Rekajaya segera membuka simpul ikatan selendang sutra kuning. Begitu selendang sutra itu dibuka dan dipegangnya, Rekajaya menemukan sejumlah keganjilan. Selendang itu mengeluarkan aroma harum semerbak yang bersifat khas dari rempah-rempah yang digunakan untuk pengobatan yang tidak asing bagi Rekajaya. Dia memang dulu terbiasa membantu Nyai Kertisara membuat ramuan jamu.
“Hem, Raden, sebuah selendang sutra yang hebat dan punya khasiat. Dari aromanya, selendang ini pernah direndam dalam ramuan rempah-rempah sehingga bau harumnya yang khas tidak akan hilang,” kata Rekajaya sambil meraba-raba selendang sutra yang halus itu. Ketika Rekajaya mencoba menerawangnya di bawah sinar matahari, Rekajaya terkejut, karena dia menemukan di ujung-ujung selendang ada lipatan jahitan yang sangat rapi, dan berisi semacam serbuk yang sangat halus.
“Lho, Raden!. Ada serbuk tepung halus diujung-ujung selendang kuning ini. Lihatlah Raden!. Hem, hamba tahu sekarang. Mudah-mudahan benar. Serbuk itu hamba duga ramuan penyembuh luka. Dari mana selendang sutra kuning ini, Raden?”
“Dari Dinda Dewi. Aku yakin dugaan Kakang betul. Coba cari duri untuk melubangi lipatan ujung selendang sutra, ambil serbuk halus itu!”
Rekajaya segera bangkit untuk mencari duri. Kebetulan tidak jauh dari situ banyak rumput liar yang berduri tajam. Dalam waktu singkat duri yang dicari telah didapat. Dengan menggunakan duri, lipatan di ujung kain sutra berwarna kuning itu ditusuk. Seketika butiran-butiran serbuk halus berwarna coklat kopi mengalir keluar ke atas telapak tangan Rekajaya. Rekajaya merasakan aroma harum semerbak serbuk yang berwarna coklat halus itu.
Tanpa membuang waktu Rekajaya segera mengoleskan serbuk itu pada luka lambung kanan Raden Kamandaka. Ajaib memang, Raden Kamandaka tiba-tiba merasa nyaman, rasa perih dari lukanya menghilang seketika, darah yang menetes berhenti dan lukanya mulai mengering.
“Sekarang ikat luka itu dengan melilitkan seledang sutra agak ke atas lingkaran pinggang dan ikat keras-keras seperti semula, Kakang,” perintah Raden Kamandaka. Rekajaya segera melaksanakan perintah Raden Kamandaka. Kini luka yang telah dilumuri serbuk penutup luka itu diikat dengan selendang sutra yang meliliti pinggang Raden Kamandaka. Tiba-tiba Raden Kamandak merasa sangat nyaman, luka tikaman kujang yang sangat mengganggu gerak geriknya kini lenyap seketika.
“Sungguh Kakang, aku tidak menduga sama sekali, begitu besar perhatian Dinda Dewi kepadaku, sampai-sampai dia memberikan selendang sutra yang bersisi ramuan obat itu untuk menjaga keselamatanku dari kemungkinan terluka yang bisa saja terjadi setiap saat secara tidak disangka-sangka. Padahal luka akibat tikaman senjata rahasia biasanya mengandung racun yang mematikan dan sangat sulit disembuhkan.”
“Suatu bukti Sang Dewi sangat mencintai Raden. Selendang sutra kuning telah membantu proses penyembuhan luka akibat tikaman senjata rahasia.”
“Betul Kakang. Tetapi aku sebenarnya sedang gelisah. Aku mendengar kabar, Dinda Dewi akan dikawinkan dengan putra Adipati Dayeuhluhur yang masih saudara sepupunya. Kira-kira betul tidak berita tadi, Kakang?”
“Ah, hanya berita dari warung kopi yang belum tentu benar, Raden. Hamba tidak percaya sedikit pun. Hamba yakin Sang Dewi sangat mencintai Raden. Selendang kuning yang diberikan Sang Dewi itu sebenarnya simbol. Selendang kuning itu sesungguhnya dimaksudkan oleh Sang Dewi sebagai pengganti simbol janur kuning. Janur kuning itu dalam tradisi Pasirluhur, dipasang di depan rumah pengantin putri pada saat diadakan ritual perkawinan antara pengantin putra dan pengantin putri. Konon kata janur itu singkatan dari sajatine nur. Cahaya kebahagiaan hidup rumah tangga sejati, karena mendapat anugerah harta, tahta dan wanita yang akan melahirkan keturunan,” kata Rekajaya mencoba menghibur Raden Kamandaka.