu malam. Pertama adalah Romus dan Romulus, anak kembar yang lahir di tepi Sungai Tiber dan disusui seekor serigala sehingga menjadi manusia sakti mandraguna. Mereka berdua mampu menciptakan kota Roma yang indah di tepi Sungai Tiber hanya dalam satu malam. Tokoh kedua adalah Bandung Bondowoso yang menciptakan candi  Prambanan, bangunan seribu candi juga hanya dalam satu malam. Dan tokoh legenda ketiga, adalah Sangkuriang yang mampu membendung Sungai Citarum dan menciptakan danau buatan, yakni Danau Bandung juga hanya dalam satu malam.

Kita  pernah mendengar kisah kedigdayaan Jaka Tingkir yang disebut-sebut sebagai turunan buaya. Tetapi kita tak pernah mendengar ada legenda Jaka Tingkir  mencipta kota Pajang hanya dalam satu malam. Demikian pula kita tak pernah mendengar  Jaka Kahiman, menciptakan kota Banyumas hanya dalam satu malam. Padahal Adipati Mrapat pun dikisahkan sebagai sosok yang digdaya karena punya keris sakti Kiyai Gajah Hendra. Tetapi kita tak pernah mendengar legenda Kanjeng Adipati Mrapat dengan kesaktiannya itu, mampu membangun kota Banyumas secara sim salabim, hingga dalam waktu satu malam, kota Banyumas langsung terbentuk.

Kisah yang muncul malah menunjukkan Kanjeng Adipati Wirasaba VII itu harus membabat pohon tembaga lebih dahulu yang berada di tepi hutan Mangli, sampai akhirnya rumah Kadipaten dan Kota Banyumas terbentuk. Sang Adipati Mrapat juga dilukiskan sebagai tokoh yang sangat jujur,santun, bahkan adil. Ketika Sang Adipati Mrapat masih muda menemukan kersi Kiayi Gajah Hendra, dia tidak mau langsung mengklaim sebagai miliknya. Dia malah mengembalikannya kepada yang berhak yakni Kiyai Tolih, karena merasa keris itu bukan haknya. Kiyai Tolih yang terpesona dengan kejujuran Jaka Kahiman, malah menyerahkan keris sakti tersebut.

Demikian pula setelah diangkat jadi Adipati Wirasaba VII menggantikan mertuanya yang wafat dalam tragedi Sabtu Pahing, dia ingat kepada tiga adik iparnya yang lain. Maka dibagilah wilayah Kadipaten Wirasaba menjadi empat atas inisiatipnya sendiri. Hal ini menunjukkan Sang Adipati Mrapat sosok yang jujur,adil, tidak serakah dan jauh dari sikap adigang,adigung dan adiguna.

Sebelum pindah Kanjeng Adipati Mrapat menerima wisik. Wisik dalam psykhologi modern sebenarnya adalah ilham, yang bisa saja datang lewat mimpi. Suatu gejala psykhologi alamiah biasa saja sebenarnya. Tetapi bagi kalangan mistikus, wisik dianggap sebagai bisikan gaib yang datang dari balik alam semesta. Itulah sebabnya para mistikus sering mengabaikan dimensi waktu dan ruang, ketika mereka menciptakan tokoh-tokoh legenda yang telah diubah dari tokoh sejarah. Logika rasional, dianggap sebuah kebodohan, karena dianggap tidak mampu menyingkap misteri ghaib yang diperolehnya dari tempat-tempat keramat.

1.Proses Pembangunan kota Banyumas pada masa pra-mekanisasi.

Menurut penelitian Sugeng Priyadi, pembangunan kota Banyumas diawali oleh sebuah perintah kepada Adipati Mrapat yang termuat dalam sebuah kitab tembang Serat Sejarah Banyumas sbb  

“…sira Angaliha Kaki/sangking bumi Wirasaba/sira anggonana kulon/ing tanah bumi Kejawar/lor kulon prenahira/iku trukahana Kulup/benere kayu Tembaga..”(hal 56).

Kita tidak tahu siapa tokoh yang telah memerintahkan Sang Adipati Marapat itu. Bisa jadi dia tokoh guru spiritual Adipati Mrapat yang cukup berpengaruh. Eyang Kali Bening? Eyang Glagah Amba?  Atau bisa jadi ayah angkatnya sendiri Ki Mranggi Semu Kejawar. Sayang memang kita tidak tahu berapa lama waktu yang diperlukan oleh Adipati Mrapat untuk membangun kota baru Banyumas. Sebab teks itu memang mengabaikan dimensi waktu, sehingga kita tidak pernah tahu, berapa lama pembangunan kota Banyumas.

Demikian pula dalam berbagai tradisi lokal, kita hanya temukan bahwa Sang Adipati Mrapat ingin pindah dari Wirasaba ke Kejawar karena merasa tidak betah. Pada kisah lain karena menerima wisik. Apa pun alasan yang menyebabkan Sang Adipati Mrapat memutuskan untuk pindah dari Wirasaba ke Banyumas, tak pernah disebutkan berapa lama pembangunan infra struktur kota Banyumas dan rumah  Kabupaten.

Diabaikannya dimensi waktu dalam pembangunan kota Banyumas juga tampak pada hasil penelitian Sugeng Priyadi yang menyebutkan bahwa  hari jadi Banyumas adalah tanggal 22 – Februari- 1571.

Dalam naskah Kranji-Kedungwoeloeh yang menjadi andalan Sugeng Priyadi untuk menentukan tahun berdirinya kota Banyumas memang disebutkan bahwa Adipati Mrapat bersama istrinya pindah dari Wirasaba ke kota Banyumas tahun 1571, sebagaimana bunyi teks yang dikutip Sugeng Priyadi sbb:

“R.Soekartimah/R.H.Warga Oetama II/R.H.Boepati Wirasaba ping VII pindah Mrapat Banyoemas I  taoen 1571” (hal 27).

Jadi, dari teks itu kita memperoleh informasi Sang Adipati Mrapat beserta istrinya, keluarganya dan tentu dengan para punggawanya, pindah ke kota Banyumas pada tahun 1571. Dan itu dapat ditafsirkan bahwa  pada tahun 1571 kota Banyumas sudah siap dengan segala infrasrukturnya. Malah bisa jadi kota Banyumas itu sudah ada, sudah menjelma menjadi desa. Nama desa sebelum menjadi nama kota Banyumas bisa jadi adalah kota Selarong sebagaimana disebut dalam salah satu legenda. Atau malah nama desa itu Pekunden jika mengikuti deskripsi Sugeng Priyadi  soal situs kota lama Banyumas.

Tetapi jika dilihat dalam teks tembang sejarah Banyumas di atas, kota Banyumas  sama sekali tidak disebut. Yang disebut adalah tlatah Kejawar dan perintah agar membabad kayu Tembaga, sebagaimana bunyi teks” trukahana Kulup benere kayu Tembaga”. Kata trukahana dalam kamus Banyumas memang berarti membuka hutan. Mungkin hutan Mangli yang banyak tumbuh kayu tembaganya.

Sementara itu dalam Naskah Kalibening, disebutkan bahwa pada 27 Puasa, hari Rabu Sore Jaka Kahiman berada di Pajang, menghadap Raja Pajang. Menurut dugaan Sugeng Priyadi, Jaka Kahiman langsung dilantik jadi Adipati Wirasaba VII. Karena Sugeng Priyadi menduga tanggal 27 Puasa itu adalah tahun 1571 sebagaimana disebut dalam teks Kranji Kedungwuluh, yakni tahun 1571 Adipati Mrapat pindah Banyumas, maka tahun pelantikan dan tahun pindah ke kota Banyumas terjadi pada tahun yang bersamaan yakni satu tahun.  Hal ini berarti pembangunan hutan Tembaga oleh Adipati Mrapat relatip super cepat, hanya kurang dari satu tahun!

Mungkinkah pembangunan kota Banyumas dan rumah Kabupaten hanya berlangsung kurang satu tahun? Jelas ada dimensi waktu yang diabaikan dalam proses pembangunan kota Banyumas. Padahal penyebutan pohon tembaga menunjukkan bahwa pembangunan kota Banyumas akan lebih berat dibandingkan dengan membabat hutan Jambu Mangli!. Tradisi pembangunan kraton di Jawa paling tidak memakan waktu antara 3-5-7 tahun. Kraton Majapahit sekitar 2 tahun, kraton Mataram di Kota Gede sekitar 7 tahun dan Mataram di Kerta  perlu waktu 5 tahun. Majapahit relatip cepat karena R.Wijaya mendapat bantuan rakyat Madura anak buah Adipati Wiraraja dan hutan yang dibabatnya bukan hutan dengan pohon kayu keras. Apalagi pembangunan Kadipatan Bintaran lebih mudah lagi, karena yang dibabat hanya hutan glagah.

Pada masa pra-mekanisasi, pembangunan kota Banyumas yang hanya butuh waktu kurang dari satu tahun, sangat tidak masuk akal.Paling cepat adalah 4 tahun. Ini pun dengan asumsi Adipati Mrapat mampu mengerahkan rakyat Wirasaba untuk membabat hutan dengan struktur kayu sekeras tembaga!. Tentu saja logika mistik akan menganggapnya masuk akal membangun kota Banyumas, bahkan hanya dalam hitungan bulan. Sebab dalam logika mistik, segalanya adalah mungkin. Dan tidak ada yang tidak mungkin. Kota Roma saja hanya dibangun dalam waktu satu malam!.

Berbeda dengan hasil penelitian Sukarto yang menghasilkan hari jadi kota Banyumas dan Kabupaten Banyumas tanggal 6 April tahun 1582. Nampak penetapan tahun 1582 lebih rasional, dapat dibuktikan secara empiris dengan melakukan perbandingan pembangunan kota lain dan lebih mempertimbangkan dimensi waktu proses pembangunan sebuah kota Kabupaten. Jika diasumsikan proses pembangunan kota Kabupaten Banyumas memerlukan waktu 4 tahu, maka awal pembabatan hutan baru dimulai pada tahun 1578-1579 yakni mundur empat tahun dari angka tahun 1582.

Jika kita pegang tahun 1579, maka sangat cocok dengan telaah De Graaf yang menyatakan bahwa Adipati Wirasaba VI terbunuh pada tahun 1578 dan pengangkatan Jaka Kahiman menjadi Adipati Wirasaba VII dengan gelar Adipati Wargahutomo II menggantikan mertuanya, juga terjadi pada tahun 1578.  Nampak ada dimensi waktu yang lebih rasional antara waktu pengangkatan Jaka Kahiman(1578 ), peletakan batu pertama pembabatan hutan (1579) dan peresmian penggunaan kota Kabupaten Banyumas yang telah siap untuk dijadikan pusat mengendalikan pemerintahan Kabupaten Banyumas(1582).

Demikianlah telah terjadi anakronisme dalam Naskah Kedungwuluh ketika sang penyalin, menyebutkan “R.Soekartimah/R.H.Warga Oetama II/R.H.Boepati Wirasaba ping VII pindah Mrapat Banyoemas I  taoen 1571”

 Perpindahan itu bukan terjadi tahun 1571. Tetapi tahun 1582. Tepatnya 6 April atau 12  Mulud  1504 Jawa !

 2.Profil Biodata Adipati Wirasaba VI

Dengan menggunakan analisa filologi secara kasar dan berpegang pada telaah De Graaf bahwa Adipati Wirasaba wafat pada tahun 1578, kita dapat menyusun gambaran singkat profil masa hidup Adipati Wirasaba VI.  Asumsi yang dipakai adalah data dari budaya, adat dan tradisi bangsawan Jawa yang menunjukkan bahwa rata-rata para ksatria Jawa menikah pada usia windu ketiga yakni usia antara 17-24 tahun. Sedang para putri bangsawan rata-rata menikah antara 16-20 tahun.

Sebagaimana telah dibahas di atas, data pribadi Sang Adipati kurang lebih sbb:

(1) menikah pada usia 23 tahun,(2) Mantu putra pertama pada usia 40 tahun, ketika putri pertama berusia 16 tahun. Putri pertama lahir 1 tahun setelah orang tuanya menikah,(3) wafat menjelang mantu putri bungsunya sekitar 14 tahun setelah mantu putri pertama.Jadi diperkirakan wafat pada usia 54 tahun. Sang Adipati Wirasaba VI wafat pada tahun 1578. Dengan demikian kita bisa susun perkiraan kasar perjalanan hidup atau bio data Sang Adipati Wirasaba VI sbb:

1.      Lahir tahun 1524 M

2.      Menikah tahun 1547 M, pada usia 23 tahun.

3.      Punya Putri Pertama Rr.Sukartimah pada tahun 1548 M.

4.      Menikahkan putri pertama saat usia putri pertama Rr.Sukartimah berusia 16 tahun, tahun 1564 M

5.      Wafat dalam tragedi Sabtu Pahing, pada usia 54 tahun, pada tahun 1578 M.

Adipati Wirasaba VI punya 5 putra-putri sbb:

1.      Rr.Sukartimah

2.      R.Wirokusumo

3.      R.Wargo Wijoyo

4.      R.Wiroyuda

5.      Rr.Sukartiyah.

Demikian gambaran perkiraan profil data Adipati Wirasaba VI yang disusun berdasarkan analisa filologi, sekalipun tidak akurat dan merupakan rabaan kasar, kecuali tahun wafatnya (1578), paling tidak mendekati kenyataan berdasarkan adat dan tradisi yang berlaku.

Ternyata, Sang Adipati Wirasaba VI, lahir hampir bersamaan dengan lahirnya Sultan Pajang yang lahir tahun 1525 M, dua tahun sebelum Kediri jatuh (1527) dan 5 tahun sebelum Pengging diserbu Demak dibawah Sunan Kudus (1530 M).

3.Profl Biodata Adipati Mrapat.

Bagaimana profil biodata Sang Adipati Mrapat, pendiri Kabupaten Banyumas?  Agak mengejutkan juga, berdasarkan analisa filologi, usia Sang Adipati hanya mencapai usia 43 tahun! Suatu usia yang termasuk belum terlalu tua. Dan putranya ternyata juga wafat pada usia yang lebih muda lagi!.

R.Jaka Kahiman menikah diperkirakan pada usia 24 tahun, apalagi dia harus ngenger dulu di Wirasaba, lagi pula anak angkat Ki Mranggi Semu Kejawar, sehingga perlu waktu agak lama untuk membangun rumah tangga. Karena menikah pada tahun 1564 M, berarti R.Jaka Kahiman lahir pada tahun 1540 M, yaitu mundur 24 tahun dari tahun 1564 M yang merupakan tahun pernikahan Jaka Kahiman dan Rr.Sukartimah. Punya putra pertama, R.Jannah kira-kira lahir tahun 1565 M, yaitu 1 tahun setelah pernikahan ke dua orang tuanya. Tahun 1578 M, diangkat Jadi Adipati Wirasaba VII, dan tahun 1582 pindah ke Banyumas dan tahun 1583 M, wafat sebagai Adipati Mrapat. Kira-kira profil Bio data Adipati Wargahutomo II atau Adipati Mrapat adalah sbb:

1.      Lahir tahun 1540 M

2.      Menikah 1564 M

3.      Putra pertama,R.Jannah lahir 1565 M

4.      Diangkat sebagai Adipati Wirasaba VII dengan gelar Wargahutomo II, tahun 1578 M

5.      Mendirikan kota Banyumas, selesai dan pindah dari Wirasaba ke kota baru Banyumas tahun 1582 M.

6.      Wafat pada usia 43 tahun, ketika putra pertamnya R.Jannah berusia 18 tahun. Sang Adipati Mrapat Wargahutomo II, wafat tahun 1583 M.

7.      Masa Pemerintahan Sang Adipati Mrapat Wargahutomo II ( 1578 – 1583 M).

Dari data di atas kita tahu bahwa menurut Naskah Kalibening pernikahan R.Jaka Kahiman tanggal 15 Rajab. Berdasarkan analisa filologi tersebut di atas pernikahan Jaka Kahiman terjadi pada tahun 1564. Berdasarkan Babad Tanah Jawi, saat itu Pajang masih terlibat perang dengan Aryo Penangsang yang berlangsung hampir dua dasa warsa ( 1549 – 1568 ). Kerajaan Pajang baru berdiri pada tahun 1568 M. Atau empat tahun setelah pernikahan R.Jaka Kahiman dan Rr.Sukartimah. Karena itu paling cepat R.Jaka Kahiman berangkat ke Pajang adalah tahun 1569 M, atau 5 tahun setelah pernikahannya.

Saat  Adipati Wirasaba VI  tahu Pajang memenangkan perang dan Kerajaan Pajang berdiri sebagai penerus Demak, Rupanya Adipati Wirasaba VI ikut bergembira dan tentu saja mengakui kedaulatan Pajang. Untuk itulah Adipati Wirasaba VI mengirimkan menantunya Jaka Kahiman yang rupanya sejak 1569 itu telah diangkat jadi putra mahkota Kadipaten Wirasaba berangkat ke Pajang. Dengan demikian teks Naskah Kalibening, hal 42 yang menceriterkan perjalanan Jaka Kahiman ke Pajang, peristiwa itu diperkirakan  terjadi  pada 27 Ramadhan 1569 M. Sedangkan  teks hal 43  yang menceriterakan kejadian pernikahan R.Jaka Kahiman, peristiwa itu diperkirakan terjadi pada tanggal 15 Rajab 1564 M

Betul pengamatan Sugeng Priyadi, pada Naskah Kalibening tampak tidak ada kesinambungan ceritera antara hal 41 dengan hal 43. Karena hal 41 & 43 menceriterkan kejadian pada tahun 1564 M, sedangkan hal 42 menceriterakan kejadian tahun 1569 M. Memang terjadi selang waktu sekitar 5 tahun.

4.Adipati Mrapat dan Problem  Ketatanegaraan.

Satu masalah lagi yang perlu dikemukakan di sini adalah problem ketatanegaraan yang timbul dalam hubungan  Kraton Pajang - Kabupaten Banyumas setelah  Adipati Wargahutomo II membagi Wilayah Wirasaba menjadi empat bagian yaitu Wirasaba, Merden, Banjar Patambakan dan Kejawar.

Status wilayah yang dibagi itu nampak bersifat otonom sebagaimana disebut oleh Patih Purwosuprojo dengan tepat,”Sederekipun ingkang titiga sami kapisah- pisah  padalemanipun  ingkang sepuh ing Wirasaba, satunggilipun wonten ing Merden lan ingkang satunggilipun malih wonten ing Banjar Patambakan. Punika sadaya sami gadhah jajahan piyambak-piyambak…..”

Bagaimana hubungan ketatanegraan daerah pecahan itu, Merden, Banjar Patambakan, Wirasaba dan Kejawar  dengan pusat pemerintahan di Pajang?  Dimana posisi Adipati Wargahutomo II yang pragmatis, cerdas dan taktis itu?

Karena membagi wilayah Kadipaten Wirasaba menjadi empat, maka Adipati Wargahutomo II mendapat gelar Adipati Mrapat. Tetapi dimata Pajang yang dibagi hanya wilayahnya saja dan bukan jabatan adipatinya. Di mata Pajang yang terjadi  hanya pergantian nama kadipaten saja dari Kadipaten Wirasaba menjadi Kadipaten Banyumas dengan Adipati Banyumas Wargahutomo II. Luas wilayah Kabupaten Banyumas tetap seluas Kadipaten Wirasaba. Adapun ketiga adik iparnya itu memerintah daerah otonominya bukan atas nama Pajang, tetapi atas nama Adipati Mrapat. Sedang Adipati Mrapat memerintah seluruh wilayah Wirasaba yang telah berubah menjadi wilayah Banyumas adalah atas nama Sultan Pajang.

Itu sebabnya ketiga adik iparnya sekalipun memerintah daerah otonom, tetapi tak punya hak dan kewajiban seba dan sowan ke Kraton Pajang. Juga tak punya kewajiban bayar upeti langsung ke Pajang. Yang punya hak dan kewajiban seba dan sowan ke Pajang adalah tetap Adipati Mrapat. Demikian pula upeti yang harus dibayar Adipati Mrapat tidak boleh kurang, yaitu  sebesar upeti sebelum pindah dan sebelum wilayahnya dibagi. Artinya upeti ke Pajang untuk empat daerah otonom itu tetap menjadi tanggung jawab Adipati Mrapat dan tidak boleh kurang.

