Ada dua pranata penting yang digunakan oleh para raja kraton Jawa, khususnya Demak-Pajang-Mataram, untuk mengontrol kesetiaan para adipati atau bupati bawahan Sang Raja. Kedua pranata itu adalah seba dan sowan. Seba dilaksanakan pada setiap hari Senin dan Kamis di suatu ruang yang disebut Paseban. Sedang sowan dilaksanakan di dalam ruangan yang lebih luas yang disebut Pasowanan.
Jika seba dilaksanakan pada hari Senin dan Kamis, maka pasowanan dilaksanakan 3 kali setahun yang dikenal dengan Garebeg Syawal, Garebeg Besar dan Garebeg Maulud. Seorang raja bawahan seperti adipati atau bupati, wajib hadir setahun sekali dalam acara garebeg. Tetapi karena Garebeg Maulud merupakan garebeg yang paling besar, maka para raja bawahan lebih suka sowan menghadap raja atasan pada Garebeg Maulud yang dilaksanakan setiap tanggal 12 Rabiul Awal yang merupakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Sekalipun begitu ada pula adipati dan bupati yang menghadiri pasowana lebih dari satu kali.
Seorang adipati atau bupati sebagai raja bawahan, disamping mempunyai kewajiban hadir menghadap Sang Raja setahun sekali, juga memiliki kewajiban mengirim upeti kepada Sang Raja. Upeti ini bisa dikirim kapan saja, tidak harus bersamaan dengan hari-hari pasowanan, boleh diwakilkan dan tidak harus diantarkan sendiri oleh raja bawahan. Rupanya dalam posisi seperti itulah Bagus Mangun Jaka Kahiman beserta rombongan tiba di Kraton Pajang pada Rebo Sore, 26 atau 27- Puasa/Ramadhan. Di samping mengirimkan upeti Kadipaten Wirasaba, Jaka Kahiman juga mewakili mertuanya untuk sowan. Maksud Adipati Wirasaba VI mengutus Jaka Kahiman sebenarnya ada dua yaitu:
- Memperkenalkan Jaka Kahiman kepada Raja Pajang, bahwa Jaka Kahiman adalah menantu Sang Adipati dari putri pertama Adipati Wirasaba VI .
- Mohon restu kepada Raja Pajang agar menantu dari putri pertamanya itu sukses membangun rumah tangga.
Dengan mengutus menantu dari putri pertamanya menghadap Raja Pajang itu, sebenarnya Adipati Wirasaba VI secara tidak langsung, hendak memberitahu kepada Raja Pajang, bahwa Adipati Wirasaba VI, telah menunjuk Jaka Kahiman sebagai putra mahkota pewaris Kadipaten Wirasaba. Sebab memang konsep kekuasaan Kraton Jawa, pewarisan tahta baik pada raja pusat maupun raja bawahan mengikuti model pewarisan tahta siapa yang harus didahulukan sbb :
- Putra tertua, didahulukan dari putra tertua istri pertama.
- Putri tertua, yang akan diwakili oleh suaminya.
- Saudara laki-laki, saudara laki-laki ayah, kemenakan menurut garis keluarga ayah, saudara-saudara misan menurut garis keluarga ayah.(Soemarsaid Moertono; 1964 : 129).
Karena Adipati Wirasaba VI punya maksud untuk mengenalkan menantunya itu sebagai putra mahkota kadipaten calon pengganti dirinya kelak, maka kehadiran Jaka Kahiman di Kraton Pajang didampingi ayah angkatnya, Kyai Mranggi Semu.
Memang menurut ceritera rakyat, Kyai Mranggi Semu juga bukan tokoh sembarangan. Konon nasabnya berasal dari Sunan Ampel, lewat Sunan Modang, salah seorang putra Sunan Ampel. Kyai Sambarta atau Kyai Mranggi Semu, konon ketutunan ke-6 Sunan Modang. Jika melihat garis nasabnya, memang Kyai Mranggi Semu layak ditunjuk Adipati Wirasaba VI untuk mendamping Jaka Kahiman menghadap Adipati Pajang.
Pada hakekatnya upacara garebeg yang didahului pasowanan agung pada kraton Islam Jawa merupakan arena untuk membangun kultus kemegahan dan kewibawaan Sang Raja terhadap para raja bawahan dan rakyat kerajaan. Karena itu para raja bawahan diwajibkan untuk hadir. Raja bawahan yang tidak hadir, akan segera dicurigai sebagai tanda memudarnya kesetiaan raja bawahan. Dan raja bawahan itu dengan mudah akan dicurigai sebagai melakukan persiapan pemberontakan.
Sebagai suatu kultus kemegahan, ukuran kemewahan dan kesemarakan menjadi penting. Dalam hal ini banyaknya pengunjung yang terdiri dari para adipati bawahan dengan pengiringnya menjadi perlu, karena banyaknya adipati yang hadir bisa dijadikan bukti nyata kebesaran kekuasaan Raja. Para adipati bawahan dan pengikutnya juga senang bisa hadir dalam pasowanan agung itu, karena mereka juga diperlakukan secara terhormat. Mereka duduk ditempat yang telah diatur menurut kepangkatan mereka, baju yang dikenakan juga menjadi ciri-ciri kedudukan mereka. Demikian juga jumlah pengiring para adipati bawahan, bisa menjadi ukuran kemegahan para adipati bawahan dibandingkan dengan adipati bawahan yang lain.
Rupanya posisi penempatan tempat duduk Jaka Kahiman, Kiyai Mranggi Semu dan para pengiringnya dari Kadipaten Wirasaba dalam pasowanan agung Garebeg Syawal itulah yang dilukiskan oleh tokoh “kula” pada halam 42 Naskah Kalibening dengan kalimat pendek,” Wataking nagara, manungsa kabektan name….. “ Artinya kurang lebih adalah,” telah menjadi adat kerajaan, tiap-tiap orang dalam pasowanan agung itu menempati posisinya sesuai dengan nama pangkat dan derajatnya masing-masing” . Maksudnya bisa jadi, para adipati dan orang kepercayaannya duduk bekumpul dengan para adipati. Para carik, punggawa dan para pengiring para adipati, juga ditempatkan pada tempat tersendiri yang lain lagi. Demikianlah tokoh kula telah merekam pengalamannya menghadiri pasowanan agung garebeg 1 Syawal di Kraton Pajang pada kalimat halaman 42.
Halama 43, menceriterakan tokoh kula yang sedang mengingat-ingat kembali hari perkawinan Jaka Kahiman dengan putri pertama Adipati Wirasaba yang berlangsung pada tanggal 15 Rajab.
Kalimat,” “peget gen kula imah-imah ing wulan Rejep tanggal kaping 15..”, dengan jelas tokoh kula perlu mengingat hari pernikahan Bagus Mangun Jaka Kahiman yang telah menikah pada bulan Rejeb, karena tokoh kula rupanya hendak menceriterakan kejadian empat belas tahun kemudian, yaitu tragedi Sabtu Pahing yang menyebabkan tewasnya Adipati Wirasaba VI dan pengangkatan Jaka Kahiman yang sudah dikenal Raja Pajang itu menjadi Adipati Wirasaba VII.