“He..he..he.. tentu saja keduanya Kakang. Pertama, Aku setuju Kakang Rekajaya secepatnya menemui Emban Khandeg Wilis dan sampaikan pesanku kepada Dinda Dewi. Katakan agar Dinda Dewi menjelaskan siapa diriku yang sebenarnya kepada Kanjeng Adipati. Kakang Rakajaya dan Emban Khandeg Wilis menjadi rantai penghubung aku dengan Dinda Dewi dan Kanjeng Adipati. Kedua, aku setuju Emban Khandeg Wilis jadi istri Kakang.”
“Terimakasih Raden,” kata Rekajaya, ”kapan sebaiknya hamba berangkat ke Kadipaten Pasirluhur? Besok atau lusa?” Wajah Rekajaya tampak cerah dan gembira sekali, matanya berbinar-binar seakan-akan sudah tidak sabar lagi karena ingin segera menemui Emban Khandeg Wilis.
“Ya, besok atau paling lambat lusa, kita lihat saja perkembangan keadaan dan akibatnya dari perkelaihan di lapangan Pangebatan siang tadi. Nitipraja jelas tewas. Tetapi Silihwarna? Masih tanda tanya.”
Tiba-tiba si Mercu yang berkeliaran kesana-kemari berlari-lari mendekat sambil berkokok beberapa kali, seolah-olah hendak memberitahu ada orang datang. Si Mercu tampak gelisah sekali.
“Hem, mereka mengejar kita, Kakang,” kata Raden Kamandaka yang membaca situasi dengan memperhatikan si Mercu yang tampak gelisah.
Dan benar saja, di pinggir hutan, terdengar suara Tumenggung Silihwarna berteriak-teriak memanggil Raden Kamandaka. Rupanya Tumenggung Silihwarna sudah sadar dari pingsannya.
“Hai, Kamandaka! Ini aku Silihwarna. Ayo keluar jika berani. Lawanlah aku dalam duel satu lawan satu. Jika engkau bisa mengalahkan aku, seluruh prajurit yang mengepungmu, bersedia menyerah kepadamu,” teriak Tumenggung Silihwarna dari sebuah tanah lapang yang ada di pinggir hutan.
Tanpa membuang waktu, Raden Kamandaka berjalan keluar dari dalam hutan, menemui Tumenggung Silihwarna.
“Hem, Silihwarna. Lihatlah matahari sudah condong ke barat. Tidak lama lagi matahari akan memasuki senja. Aku sebenarnya sedang tidak kober melayani kamu sekarang ini. Bagaimana kalau besok pagi saja? Kalau besok, aku pasti kober melayani tantangan kamu dengan tawaran yang menarik itu,”.
Tumenggung Silihwarna yang cerdas itu, mengira Raden Kamandaka masih terluka, sehingga dia menduga Raden Kamandaka tidak siap bertanding saat itu juga. Karena itu, dia menolak tawaran Raden Kamandaka untuk menundanya sampai besok.
“Kamandaka, kober atau tidak kober, hadapi aku sekarang saja. Ayolah, keluarkan seluruh jurus-jurus andalanmu!” tantang Tumenggung Silihwarna.