Begitu menginjakkan kaki di kawasan Kawah Sikidang, hati sudah mulai tertawan dengan suguhan pemandangan nan menakjubkan. Tanahnya unik dengan gradasi warna dari putih, kuning, hingga keoranyean. Corak ini tercipta akibat dari tingginya kandungan belerang di dalam tanah. Sekilas, tanah di sana jauh dari kesan subur. Tapi siapa sangka, justru ilalang, rumput, dan paku-pakuan dapat tumbuh di beberapa sudut, menyuguhkan rona hijau segar di tengah kegersangan.
Tiba tepat di bibir kawah, hidung ini langsung ‘tersengat’ bau belerang yang amat pekat. Jadi saya sadar diri untuk berada tak terlalu dekat. Sebagai tambahan pengaman, sebuah pagar kayu sederhana sengaja dipasang di atas jurang untuk menjauhkan para pengunjung dari marabahaya yang sewaktu-waktu bisa terjadi akibat kecerobohan diri.
Daya tarik lain dari Kawah Sikidang adalah ditemukannya kawah-kawah kecil yang tersebar di beberapa tempat. Ajaibnya, kemunculan kawah tersebut seringkali berpindah-pindah dari satu titik ke titik lainnya. Karena fenomena alam inilah, kawah tersebut dinamakan Sikidang oleh penduduk setempat. Dalam bahasa Indonesia, Kidang berarti rusa, hewan yang lincah bergerak ke sana ke mari.
Di Kebun Teh Tambi yang terletak sedikit di bawah Dataran Tinggi Dieng tersebut, saya bersama keluarga dapat menghirup udara segar sepenuhnya tanpa polusi. Letaknya yang hanya sedikit masuk dari jalan utama Dieng-Wonosobo, kira-kira 200 meter, memudahkan kami untuk menjangkaunya. Kebun teh ini menawarkan kegiatan trekking melewati rimbun tanaman teh yang terawat dengan baik.
Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, Kebun Teh Tambi dikelola oleh NV. John Peet, anak perusahaan Bagelen Thee & Kina Maatschaappij yang berkantor pusat di negeri Belanda. Baru setelah revolusi kemerdekaan, kepemilikannya berpindah tangan ke PT Perkebunan Tambi pada tahun 1957. Beberapa merek teh produksinya sudah dikenal masyarakat, seperti Cap Petruk, Botol, dan Gunung. Tak hanya melayani pasar dalam negeri, teh Tambi juga telah diekspor ke mancanegara.
Ketika itu hari telah beranjak sore, jadi kami telah melewatkan pemandangan para buruh memetik daun-daun teh. Tapi tak apa. Karena, berjalan di tengah-tengah kebun teh saja sudah menjadi pengalaman tersendiri. Tak ada hingar bingar kendaraan yang memekakkan telinga. Tak ada riuh orang bertukar kata-kata. Yang terdengar hanya kicau burung yang sesekali memecah keheningan. Waktu seolah berjalan pelan, membuat badan dan pikiran menjadi rileks. Kedekatan dengan alam seperti ini merupakan sebuah kemewahan yang bisa didapatkan tanpa harus mengeluarkan banyak uang.