Oleh : Anjrah Lelono Broto, Litbang LBTI
Pasca ledakan bom yang mengguncang Hotel JW Marriott dan Ritz Charlton di kawasan Mega Kuningan (Jum’at, 17/07), media massa tanah air berlomba-lomba melansir pemberitaan seputar Petaka Jum’at Pagi Kelabu tersebut. Herannya, pemberitaan yang dilansir oleh media massa kita tersebut cenderung bersifat spekulatif, imajinatif, dan ‘memaksa’. Dalam konteks humanisme, pemberitaan yang non-faktawi dan mengandung unsur pemaksaan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Secara gamblang, media massa dalam mengemas pemberitaannya seputar Petaka Jum’at Pagi Kelabu tersebut hanya bertujuan untuk giring-menggiring opini publik, padahal model kemasan pemberitaan seperti ini jelas bertentangan dengan kaidah-kaidah jurnalistik investigasi yang berpijak pada objektivitas.
Sehari pasca ledakan yang menggagalkan rangkaian agenda Tour De Asia Manchester United (MU) ke Indonesia, media massa menjejali benak publik di tanah air dengan pemberitaan visualisasi gambar-gambar rekaman kamera CCTV di sudut-sudut kedua hotel. Dalam pemberitaaan di media televisi, secara berulang-ulang gambar tersebut ditayangkan waktu demi waktu sebagai bagian yang paling menarik dari materi pemberitaan. Tayangan tersebut diramaikan dengan aksesoris berupa kajian historis, narasumber yang tidak terkait secara langsung dengan peristiwa, bahkan ungkapan-pernyataan selebritis yang mondar-mandir di layar kaca sebagai bagian dari jurnalisme infotainmen.
Penyimpangan kaidah-kaidah jurnalistik investigasi memasuki ranah pelanggaran HAM tatkala dalam perlombaan menyajikan kebaruan materi pemberitaan media massa menyajikan informasi yang spekulatif dan imajinatif. Materi pemberitaan yang masih nir objektivitas dikemas ala sinetron dengan penyangatan di sana-sini sehingga menggiring interpretasi dan persepsi berlebihan di mata publik. Pada babak inilah Tragedi Giring-Menggiring Opini diawali.
Bukan Berita Biasa (BBB)
Beberapa jam pasca Petaka Jum’at Pagi Kelabu, media massa, khususnya televisi telah berpacu dan bersaing berebut perhatian publik dengan melansir informasi terkini di lapangan. Media massa cetak juga tidak mau ketinggalan, kejadian yang berlangsung pada pagi hari tersebut lazimnya akan menjadi pemberitaan pada esok harinya, akan tetapi situs-situs website masing-masing media massa telah di-update dengan pemberitaan yang baru terjadi beberapa jam lalu. Dalam perspektif media, hal ini tergolong sebuah aksian yang umumnya dipicu oleh adanya ‘bukan berita biasa’ (BBB).
Kala itu, tayangan-tayangan pemberitaan disarat-padati tuturan saksi mata, video-video amatir, dan respon masyarakat secara umum. Beberapa analis, pengamat, maupun selebritis dihadirkan untuk ditodong dengan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya nir objektivitas, karena cenderung intuitif-individualistik yang kaya dengan imajinasi, asumsi, dan prediksi. Bahkan beberapa media massa, secara spekulatif, telah melansir pemberitaan bahwa Amerika Serikat, Inggris, dan Australia telah mengeluarkan kebijakan travel warning ke Indonesia bagi warganya. Padahal, masing-masing negara belum mengeluarkan statemen tertentu kecuali ungkapan-ungkapan keprihatinan. Logiskah mengeluarkan kebijakan travel warning dengan hanya berpijak pada peristiwa yang terjadi beberapa jam yang lalu? Menurut saya, pemberitaan ini hanya dilatarbelakangi oleh spekulasi yang bertolak pada ketidakpastian kunjungan MU ke Indonesia, yang notabene akan menginap di hotel JW Marriott.
Di sisi lain, kondisi beberapa jam pasca ledakan adalah keadaan yang masih tersamar. Kepolisian sebagai institusi yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban negara, tentu saja, masih pada tahapan awal penyidikan. Akibatnya, media massa yang terikat dengan prinsip ke’kini’an terseok-seok mencoba menghadirkan materi pemberitaan terbaru bagi publik. Belum tersedianya informasi data yang valid, memungkinkan media massa berselingkuh dari objektivitas dan terperosok dalam jurang pemberitaan spekulatif dan imajinatif, serta ‘memaksa’.
Spekulasi dan imajinasi dalam materi pemberitaan ‘memaksa’ publik untuk mengamini opini bahwa dalang Petaka Jum’at Pagi Kelabu adalah The Living Terorist Legend Noordin M Top, satu lagi warganegara Malaysia yang ‘Metal’ (sayang bukan ‘Melayu Total’, melainkan ‘Mengebom Total’) selain mendiang Dr. Azahari. Kemudian, media massa juga ‘memaksa’ publik untuk mengamini bahwa aksi peledakan bom ini terkait dengan Jamaah Islamiyah (JI), Ustadz Abu Bakar Baasyir, dan Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki. Pemaksaan untuk mengamini ini kian menguat ketika media massa melansir nama Nur Hasbi atau Nur Said sebagai pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott.
Dengan kemasan jurnalisme investigasi, media massa melansir pemberitaan bahwa Nur Hasbi atau Nur Said adalah jebolan Ponpes Al Mukmin Ngruki yang seangkatan dengan Asmar Latin Sani, salah satu tokoh teroris di Indonesia. Berulang kali, media massa menayangkan foto wajah Nur Hasbi atau Nur Said yang berkacamata hitam dengan pose ndeso yang katrok. Dampaknya sungguh luar biasa bagi warga Katekan, Ngadirejo, Temanggung Jawa Tengah. Kampung mereka secepat kilat beredar luas di berbagai media massa, friendster, facebook, bahkan obrolan warung kopi dari Sabang sampai dengan Merauke. Tentu saja, kenyataan pahit ini menjadi peristiwa yang tidak terlupakan bagi warga Katekan, Ngadirejo, Temanggung.
Dengan kemasan tayangan reality show yang sarat dengan dramatisasi, media televisi menayangkan gambar kediaman orang tua Nur Hasbi atau Nur Said yang tertutup rapat. Efek dramatisasi ini kian terlihat ‘memaksa’ publik untuk mengamini opini media massa, ketika tayangan gambar kediaman orang tua Nur Hasbi atau Nur Said tersebut dipadu-padankan dengan tayangan rekaman CCTV Hotel JW Marriott yang menampilkan lelaki bertopi yang diduga sebagai Nur Hasbi dan pelaku bom bunuh diri. Tayangan ini berulang-ulang ditampilkan ke publik, sehingga efek penyangatan giring-menggiring opini kian kentara.
Padahal, saat media massa menggeliat-nggeliat menampakkan sosok yang diduga menjadi pelaku bom bunuh diri tersebut, pihak kepolisian belum membuat pernyataan apa pun sehubungan identitas pelaku. Satu hari atau beberapa jam pasca peledakan bom, bagi Polri, jangankan mengidentifikasi pelaku bom bunuh diri, mengidentifikasi korban saja masih memerlukan waktu yang tidak sedikit.
Patahnya Sebuah Giringan Opini
Sejatinya, media massa berperan sebagai pendefinisi realitas sosial (definer of social reality). Ketika media massa mendefinisikan realitas sosial tertentu, media massa tidak mampu melakukannya secara otoritarian. Media membutuhkan elemen lain yaitu pasangan (soulmate). Elemen lain yang menjadi soulmate seyogyanya adalah elemen yang dapat dipercaya oleh publik. Dalam peristiwa terorisme, elemen yang layak menjadi soulmate media massa adalah kepolisian dan intelejen negara. Soulmate menduduki sebagai posisi sebagai narasumber yang validitas materi statemennya dapat dipertanggungjawabkan.
Seiring dengan pemberitaan sosok Nur Hasbi atau Nur Said sebagai pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott, Polri telah menggelandang keluarganya dari Temanggung ke Jakarta dan melakukan tes DNA. Hasil tes DNA keluarga Nur Hasbi atau Nur Said ini kemudian dicocokan dengan tes DNA pelaku bom bunuh diri yang disebut-sebut berinisial N dan menghuni kamar 1808 Hotel JW Marriott. Secara resmi, Polri kemudian membuat pernyataan bahwa hasil tes DNA kedua orang ini tidak menemukan kesesuaian.
