Naskah Kalibening dilaporkan setebal 60 halaman. Bisa jadi sisa halaman yang ada itulah yang digunakan sang penulis naskah yang berperan sebagai tokoh kula itu, melanjutkan proses penulisan kisah tokoh yang sedang dipujanya, Sang Adipati Mrapat.
Tokoh “kula” hal 42 dan 43 itu berbeda dengan tokoh kula halaman 41. Sebab tokoh “kula” halaman 41 adalah tokoh Kyai Mranggi yang sedang dilukiskan oleh sang penceritera atau sang penutur sedang bercakap-cakap dengan Kyai Tolih.
Secara filologi kita tentu bisa menggunakan imajinasi kita untuk membayangkan betapa meriahnya Pendopo Kadipaten Wirasaba pada saat terjadi resepsi pernikahan Jaka Kahiman dengan Rr.Sukartimah yang merupakan putri sulung Sang Adipati.
Kita bisa membayangkan, Jaka Kahiman Bagus Mangun tampil gagah, cakap dan percaya diri, karena sekalipun hanya anak angkat Kyai Sambarta, tetapi dalam dirinya mengalir darah Pajajaran dan Majapahit. Hal itu dibuktikan dengan keris yang terselip di pinggangnya pada hari perkawinan yang berbahagia itu. Keris yang terselip dipinggangnya saat duduk di pelaminan didampingi istrinya adalah keris pusaka Kyai Gajah Hendra yang sempat dimiliki Brawijaya V sekalipun hanya beberapa hari. Bahkan nama Gajah Hendra juga adalah nama pemberian Raja Agung Majapahit Sang Brawijaya V.
Di panggung pelaminan, duduk mendampingi kedua mempelai yang berbahagia, adalah pasangan Sang Adipati Wirasaba VI dan istrinya Kanjeng Ayu Adipati (RAy.Srini) yang duduk disebelah kanan kedua mempelai. Sedang pasangan orang tua kedua mempelai yang duduk disebelah kiri tidak lain adalah Kyai Mranggi Sambarta dan istrinya Nyi.Aisah Pandita Putra Haryo Baribin.
Menurut ceritera tutur rakyat Banyumas, Jaka Kahiman yang sering disebut Bagus Mangun adalah putra dari Raden Banyak Sasra yang menikahi Putri Kadipaten Pasir.Tetapi ketika masih kecil, ayahnya meninggal, sehingga Bagus Mangun diambil anak angkat oleh bibinya, Nyi Aisah yang menjadi istri Kyai Sambarta dari Kademangan Kejawar. Adapun Raden Banyak Sasra dan Nyi Aisah adalah kakak beradik putra dan putri Raden Haryo Baribin Pandita Putra, seorang bangsawan Majapahit yang terpaksa mengungsi ke Pajajaran menjelang terjadinya huru-hara perebutan tahta Majapahit dengan Kadipaten Keling. Kadipaten Keling yang berada di Pare, dekat Kediri inilah yang oleh ceritera tutur Banyumas dirubah jadi Kerajaan Banakeling. Menurut ceritera tutur Galuh, Kadipaten Banakeling ini letaknya tidak jauh dari Adireja dan Adipala.
Mungkin toponim Arja Binangun menginspirasi rakyat Banyumas, menempatkan Kerajaan Banakeling di sana. Atau bisa jadi Kyai Tolih yang digambarkan punya kekerabatan dengan Kadipaten Kaleng Kebumen, pada mulanya adalah rombongan dari Kadipaten Keling Pare yang mengungsi ke barat. Sampai daerah Banyumas, mereka mendirikan Kadipaten Kaleng di Kebumen dan Kadipaten Banakeling di dekat Adireja-Adipala. Raden Haryo Baribin sendiri menikah dengan Putri Pajajaran Dyah Ayu Ratna Kirana Pamekas. Dengan demikian menurut ceritera rakyat Banyumas, Bagus Mangun Jaka Kahiman adalah cucu dari Haryo Baribin-Ratna Kirana Pamekas.
Pernikahan R.Jaka Kahiman dan Rr.Sukartimah sebagaimana dilukiskan dengan baik oleh Naskah Kalibening itu, sekaligus merupakan proses alamiyah penyatuan secara kultural Kadipaten Pasir yang berada di utara Sungai Serayu dengan Kadipaten Wirasaba yang berada di sisi selatan Sungai Serayu. Dua wilayah yang sempat terpisah dan pada jaman pra Islam saling intai mengintai itu, menyatu dengan damai melalui perkawinan R.Jaka Kahiman, Sang Ksatria turunan dari Kadipaten Pasir dan Rr.Sukartimah dari Kadipaten Wirasaba. Perkawinan agung itu, menjadi simbol bersatunya dua trah kerajaan besar yang sempat terlibat konflik Jawa-Sunda akibat Perang Bubat (1357 M), yang menimbulkan luka mendalam di kalangan rakyat Sunda.
Trah Pajajaran yang diwakili R.Jaka Kahiman menyatu dengan trah Majapahit yang diwakili Rr.Sukartimah. Rakyat Lembah Serayu sebelah utara dan sebelah selatan menyatu kembali menjadi satu keluarga melalui simbol perkawinan agung itu. Perkawinan R.Jaka Kahiman dan Rr.Sukartimah, mengingatkan kepada perkawinan agung R.Kamandaka dengan Dewi Ciptarasa dari Kadipaten Pasir.
Bisa jadi kisah perkawinan agung Jaka Kahiman dan Rr.Sukartimah itulah yang menginspirasi seniman pedalangan wayang kulit Banyumas Gagrag Lor Gunung, untuk menciptakan tokoh Bawor, sebagai pengganti tokoh Bagong.
Bagong dalam kultur Sunda menimbulkan asosiasi kurang baik, karena bagong adalah nama binatang hutan, yakni babi hutan bin celeng. Sedang bagong dalam bahasa Jawa adalah nama ikatan rambut, seperti kuncung, kucir dan bagong. Bawor jika dikiratabasakan merupakan perpaduan dari kata (Ba)nyumas dan a(wor), atau dari kemiripan bunyi (Ba)gus Mangun dan a(wor). Awor dalam bahasa Sunda, mengandung arti persatuan kembali dua orang yang sempat terpisah karena pernah bertengkar.