Tentu Adipati Mrapat juga cukup cerdik. Total upeti ke Pajang untuk empat daerah otonom dibagi empat dan dibebankan kepada iparnya masing-masing. Masing-masing daerah otonom itu menyetorkan jatah uperti ke Pajang lewat Adipati Mrapat. Bambang S Purwoko tepat sekali dalam bukunya Sejarah Banyumas, ketika menyebut Adipati Mrapat sebagai Wedana Bupati terhadap ketiga adik iparnya. (Bambang S Purwoko;Sejarah Banyumas; hal 28). Mungkin maksudnya Wedana Bupati identik dengan Kepala Bupati. Perubahan ketatanegraan baru terjadi pada masa Mataram, karena Mataram kemudian melakukan reorganisasai baru untuk mengendalikan daerah subur Lembah Serayu. Sejumlah daerah otonom itu kelak meningkat jadi kadipaten mandiri.

Di antara keempat daerah otonom yang berada di bawah kendali Adipati Mrapat, hanya Merden yang kurang berkembang, karena ipar Adipati Mrapat, R.Wirayuda rupanya kurang berminat pada urusan pemerintahan. Dia lebih suka pada aktivitas kebatinan dan mistik, dan lebih suka tinggal  di Senon, sehingga akhirnya terkenal sebagai Ki Ageng Senon. Daerah-daerah otonom itu baru mendapat pengakuan sebagai kadipaten, ketika Mataram dibawah Senapati mulai menguasai lembah Serayu.

Dalam Perang Diponegoro, wilayah otonom itu ( Meden, Banjar Patambakan dan Purworejo Klampok-eks Wirasaba menjadi daerah paling gigih membela Pangeran Diponegoro. Hal ini menunjukkan kuatnya ikatan daerah itu pada jaman Mataram.  Pada jaman Mataram, Merden pernah mengalami kemajuan yang pesat. Sayang kemudian jatuh lagi. Pasca Perang Diponegoro keempat daerah eks Kadipaten Wirasaba itu, berada di bawah Pemerintah Hindia Belanda dan berkembang menjadi bagian dari Karesidenan Banyumas. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Banyumas merupakan kabupaten yang pesat perkembangannya, sehingga terpilih sebagai  Ibu Kota Karesidenan Banyumas.

Pada masa Senopati, seluruh wilayah lembah Serayu berada di bawah kendali Mataram. Ekspansi Senapati ke barat relatip berjalan mulus. Tahun 1590 sudah sampai di Cirebon. Tahun 1595 Galuh sudah berada dibawah Senopati. Kadipaten Banyumas, Pasir, Cirebon dan Galuh, termasuk cepat mengakui Senopati, pasca jatuhnya Pajang.

Daerah Lembah Serayu dan Citanduy yang tidak segera mengakui Senopati, hanya Kadipaten Dayeuluhur dan Kadipaten Adireja. Akibatnya kedua kadipaten itu dihancurleburkan oleh Senapati, dengan menimbulkan kerusakan material dan korban manusia yang sangat banyak. Kedua Kadipaten dibakar. Bahkan Kadipaten Dayehluhur dengan istananya yang indah, Istana Salang Kuning yang dibangun oleh Raden Banyak Ngampar, Adik R.Kamandaka itu, terus mengepulkan asap selama sembilan hari sembilan malam. Peristiwa hancurnya Kadipaten Dayeuh Luhur dan Kadipaten Adireja memang tidak diungkap dalam BTJ. Akibatnya luput pula dari perhatian para penulis Babad Banyumas. Kisah lain menyebutkan bukan Senapati yang menghancurkan Dayeuhluhur dan Adireja. Tetapi Sultan Agung.Wallahualam.[Bersambung]

[Bersambung]

 [caption caption="Disain gambar anwar hadja,,latar belakang buku terbitan SIP Publishing dan foto milik Nadija"]Artikel lanjutan:

http://www.kompasiana.com/anklbrat/proses-pencabutan-perda-no-2-1990-kab-banyumas_56c6ed021397737705ffd712

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun