Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel:Kisah Cinta Dewi Ciptarasa - Raden Kamandaka(66)

14 Februari 2015   08:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:12 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Engkau kuberi nama Lutung Kasarung.......

“Ya, kalau itu, diam-diam aku sudah memikirkannya. Selama ini Ayahanda Baginda Prabu Siliwangi dan dulu Kakek Rahyang Dewa Niskala, banyak membangun mandala-mandala dan padepokan pusat seni bela diri. Yang terkenal antara lain Padepokan Ciungwanara di kaki Gunung Galunggung, Padepokan Sangkuriang di lereng Gunung Tangkubanperahu dan Padepokan Megamendung di lereng Gunung Gede. Jika kelak takdirku bisa selamat mempersunting Dinda Dewi, aku akan usulkan kepada Ayahanda Prabu Siliwangi agar di sebelah timur Sungai Citanduy bisa didirikan paling tidak tiga buah mandala padepokan yang besar dan bekualitas”

“Suatu gagasan yang mulia, Raden. Di daerah mana saja kira-kira padepokan ilmu bela diri itu akan didirikan?”

“Ya, pertama daerah Dayeuhluhur, kedua di lereng Gunung Agung, dan yang ketiga, aku tidak mungkin melupakan Desa Kaliwedi. Aku lihat daerah di sebelah timur Gunung Tugel memanjang ke arah timur, ada perbukitan kecil yang sangat cocok dijadikan mandala padepokan untuk pendidikan dan pengembangan ilmu bela diri. Apalagi daerah itu tidak jauh dengan wilayah segitiga pertemuan Sungai Ciserayu dan Sungai Cingcinggoling.”

“Oh, alangkah gembiranya hamba, bila gagasan Raden itu kelak menjadi kenyataan. Hamba dan Nyai Kertisara akan membantu dengan sekuat tenaga untuk mewujudkan gagasan Raden. Kira-kira bila boleh tahu, apa nama padepokan di daerah hamba itu, Raden?”

“Padepokan di Dayeuhluhur, akan mengajarkan jurus harimau putih. Padepokan di lereng Gunung Agung, akan mengajarkan jurus bangau putih. Padepokan di sebelah timur Gunung Tugel akan mengajarkan jurus monyet putih.”

“ Kalau  boleh hamba akan  usul, Raden?”

“Usul Apa?”

“Jika kelak benar di desa hamba Kaliwedi akan didirikan padepokan yang akan mengajarkan jurus monyet putih, bagaimana kalau  padepokan itu diberi nama padepokan Kendalisada? “

‘’Wah, luar biasa, Kakang Rekajaya. Tahu ya siapa monyet putih dalam kisah Ramayana. Itulah Sang Hanoman, putra Sang Hyang Syiwa dengan Dewi Anjani, pahlawan yang gagah berani dalam perang besar antara Prabu Rama Wijaya melawan Rahwana dari Alengka. Baiklah usul Kakang aku terima,” katanya. Raden Kamandaka sendiri di kalangan pendekar Ksatria Pajajaran mendapat gelar kehormatan sebagai  Pendekar Monyet Putih.

“Ayo, selagi masih pagi  kita membuat terobosan melewati padang alang-alang lurus menuju timur laut sampai kita mencapai hutan yang lebat itu.,” kata Raden Kamandaka langsung meloncat ketengah padang alang-alang yang segera diikuti Rekajaya, meninggalkan pohon jati yang tumbuh sendirian di tepi jalan itu.

Tentu saja sebagai seseorang yang telah terbiasa dengan medan berat, Raden Kamandaka tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika dia harus  membuat jalan terobosan dengan menyibak padang alang-alang yang luas itu. Ternyata tanah yang dilewatinya cukup padat, sehingga dalam waktu singkat Raden Kamandaka dan Rekajaya selamat tiba di pinggir hutan yang sangat lebat itu.

Akhirnya Raden Kamandaka dan Rekajaya berhasil menemukan tempat yang nyaman di dalam hutan itu sebagai tempat berlindung sementara dari kejaran prajurit Pasirluhur.

“Kakang Rekajaya, si Mercu bisa dilepas, kasihan dia digendong terus. Bagaimana dengan bekal untuk hari ini ?”

