Alam beradu sengit dengan tekad kami di sepanjang jalur Garung, Kejajar, hingga Dieng. Jalan berkelok yang disambung dengan tanjakan tajam di beberapa titik memberikan banyak kejutan. Rasa khawatir menyeruak lantaran usia mobil kami yang tak lagi muda. Doa terpanjat dan harapan digantungkan agar mobil itu tidak menyerah di tengah jalan akibat beratnya medan. Ipar saya menjamin semuanya akan baik-baik saja karena ia telah berpengalaman menaklukkan jalur itu puluhan kali. “Anggap saja kita baru naik rollercoaster”, tandasnya.
Suguhan pemandangan mistis di luar jendela mobil sedikit mengusir rasa khawatir. Kabut putih yang berkerumun di puncak-puncak bukit membuat mata terpana. Waktu itu hari belum sepenuhnya terang, akan tetapi obyek alam dalam jangkauan mata sudah samar-samar terlihat. Di belakangnya, siluet gunung membayangi, seolah menjadi dinding pembatas dengan dunia lain.
Akhirnya, sang surya mengambil alih pagi. Spektakuler! Berkas-berkas cahayanya pelan mengikis rona gelap yang bertahta semalaman di setiap sudut alam Dieng. Sejurus kemudian, jendela mobil saya buka lebar-lebar untuk menangkap belaian lembut cahaya pagi. Hangat menerpa wajah. Alam dieng pelan-pelan mulai ditelanjangi mentari pagi. Dan, betapa terkejutnya saya menemukan bukit-bukit telah gundul, dan digantikan dengan ladang-ladang kentang. Di sini, kuasa manusia atas alam terasa begitu absolut.
Sesampainya di komplek Candi Dieng, kami memutuskan untuk rehat sejenak. Dalam suasana ini, tidak ada kegiatan lain yang lebih mengasyikkan selain bersantap. Lagi pula hawa dingin yang masih enggan beranjak pergi membuat perut kami meronta minta diisi. Oleh sebab itu, kami sambangi sebuah warung makan yang telah buka dari pagi buta. “Mumpung di Dieng, yuuk..kita coba Mie Ongklok, makanan khas sini”, ajak kakak ipar saya yang pernah bermukim di Wonosobo selama empat tahun. Patuh pada mantan penduduk kabupaten itu, kami pun kompak memesan Mie Ongklok.
Sekilas, Mie Ongklok nampak berlendir karena kuahnya yang kental. Aneh? Jangan salah sangka dulu ya. Justru ini letak rahasia kelezatannya. Setelah menghimpun informasi termasuk bertanya langsung pada penjual, ternyata kentalnya kuah Mie Ongklok tercipta dari paduan sari pati singkong, gula merah, dan udang kering yang diramu sedemikian rupa. Saat penyajian, mie ini ditemani bumbu kacang, taburan lada, dan bawang goreng, memberi cita rasa gurih. Sedangkan tekstur renyah didapatkan dari sayuran berupa kubis dan daun kucai. Selagi panas, saya santap mie itu cepat-cepat. Sedapnya terasa hingga ubun-ubun he..he.
Oya kawan! Bagi yang belum tahu, sebenarnya Ongklok adalah keranjang yang terbuat dari anyaman bambu yang dahulu biasa digunakan oleh masyarakat Wonosobo dalam proses perebusan mie tersebut. Dari nama alat tersebut, Mie Ongklok dinamakan. Unik bukan?
Puas bersantap, perjalanan dilanjutkan. Karena sudah berada tepat di luar komplek Candi Dieng, tak perlu berkendara. Cukup dengan berjalan kaki saja. Biarlah mobil tua kami beristirahat setelah berjuang keras menaklukkan tanjakan. Adil bukan? Setelah menebus tiket masuk seharga sepuluh ribu rupiah per orang di loket, kami langsung memasuki area candi.
Deretan cemara cantik mengapit jalan setapak yang kami lalui menuju komplek Candi Dieng. Kawasan itu tampak tertata, sehingga menimbulkan kesan nyaman selama berada di sana. Tempat sampah sengaja diletakkan di beberapa titik agar wisatawan tidak membuang sampah sembarangan. Alhasil, tak ada satu pun sampah berserakan di sekitar pelataran candi. Kalau begini, saya semakin bersemangat menyambangi satu per satu candi di kawasan itu. Antusiasme seperti ini memang perlu dipupuk mengingat luasnya komplek Candi Dieng yang harus dijelajahi dengan berjalan kaki. Kawasan Candi Dieng menempati area seluas 90 hektar.
Komplek Candi Dieng dibangun oleh Wangsa Sanjaya pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi,. Tempat ini terbagi ke dalam tiga kelompok dan sebuah candi tunggal yang letaknya terpisah agak jauh dari kawasan tersebut. Uniknya, kawasan itu diberi nama merunut nama-nama tokoh pewayangan dalam cerita Mahabarata. Mereka bernama Kelompok Arjuna, Kelompok Gatotkaca, Kelompok Dwarawati, dan sebuah candi bernama Candi Bima.
Saya tidak tahu pasti mengapa candi-candi itu diberi nama seperti nama-nama tokoh wayang. Di sana pun tidak ada papan keterangan yang menjelaskan alasan penamaan tersebut. Namun yang pasti, ukuran candi-candi Dieng jauh lebih kecil dibandingkan candi-candi utama di Jawa, seperti Borobudur dan Prambanan. Hal ini bukan berarti candi-candi itu miskin estetika. Ukuran tidak lagi jadi soal bila sudah berbicara tentang arsitektur. Keangunan candi terlihat pada bentuk dan ornamen yang menghiasi setiap jengkal bagiannya.
Bisa dibilang Candi Arjuna adalah bintangnya diantara keempat candi tersebut. Atap candi ini berjenjang dengan menara-menara kecil bertengger di setiap sudutnya. Kala dan makara, ornamen khas candi-candi Hindu, ditemukan pada pintu masuk dan hiasan relung-relung candi menempel pada dinding-dinding candi. Di dalam ruangan candi, hanya ditemukan sebuah yonitanpa lingga yang biasa ditemukan dalam interior candi-candi Hindu lainnya.
Kelompok Candi Gatotkaca bertetangga dekat dengan Kelompok Candi Arjuna. Tak sampai dalam hitungan menit untuk mencapainya dengan hanya berjalan kaki. Kelompok Candi Gatotkaca terdiri atas Candi Setyaki, Candi Nakula, Candi Sadewa, Candi Petruk, dan Candi Gareng. Menurut saya, Candi Setyaki lah yang paling menyita perhatian saya karena terpisah dari kelompoknya. Berjarak sekitar 200 meter dari kelompoknya, candi ini terletak di tengah perkebunan kentang warga.
Menurut sebuah sumber, Candi Setyaki diperuntukkan sebagai tetirah maupun tempat tinggal pendeta di masa silam. Penjelasan atas kegunaan candi tersebut memang logis adanya. Karena, biasanya letak tempat tinggal pendeta berada terpisah dari bangunan utama tempat peribadatan. Aduh…pikiran saya kok semakin asyik sendiri dengan praduga.
Perjalanan merambah ke area Candi Dwarawati yang terletak di tepi perkampungan warga. Di sana, terdapat Candi Dwarawati, Candi Abiyasa, Candi Pandu, dan Candi Margasari. Satu-satunya bangunan yang masih utuh berdiri adalah Candi Dwarawati. Konon, nama candi ini mengikuti nama ibu kota Kerajaan Dwarata di India. Berbeda dengan candi-candi Hindu lainnya, pipi tangga dan pintu masuk tidak memiliki hiasan, seperti kalamakara atau pun naga yang menjuntai dari atas ke bawah dengan mulut menganga.
Atap Candi Bima bertingkat lima dengan stupa berbentuk seperti mangkuk tertelungkup. Ornamen ini disebut shikara. Relung pada atap candi diisi oleh kudu, ornamen lengkung yang menampilkan potret setengah badan para dewa. Jumlahnya sebanyak dua puluh empat. Selain melambangkan wajah kejayaan, kudu juga dipercaya bisa menolak bala.
Belum ke Dieng namanya bila tidak menyempatkan diri untuk menyambangi kawah-kawahnya. Secara geologis, Dieng adalah sebuah kaldera gunung api purba bertepikan gunung-gunung berapi yang masih aktif, seperti Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Sehingga, di sana banyak dijumpai kawah dan danau vulkanik dengan kandungan belerang tinggi. Maka bisa dikatakan kalau Dieng identik dengan kawah-kawahnya yang membara.
Begitu menginjakkan kaki di kawasan Kawah Sikidang, hati sudah mulai tertawan dengan suguhan pemandangan nan menakjubkan. Tanahnya unik dengan gradasi warna dari putih, kuning, hingga keoranyean. Corak ini tercipta akibat dari tingginya kandungan belerang di dalam tanah. Sekilas, tanah di sana jauh dari kesan subur. Tapi siapa sangka, justru ilalang, rumput, dan paku-pakuan dapat tumbuh di beberapa sudut, menyuguhkan rona hijau segar di tengah kegersangan.
Tiba tepat di bibir kawah, hidung ini langsung ‘tersengat’ bau belerang yang amat pekat. Jadi saya sadar diri untuk berada tak terlalu dekat. Sebagai tambahan pengaman, sebuah pagar kayu sederhana sengaja dipasang di atas jurang untuk menjauhkan para pengunjung dari marabahaya yang sewaktu-waktu bisa terjadi akibat kecerobohan diri.
Daya tarik lain dari Kawah Sikidang adalah ditemukannya kawah-kawah kecil yang tersebar di beberapa tempat. Ajaibnya, kemunculan kawah tersebut seringkali berpindah-pindah dari satu titik ke titik lainnya. Karena fenomena alam inilah, kawah tersebut dinamakan Sikidang oleh penduduk setempat. Dalam bahasa Indonesia, Kidang berarti rusa, hewan yang lincah bergerak ke sana ke mari.
Di Kebun Teh Tambi yang terletak sedikit di bawah Dataran Tinggi Dieng tersebut, saya bersama keluarga dapat menghirup udara segar sepenuhnya tanpa polusi. Letaknya yang hanya sedikit masuk dari jalan utama Dieng-Wonosobo, kira-kira 200 meter, memudahkan kami untuk menjangkaunya. Kebun teh ini menawarkan kegiatan trekking melewati rimbun tanaman teh yang terawat dengan baik.
Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, Kebun Teh Tambi dikelola oleh NV. John Peet, anak perusahaan Bagelen Thee & Kina Maatschaappij yang berkantor pusat di negeri Belanda. Baru setelah revolusi kemerdekaan, kepemilikannya berpindah tangan ke PT Perkebunan Tambi pada tahun 1957. Beberapa merek teh produksinya sudah dikenal masyarakat, seperti Cap Petruk, Botol, dan Gunung. Tak hanya melayani pasar dalam negeri, teh Tambi juga telah diekspor ke mancanegara.
Ketika itu hari telah beranjak sore, jadi kami telah melewatkan pemandangan para buruh memetik daun-daun teh. Tapi tak apa. Karena, berjalan di tengah-tengah kebun teh saja sudah menjadi pengalaman tersendiri. Tak ada hingar bingar kendaraan yang memekakkan telinga. Tak ada riuh orang bertukar kata-kata. Yang terdengar hanya kicau burung yang sesekali memecah keheningan. Waktu seolah berjalan pelan, membuat badan dan pikiran menjadi rileks. Kedekatan dengan alam seperti ini merupakan sebuah kemewahan yang bisa didapatkan tanpa harus mengeluarkan banyak uang.
*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Visit Jawa Tengah 2016 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah @VisitJawaTengah (www.twitter.com/visitjawatengah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H