Bisa kita bayangkan, bagaimana merahnya muka media massa ketika segala daya dan upaya menggiring opini publik bahwa pelaku bom bunuh diri adalah wong ndeso asal Temanggung, dipatahkan oleh statemen resmi kepolisian RI. Namun, untuk memulas merahnya muka, media massa segera berkelit dengan memberikan respon positif atas kemajuan penyidikan Polri. Mereka membandingkan percepatan hasil tes DNA pelaku bom bunuh diri tersebut dengan hasil tes DNA pelaku bom bunuh diri di Kafe Jimbaran, Bali beberapa tahun lalu yang memakan waktu berbulan-bulan dan melibatkan FBI serta CIA.
Patah sudah giringan opini publik media massa. Dengan mudah, mereka mengganti geliat giringan opini ke dugaan bahwa pelaku bom bunuh diri adalah seorang ABG. Dengan model jurnalisme psiko-kultural media massa kemudian melansir pemberitaan yang bertema penggunaan anak-anak sebagai martir aksi-aksi teroris.
Satu hal yang enggan diakui media massa adalah aksi giring-menggiring opini publik yang dilakukannya telah mengingkari prinsip objektivitas jurnalisme, dan merugikan pihak tertentu, bahkan cenderung bersifat pelanggaran HAM. Beberapa hal yang mesti dilakukan oleh media massa terkait dengan patahnya aksi giring-menggiring opini publik, adalah (1) pelurusan opini secara klarifikatif; (2) permintaan maaf dan pemulihana nama baik kepada segenap pihak yang telah dirugikan akibat materi pemberitaan yang nir objektivitas dan spekulatif;dan (3) ke depan, media massa seyogyanya merenovasi materi pemberitaannya, sehingga tidak hanya mengedepankan kuantitas tetapi lebih menitikberatkan kualitas berita.
Teror Mental Ala Media
Tony Bennett dalam Media, Reality, Signification (1988:288) mengatakan bahwa media adalah agen-agen yang menjalankan mediasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam melaporkan peristiwa-peristiwa sosial tertentu, termasuk terorisme, media mengemukakan sudut pandang spesifik. Konsekuensinya, media mampu membentuk dan menstrukturkan kesadaran sosial dan politik khalayaknya. Hal ini terjadi karena media tidak terpisah dari (apart from) realitas sosial, melainkan sebagai sebuah bagian dari (a part of) realitas sosial itu sendiri.
Sebagai publik penikmat media massa yang cerdas, pada dasarnya masyarakat kita sebenarnya telah gerah dengan Tragedi Giring-Menggiring Opini. Beberapa bulan yang lalu, media massa juga secara intens menjejali publik dengan pemberitaan pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen yang (diduga) melibatkan sosok Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar. Belum valid data-data yang menyebutkan keterlibatan sosok Bang Kumis, tetapi media massa dengan banal telah melansir pemberitaan bahwa cinta segi tiga-lah yang menjadi motif pembunuhan tersebut. Sosok gadis caddy misterius berseliweran di layar kaca pemirsa, meskipun secara konkret, yang bersangkutan belum pernah sekalipun menggelar jumpa pers. Ternyata, baru minggu kemarin, kepolisian menyeleseikan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan melimpahkannya ke kejaksaan. Tetapi, mengapa jauh sebelum BAP dilimpahkan ke Kejaksaan media massa telah menggiring publik mengamini bahwa figur Ketua KPK tersebut menjadi dalang pembunuhan Nasruddin?
Kita tidak usah terseret arus spekulatif, imajinatif, dan ‘memaksa’ ala pemberitaan media massa untuk menebak-nebak motif apa yang melatarbelakangi aksi giring-menggiring opini publik dalam kasus Antasari Azhar. Namun, apabila ke depan, media massa tetap setia dengan perspektif Mbah Surip yang nggendong kemana-mana stilistika pemberitaan model spekulatif, imajinatif, dan ‘memaksa’, maka media massa telah mengingkari eksistensi, fungsi, dan perannya sebagai pencerah. Andaikata media massa di tanah air menyadari, melalui bahasa auditif maupun visualisasi, sejatinya mereka telah melakukan teror mental kepada publik. Publik menjadi bahagia, berduka, nyaman, ataupun gelisah, tergantung pada ‘apa kata media’.
************
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H