“Jagung untuk si Mercu masih cukup. Air bersih, gula aren, gula kelapa, air nira, beras, sambal goreng dan  srundeng masih  cukup kalau hanya untuk bertahan tiga hari, Raden. Hanya lontong dan ketupat yang kemarin dibeli di pasar Pangebatan habis di santap tadi malam,” jawab Rekajaya.

“Kalau begitu, sekarang Kakang kembali ke tempat tadi. Agak jauh ke arah selatan pohon jati tadi, kelihatannya sudah ada pasar. Beli bekal yang cukup dan cari  pula kurungan ayam untuk si Mercu. Kasihan nanti malam bila ada musang atau kucing hutan yang mengintai si Mercu. Berani lewat jalan trobosan tadi, bukan?” tanya Raden Kamandaka. Rekajaya mengangguk menyanggupinya.

Pada saat Rekajaya pergi melewati kembali jalan trobosan yang membelah padang alang-alang, Raden Kamandaka berkeliling di dalam hutan untuk mencari jalan-jalan rahasia yang akan digunakan untuk meloloskan diri seandainya dia kelak menghadapi keadaan yang memaksa. Bagi Raden Kamandaka kehidupan di dalam hutan bukan hal yang baru. Raden Kamandaka banyak menemukan jalan yang sering dilewati para pemburu yang sering mendatangi hutan itu.

Aneka macam burung berloncatan dari dahan ke dahan, sambil mengeluarkan bunyi yang membuat suasan pagi itu riuh rendah dengan kicauan burung yang saling bersahut-sahutan. Raden Kamandaka mendongak ke atas dahan pohon kayu yang besar yang tumbuh lurus ke atas. Sayang tidak ditemukan burung ciung yang  banyak terdapat di hutan-hutan Galuh dan Pajajaran.

Memang sejumlah binatang sempat dilihat Raden Kamandaka seperti kijang, rusa, babi hutan, ular pohon dan gerombolan monyet yang berloncatan dari pohon ke pohon. Tetapi semua binatang itu menjauhi Raden Kamandaka. Harimau, banteng, serigala bahkan kentus, tak sempat dilihatnya.

Suatu ketika, Raden Kamandaka melihat seekor lutung yang agak besar bergelantungan sendirian jauh di atas dahan sebuah pohon. Tiba-tiba Raden Kamandaka sangat tertarik kepada lutung itu. Di pandangnya sejenak lutung yang sedang duduk di atas pohon itu, kemudian Raden Kamandaka  menggesekkan ujung jari tengah dengan ujung ibu jari tangan kanan sehingga mengeluarkan tiga kali bunyi  tak..tak..tak….Rupanya pesan itu sampai juga ke telinga lutung yang dari tadi diam saja menatap Raden Kamandaka dari tempat yang tinggi itu.

“He, lutung turun ke sini dan mendekatlah!” perintah Raden Kamandaka. Aneh juga, lutung yang berwarna kelabu dengan bulu-bulu yang halus itu langsung saja turun dan tahu-tahu sudah meloncat di atas pundak Raden Kamandaka. Dalam waktu singkat lutung itu sudah akrab dengan Raden Kamandaka. Lutung itu diam saja saat Raden Kamandaka mengusap-usap kepalanya, punggungnya dan membopongnya seperti anak kecil. Raden Kamandaka meniupkan mantra penjinak binatang ke telinga lutung itu.

“Aku pastikan engkau bukanlah penjelmaan Guru Minda, seorang dewa putra Sunan Ambu dalam kisah Lutung Kasarung yang digemari rakyat Kerajaan Galuh dan Pajajaran. Tetapi engkau kuberi nama Lutung Kasarung. Kelak akan aku persembahkan kepada Dinda Dewi di Kadipaten Pasirluhur, untuk menjadi teman di kala Adinda Sang Dewi kesepian karena menunggu kedatanganku,” kata Raden Kamandaka kepada lutung yang bulunya halus dan lembut itu.

Ketika Raden Kamandaka tiba ditempat semula, Rekajaya sudah ada di situ membawa sejumlah perbekalan yang berhasil dibelinya. Raden Kamandaka melihat sebuah kurungan ayam yang sangat bagus dan si Mercu sudah tinggal di dalamnya. Rekajaya terkejut saat Raden Kamandaka membopong seekor lutung yang cukup besar.

