Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel:Kisah Cinta Dewi Ciptarasa - Raden Kamandaka(66)

14 Februari 2015   08:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:12 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu saja sebagai seseorang yang telah terbiasa dengan medan berat, Raden Kamandaka tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika dia harus  membuat jalan terobosan dengan menyibak padang alang-alang yang luas itu. Ternyata tanah yang dilewatinya cukup padat, sehingga dalam waktu singkat Raden Kamandaka dan Rekajaya selamat tiba di pinggir hutan yang sangat lebat itu.

Akhirnya Raden Kamandaka dan Rekajaya berhasil menemukan tempat yang nyaman di dalam hutan itu sebagai tempat berlindung sementara dari kejaran prajurit Pasirluhur.

“Kakang Rekajaya, si Mercu bisa dilepas, kasihan dia digendong terus. Bagaimana dengan bekal untuk hari ini ?”

“Jagung untuk si Mercu masih cukup. Air bersih, gula aren, gula kelapa, air nira, beras, sambal goreng dan  srundeng masih  cukup kalau hanya untuk bertahan tiga hari, Raden. Hanya lontong dan ketupat yang kemarin dibeli di pasar Pangebatan habis di santap tadi malam,” jawab Rekajaya.

“Kalau begitu, sekarang Kakang kembali ke tempat tadi. Agak jauh ke arah selatan pohon jati tadi, kelihatannya sudah ada pasar. Beli bekal yang cukup dan cari  pula kurungan ayam untuk si Mercu. Kasihan nanti malam bila ada musang atau kucing hutan yang mengintai si Mercu. Berani lewat jalan trobosan tadi, bukan?” tanya Raden Kamandaka. Rekajaya mengangguk menyanggupinya.

Pada saat Rekajaya pergi melewati kembali jalan trobosan yang membelah padang alang-alang, Raden Kamandaka berkeliling di dalam hutan untuk mencari jalan-jalan rahasia yang akan digunakan untuk meloloskan diri seandainya dia kelak menghadapi keadaan yang memaksa. Bagi Raden Kamandaka kehidupan di dalam hutan bukan hal yang baru. Raden Kamandaka banyak menemukan jalan yang sering dilewati para pemburu yang sering mendatangi hutan itu.

Aneka macam burung berloncatan dari dahan ke dahan, sambil mengeluarkan bunyi yang membuat suasan pagi itu riuh rendah dengan kicauan burung yang saling bersahut-sahutan. Raden Kamandaka mendongak ke atas dahan pohon kayu yang besar yang tumbuh lurus ke atas. Sayang tidak ditemukan burung ciung yang  banyak terdapat di hutan-hutan Galuh dan Pajajaran.

Memang sejumlah binatang sempat dilihat Raden Kamandaka seperti kijang, rusa, babi hutan, ular pohon dan gerombolan monyet yang berloncatan dari pohon ke pohon. Tetapi semua binatang itu menjauhi Raden Kamandaka. Harimau, banteng, serigala bahkan kentus, tak sempat dilihatnya.

Suatu ketika, Raden Kamandaka melihat seekor lutung yang agak besar bergelantungan sendirian jauh di atas dahan sebuah pohon. Tiba-tiba Raden Kamandaka sangat tertarik kepada lutung itu. Di pandangnya sejenak lutung yang sedang duduk di atas pohon itu, kemudian Raden Kamandaka  menggesekkan ujung jari tengah dengan ujung ibu jari tangan kanan sehingga mengeluarkan tiga kali bunyi  tak..tak..tak….Rupanya pesan itu sampai juga ke telinga lutung yang dari tadi diam saja menatap Raden Kamandaka dari tempat yang tinggi itu.

“He, lutung turun ke sini dan mendekatlah!” perintah Raden Kamandaka. Aneh juga, lutung yang berwarna kelabu dengan bulu-bulu yang halus itu langsung saja turun dan tahu-tahu sudah meloncat di atas pundak Raden Kamandaka. Dalam waktu singkat lutung itu sudah akrab dengan Raden Kamandaka. Lutung itu diam saja saat Raden Kamandaka mengusap-usap kepalanya, punggungnya dan membopongnya seperti anak kecil. Raden Kamandaka meniupkan mantra penjinak binatang ke telinga lutung itu.

“Aku pastikan engkau bukanlah penjelmaan Guru Minda, seorang dewa putra Sunan Ambu dalam kisah Lutung Kasarung yang digemari rakyat Kerajaan Galuh dan Pajajaran. Tetapi engkau kuberi nama Lutung Kasarung. Kelak akan aku persembahkan kepada Dinda Dewi di Kadipaten Pasirluhur, untuk menjadi teman di kala Adinda Sang Dewi kesepian karena menunggu kedatanganku,” kata Raden Kamandaka kepada lutung yang bulunya halus dan lembut itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun