Padahal, saat media massa menggeliat-nggeliat menampakkan sosok yang diduga menjadi pelaku bom bunuh diri tersebut, pihak kepolisian belum membuat pernyataan apa pun sehubungan identitas pelaku. Satu hari atau beberapa jam pasca peledakan bom, bagi Polri, jangankan mengidentifikasi pelaku bom bunuh diri, mengidentifikasi korban saja masih memerlukan waktu yang tidak sedikit.
Patahnya Sebuah Giringan Opini
Sejatinya, media massa berperan sebagai pendefinisi realitas sosial (definer of social reality). Ketika media massa mendefinisikan realitas sosial tertentu, media massa tidak mampu melakukannya secara otoritarian. Media membutuhkan elemen lain yaitu pasangan (soulmate). Elemen lain yang menjadi soulmate seyogyanya adalah elemen yang dapat dipercaya oleh publik. Dalam peristiwa terorisme, elemen yang layak menjadi soulmate media massa adalah kepolisian dan intelejen negara. Soulmate menduduki sebagai posisi sebagai narasumber yang validitas materi statemennya dapat dipertanggungjawabkan.
Seiring dengan pemberitaan sosok Nur Hasbi atau Nur Said sebagai pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott, Polri telah menggelandang keluarganya dari Temanggung ke Jakarta dan melakukan tes DNA. Hasil tes DNA keluarga Nur Hasbi atau Nur Said ini kemudian dicocokan dengan tes DNA pelaku bom bunuh diri yang disebut-sebut berinisial N dan menghuni kamar 1808 Hotel JW Marriott. Secara resmi, Polri kemudian membuat pernyataan bahwa hasil tes DNA kedua orang ini tidak menemukan kesesuaian.
Bisa kita bayangkan, bagaimana merahnya muka media massa ketika segala daya dan upaya menggiring opini publik bahwa pelaku bom bunuh diri adalah wong ndeso asal Temanggung, dipatahkan oleh statemen resmi kepolisian RI. Namun, untuk memulas merahnya muka, media massa segera berkelit dengan memberikan respon positif atas kemajuan penyidikan Polri. Mereka membandingkan percepatan hasil tes DNA pelaku bom bunuh diri tersebut dengan hasil tes DNA pelaku bom bunuh diri di Kafe Jimbaran, Bali beberapa tahun lalu yang memakan waktu berbulan-bulan dan melibatkan FBI serta CIA.
Patah sudah giringan opini publik media massa. Dengan mudah, mereka mengganti geliat giringan opini ke dugaan bahwa pelaku bom bunuh diri adalah seorang ABG. Dengan model jurnalisme psiko-kultural media massa kemudian melansir pemberitaan yang bertema penggunaan anak-anak sebagai martir aksi-aksi teroris.
Satu hal yang enggan diakui media massa adalah aksi giring-menggiring opini publik yang dilakukannya telah mengingkari prinsip objektivitas jurnalisme, dan merugikan pihak tertentu, bahkan cenderung bersifat pelanggaran HAM. Beberapa hal yang mesti dilakukan oleh media massa terkait dengan patahnya aksi giring-menggiring opini publik, adalah (1) pelurusan opini secara klarifikatif; (2) permintaan maaf dan pemulihana nama baik kepada segenap pihak yang telah dirugikan akibat materi pemberitaan yang nir objektivitas dan spekulatif;dan (3) ke depan, media massa seyogyanya merenovasi materi pemberitaannya, sehingga tidak hanya mengedepankan kuantitas tetapi lebih menitikberatkan kualitas berita.
Teror Mental Ala Media
Tony Bennett dalam Media, Reality, Signification (1988:288) mengatakan bahwa media adalah agen-agen yang menjalankan mediasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam melaporkan peristiwa-peristiwa sosial tertentu, termasuk terorisme, media mengemukakan sudut pandang spesifik. Konsekuensinya, media mampu membentuk dan menstrukturkan kesadaran sosial dan politik khalayaknya. Hal ini terjadi karena media tidak terpisah dari (apart from) realitas sosial, melainkan sebagai sebuah bagian dari (a part of) realitas sosial itu sendiri.
Sebagai publik penikmat media massa yang cerdas, pada dasarnya masyarakat kita sebenarnya telah gerah dengan Tragedi Giring-Menggiring Opini. Beberapa bulan yang lalu, media massa juga secara intens menjejali publik dengan pemberitaan pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen yang (diduga) melibatkan sosok Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar. Belum valid data-data yang menyebutkan keterlibatan sosok Bang Kumis, tetapi media massa dengan banal telah melansir pemberitaan bahwa cinta segi tiga-lah yang menjadi motif pembunuhan tersebut. Sosok gadis caddy misterius berseliweran di layar kaca pemirsa, meskipun secara konkret, yang bersangkutan belum pernah sekalipun menggelar jumpa pers. Ternyata, baru minggu kemarin, kepolisian menyeleseikan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan melimpahkannya ke kejaksaan. Tetapi, mengapa jauh sebelum BAP dilimpahkan ke Kejaksaan media massa telah menggiring publik mengamini bahwa figur Ketua KPK tersebut menjadi dalang pembunuhan Nasruddin?
Kita tidak usah terseret arus spekulatif, imajinatif, dan ‘memaksa’ ala pemberitaan media massa untuk menebak-nebak motif apa yang melatarbelakangi aksi giring-menggiring opini publik dalam kasus Antasari Azhar. Namun, apabila ke depan, media massa tetap setia dengan perspektif Mbah Surip yang nggendong kemana-mana stilistika pemberitaan model spekulatif, imajinatif, dan ‘memaksa’, maka media massa telah mengingkari eksistensi, fungsi, dan perannya sebagai pencerah. Andaikata media massa di tanah air menyadari, melalui bahasa auditif maupun visualisasi, sejatinya mereka telah melakukan teror mental kepada publik. Publik menjadi bahagia, berduka, nyaman, ataupun gelisah, tergantung pada ‘apa kata media’.