“Hei, Kakang, kita punya sahabat baru nih. Namanya Lutung Kasarung. Ayo salaman dengan Kakang Rekajaya,”  perintah Raden Kamandaka. Si Lutung segera meloncat ke hadapan Rekajaya dan mengajak salaman. Lalu si Lutung itu meloncat dan duduk di atas kurungan baru si Mercu. Rekajaya tertawa sekaligus kagum kepada ketrampilan lutung hutan yang baru dikenalnya itu. Dalam waktu singkat Raden Kamandaka sudah bisa mengajarkan sejumlah ketrampilan pada si Lutung.

“Nampaknya si Lutung Kasarung belum sarapan nih. Beli pisang tidak tadi, Kakang?” tanya Raden Kamandaka.Rekajaya menggeleng.

“Lupa Raden. Hanya kupat, lontong dan pepes ayam dan jagung rebus. Padahal tadi ada juga kacang rebus di pasar.”

“ Yah, tidak apa dikasih lontong dan jagung rebus juga mau kok. Ayoh kita makan ramai-ramai. Perutku pun sudah minta diisi,” kata Raden Kamandaka.

Pagi itu, sinar matahari pagi sudah menerobos ranting, dahan dan daun-daun pohon hutan yang besar dan yang menjulang ke langit biru. Raden Kamandaka, Rekajaya, si Lutung Kasarung dan si Mercu sibuk mengisi perutnya masing-masing.

Pelan tetapi pasti, pagi telah bertukar dengan siang. Angin hutan bertiup lembut menimbulkan rasa nyaman dan sejuk bagi mereka yang ada di dalam hutan, sekalipun sesungguhnya sinar matahari sangat menyilaukan mata.

Ketika Raden Kamandaka dan Rekajaya sedang  menyiapkan berbagai keperluan untuk bertahan dan berlindung di dalam hutan itu, tiba-tiba si Mercu menjadi gelisah. Si Lutung Kasarung ikut gelisah. Dia naik keatas pohon dan di sana ribut, seakan-akan hendak memberi tahu adanya orang-orang yang berkumpul di pinggir hutan yang lebat itu.

“Eh, mereka kesiangan rupanya. Tengah hari begini baru datang mau menyusul kita,” kata Raden Kamandaka.

Tiba-tiba Raden Kamandaka mendengar suara anjing pelacak yang menyalak keras sekali mendekati tempat Raden Kamandaka dan Rekajaya berlindung.

“Biar saja. Tenang Kakang, tidak usah takut. Mereka tak akan berani masuk,” kata Raden Kamandaka menyakinkan Rekajaya yang mukanya pucat pasi karena ketakutan.

Anjing pelacak terus bergerak mendekati tempat Raden Kamandaka. Dengan mudah memang anjing pelacak itu menemukan tempat persembunyian Raden Kamandaka. Rupanya anjing pelacak itu sengaja dilepaskan sendirian saja, sedangkan tuannya sendiri menunggu di pinggir hutan tidak berani masuk untuk bertempur melawan Raden Kamandaka.

Mula-mula anjing pelacak itu terus-menerus menyalak, bisa jadi untuk memberi tahu tuannya. Tetapi begitu Raden Kamandaka berdiri dan memandang anjing pelacak itu, seketika anjing pelacak itu berhenti menyalak. Ketika Raden Kamandaka menggerak-gerakkan tangannya meminta anjing pelacak mendekat, anjing pelacak itu langsung mendekati kaki Raden Kamandaka. Raden Kamandaka membungkuk dan mengusap-usap anjing itu.

“Kakang Rekajaya, ada tulang sisa pepes ayam? Berikan padanya dan kurunglah. Si Mercu suruh keluar dulu saja,” perintah Raden Kamandaka pada Rekajaya.

Rekajaya segera memberi makan anjing pelacak itu dengan sisa-sisa tulang pepes ikan, kemudian mengurungnya dengan kurungan ayam.  Kurungan itu kemudian ditindih dengan batu yang cukup berat. Si Lutung dan si Mercu berebut naik ke atas kurungan. Tetapi akhirnya si Lutung mengalah. Dia meloncat ke atas pohon tidak jauh dari tempat duduk Raden Kamandaka.(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun