Mohon tunggu...
Anjas Prasetiyo
Anjas Prasetiyo Mohon Tunggu... lainnya -

Belajar dari Anda Semua

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Dieng; Rona Nirwana Tanah Jawa

30 Oktober 2016   10:05 Diperbarui: 30 Oktober 2016   10:11 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kembala Biri-biri di Dataran Tinggi Dieng (sumber: foto pribadi)

Kawah Sileri (sumber: foto pribadi)
Kawah Sileri (sumber: foto pribadi)
Saya berada di Telaga Warna hanya beberapa saat karena padatnya pengunjung. Tak mau berlama-lama di sana. Cukup melihat sekilas hijaunya air telaga lalu pindah ke obyek lain. Itu pun harus berebut tempat dengan ribuan wisatawan lain yang kelewat sibuk dengan selfie atau groupie.Saya putuskan untuk melihat kawah yang lebih alami tanpa bangunan yang mengitarinya. Maka, Kawah Sikidang menjadi objek berikutnya yang saya datangi setelah singgah sebentar di Kawah Sileri yang menyembul keluar di tengah hamparan ladang kentang.

Begitu menginjakkan kaki di kawasan Kawah Sikidang, hati sudah mulai tertawan dengan suguhan pemandangan nan menakjubkan. Tanahnya unik dengan gradasi warna dari putih, kuning, hingga keoranyean. Corak ini tercipta akibat dari tingginya kandungan belerang di dalam tanah. Sekilas, tanah di sana jauh dari kesan subur. Tapi siapa sangka, justru ilalang, rumput, dan paku-pakuan dapat tumbuh di beberapa sudut, menyuguhkan rona hijau segar di tengah kegersangan.

Tiba tepat di bibir kawah, hidung ini langsung ‘tersengat’ bau belerang yang amat pekat. Jadi saya sadar diri untuk berada tak terlalu dekat. Sebagai tambahan pengaman, sebuah pagar kayu sederhana sengaja dipasang di atas jurang untuk menjauhkan para pengunjung dari marabahaya yang sewaktu-waktu bisa terjadi akibat kecerobohan diri.

Kawah Sikidang dari kejauhan (sumber: foto pribadi)
Kawah Sikidang dari kejauhan (sumber: foto pribadi)
Pekatnya asap yang keluar dari lubang kawah membuat saya tak leluasa melihat isi di dalamnya. Beruntung, ada beberapa titik yang bebas dari asap. Dari sini, saya bisa mengintip lumpur panas yang ‘melompat-lompat’ di dalam kubah kawah. Konon, suhunya bisa mencapai 85 hingga 100 derajat celcius.

Daya tarik lain dari Kawah Sikidang adalah ditemukannya kawah-kawah kecil yang tersebar di beberapa tempat. Ajaibnya, kemunculan kawah tersebut seringkali berpindah-pindah dari satu titik ke titik lainnya. Karena fenomena alam inilah, kawah tersebut dinamakan Sikidang oleh penduduk setempat. Dalam bahasa Indonesia, Kidang berarti rusa, hewan yang lincah bergerak ke sana ke mari.

Bibir Kawah Sikidang (sumber: foto pribadi)
Bibir Kawah Sikidang (sumber: foto pribadi)
Setelah ‘berpanas-panas’ di sekitar kawah, saatnya untuk mengademkan diri. Bukan segelas es jeruk jadi pilihan, namun tempat lain yang bisa menyejukkan suasana. Kebun teh, sebuah tempat yang barangkali tidak masuk ke dalam daftar wajib kunjungan kebanyakan  wisatawan selama berada di Dieng. Namun bagi kami tak ada salahnya mencoba karena kerkunjung ke sana ibarat energy recharge setelah bersusah payah menjelajahi kawasan Dieng.

Di Kebun Teh Tambi yang terletak sedikit di bawah Dataran Tinggi Dieng tersebut, saya bersama keluarga dapat menghirup udara segar sepenuhnya tanpa polusi. Letaknya yang hanya sedikit masuk dari jalan utama Dieng-Wonosobo, kira-kira 200 meter, memudahkan kami untuk menjangkaunya. Kebun teh ini menawarkan kegiatan trekking melewati rimbun tanaman teh yang terawat dengan baik.

Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, Kebun Teh Tambi dikelola oleh NV. John Peet, anak perusahaan Bagelen Thee & Kina Maatschaappij yang berkantor pusat di negeri Belanda. Baru setelah revolusi kemerdekaan, kepemilikannya berpindah tangan ke PT Perkebunan Tambi pada tahun 1957. Beberapa merek teh produksinya sudah dikenal masyarakat, seperti Cap Petruk, Botol, dan Gunung. Tak hanya melayani pasar dalam negeri, teh Tambi juga telah diekspor ke mancanegara.

Kebun Teh Tambi (sumber: foto pribadi)
Kebun Teh Tambi (sumber: foto pribadi)
Belum lama ini, Kebun Teh Tambi membuka agrowisata untuk mengedukasi masyarakat tentang tanaman teh. Aktivitas seru, seperti out bond dan tea factory visit dapat diikuti oleh para wisatawan. Setelah lelah beraktivitas, wisatawan dapat beristirahat sambil mencicipi aneka jenis teh di sebuah kedai yang dikelola oleh perusahaan.

Ketika itu hari telah beranjak sore, jadi kami telah melewatkan pemandangan para buruh memetik daun-daun teh. Tapi tak apa. Karena, berjalan di tengah-tengah kebun teh saja sudah menjadi pengalaman tersendiri. Tak ada hingar bingar kendaraan yang memekakkan telinga. Tak ada riuh orang bertukar kata-kata. Yang terdengar hanya kicau burung yang sesekali memecah keheningan. Waktu seolah berjalan pelan, membuat badan dan pikiran menjadi rileks. Kedekatan dengan alam seperti ini merupakan sebuah kemewahan yang bisa didapatkan tanpa harus mengeluarkan banyak uang.

Daun-daun teh Tambi (sumber: foto pribadi)
Daun-daun teh Tambi (sumber: foto pribadi)
Kami habiskan penghujung sore itu dengan duduk-duduk di sebuah pos ronda untuk meregangkan kaki. Letaknya tepat berada di tepi jalan yang membelah perkebunan. Kami buka bekal nasi bungkus yang sempat terlupa. Lumayanlah untuk mengganjal perut sebelum makan malam tiba. Mau makan lagi nanti? Iya dong! Ukuran nasi bungkus yang tak seberapa itu tak mungkin membuat perut kenyang. Apalagi  karena sudah berada di Wonosobo, maka kuliner lainnya wajib dijajal sebelum pulang ke Jogja. Rasanya Dendeng Gepuk juga masih menanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun