Saya tidak tahu pasti mengapa candi-candi itu diberi nama seperti nama-nama tokoh wayang. Di sana pun tidak ada papan keterangan yang menjelaskan alasan penamaan tersebut. Namun yang pasti, ukuran candi-candi Dieng jauh lebih kecil dibandingkan candi-candi utama di Jawa, seperti Borobudur dan Prambanan. Hal ini bukan berarti candi-candi itu miskin estetika. Ukuran tidak lagi jadi soal bila sudah berbicara tentang arsitektur. Keangunan candi terlihat pada bentuk dan ornamen yang menghiasi setiap jengkal bagiannya.
Bisa dibilang Candi Arjuna adalah bintangnya diantara keempat candi tersebut. Atap candi ini berjenjang dengan menara-menara kecil bertengger di setiap sudutnya. Kala dan makara, ornamen khas candi-candi Hindu, ditemukan pada pintu masuk dan hiasan relung-relung candi menempel pada dinding-dinding candi. Di dalam ruangan candi, hanya ditemukan sebuah yonitanpa lingga yang biasa ditemukan dalam interior candi-candi Hindu lainnya.
Kelompok Candi Gatotkaca bertetangga dekat dengan Kelompok Candi Arjuna. Tak sampai dalam hitungan menit untuk mencapainya dengan hanya berjalan kaki. Kelompok Candi Gatotkaca terdiri atas Candi Setyaki, Candi Nakula, Candi Sadewa, Candi Petruk, dan Candi Gareng. Menurut saya, Candi Setyaki lah yang paling menyita perhatian saya karena terpisah dari kelompoknya. Berjarak sekitar 200 meter dari kelompoknya, candi ini terletak di tengah perkebunan kentang warga.
Menurut sebuah sumber, Candi Setyaki diperuntukkan sebagai tetirah maupun tempat tinggal pendeta di masa silam. Penjelasan atas kegunaan candi tersebut memang logis adanya. Karena, biasanya letak tempat tinggal pendeta berada terpisah dari bangunan utama tempat peribadatan. Aduh…pikiran saya kok semakin asyik sendiri dengan praduga.
Perjalanan merambah ke area Candi Dwarawati yang terletak di tepi perkampungan warga. Di sana, terdapat Candi Dwarawati, Candi Abiyasa, Candi Pandu, dan Candi Margasari. Satu-satunya bangunan yang masih utuh berdiri adalah Candi Dwarawati. Konon, nama candi ini mengikuti nama ibu kota Kerajaan Dwarata di India. Berbeda dengan candi-candi Hindu lainnya, pipi tangga dan pintu masuk tidak memiliki hiasan, seperti kalamakara atau pun naga yang menjuntai dari atas ke bawah dengan mulut menganga.
Atap Candi Bima bertingkat lima dengan stupa berbentuk seperti mangkuk tertelungkup. Ornamen ini disebut shikara. Relung pada atap candi diisi oleh kudu, ornamen lengkung yang menampilkan potret setengah badan para dewa. Jumlahnya sebanyak dua puluh empat. Selain melambangkan wajah kejayaan, kudu juga dipercaya bisa menolak bala.
Belum ke Dieng namanya bila tidak menyempatkan diri untuk menyambangi kawah-kawahnya. Secara geologis, Dieng adalah sebuah kaldera gunung api purba bertepikan gunung-gunung berapi yang masih aktif, seperti Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Sehingga, di sana banyak dijumpai kawah dan danau vulkanik dengan kandungan belerang tinggi. Maka bisa dikatakan kalau Dieng identik dengan kawah-kawahnya yang membara.