Mohon tunggu...
Anjas Prasetiyo
Anjas Prasetiyo Mohon Tunggu... lainnya -

Belajar dari Anda Semua

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Dieng; Rona Nirwana Tanah Jawa

30 Oktober 2016   10:05 Diperbarui: 30 Oktober 2016   10:11 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah telaga tersingkap mentari pagi (sumber: foto pribadi)

Saya tidak tahu pasti mengapa candi-candi itu diberi nama seperti nama-nama tokoh wayang. Di sana pun tidak ada papan keterangan yang menjelaskan alasan penamaan tersebut. Namun yang pasti, ukuran candi-candi Dieng  jauh lebih kecil dibandingkan candi-candi utama di Jawa, seperti Borobudur dan Prambanan. Hal ini bukan berarti candi-candi itu miskin estetika. Ukuran tidak lagi jadi soal bila sudah berbicara tentang arsitektur. Keangunan candi terlihat pada bentuk dan ornamen yang menghiasi setiap jengkal bagiannya.

Komplek Candi Arjuna (sumber: foto pribadi)
Komplek Candi Arjuna (sumber: foto pribadi)
Kawasan Candi Arjuna dikepung oleh rerumputan hijau yang tumbuh subur. Komplek ini dibingkai oleh jalan setapak yang tersusun atas kepingan-kepingan batu andesit berbentuk bujur sangkar. Di dalamnya berdiri berurutan mulai Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Sembadra, dan Candi Puntadewa, membentuk sebuah poros Candi dari selatan ke utara.

Bisa dibilang Candi Arjuna adalah bintangnya diantara keempat candi tersebut. Atap candi ini berjenjang dengan menara-menara kecil bertengger di setiap sudutnya. Kala dan makara, ornamen khas candi-candi Hindu, ditemukan pada pintu masuk dan hiasan relung-relung candi menempel pada dinding-dinding candi. Di dalam ruangan candi, hanya ditemukan sebuah yonitanpa lingga yang biasa ditemukan dalam interior candi-candi Hindu lainnya.

Candi Arjuna (sumber: foto pribadi)
Candi Arjuna (sumber: foto pribadi)
Saya menjumpai arsitektur tak biasa pada Candi Semar yang terletak bersemuka dengan Candi Arjuna. Bentuknya mirip sebuah rumah dengan atap limasan, tetapi tak berpuncak. Sebutannya Mandapa. Layaknya sebuah rumah, jendela kecil menempel pada kanan-kiri pintu masuk, serta pada dinding utara dan selatan candi. Konon, Candi Semar dulunya dipakai sebagai tempat penyimpanan senjata dan perlengkapan pemujaan bagi dewata.

Kelompok Candi Gatotkaca bertetangga dekat dengan Kelompok Candi Arjuna. Tak sampai dalam hitungan menit untuk mencapainya dengan hanya berjalan kaki. Kelompok Candi Gatotkaca terdiri atas Candi Setyaki, Candi Nakula, Candi Sadewa, Candi Petruk, dan Candi Gareng. Menurut saya, Candi Setyaki lah yang paling menyita perhatian saya karena terpisah dari kelompoknya. Berjarak sekitar 200 meter dari kelompoknya, candi ini terletak di tengah perkebunan kentang warga.

Menurut sebuah sumber, Candi Setyaki diperuntukkan sebagai tetirah maupun tempat tinggal pendeta di masa silam. Penjelasan atas kegunaan candi tersebut memang logis adanya. Karena, biasanya letak tempat tinggal pendeta berada terpisah dari bangunan utama tempat peribadatan. Aduh…pikiran saya kok semakin asyik sendiri dengan praduga.

Perjalanan merambah ke area Candi Dwarawati yang terletak di tepi perkampungan warga. Di sana, terdapat Candi Dwarawati, Candi Abiyasa, Candi Pandu, dan Candi Margasari. Satu-satunya bangunan yang masih utuh berdiri adalah Candi Dwarawati. Konon, nama candi ini mengikuti nama ibu kota Kerajaan Dwarata di India. Berbeda dengan candi-candi Hindu lainnya, pipi tangga dan pintu masuk tidak memiliki hiasan, seperti kalamakara atau pun naga yang menjuntai dari atas ke bawah dengan mulut menganga.

Candi Bima (sumber: foto pribadi)
Candi Bima (sumber: foto pribadi)
“Hanya karena letaknya paling jauh, sayang untuk melewatkan Candi Bima” pesan saya pada keluarga. Sepertinya, keluarga saya agak terpaksa menuntaskan perjalanan. Akan tetapi, romansa alam Dieng rupanya memupus lelah mereka. Jiwa pun semakin tersejukkan dengan sikap ramah warga yang kami temui selama melewati jalan setapak yang membelah perkebunan mereka. Namun ada pula yang tenggelam dalam kesibukan merawat tanaman. Diam-diam, saya ‘jepret’ mereka dengan kamera saku untuk mengabadikan momen itu.

Petani kentang tenggelam dalam pekerjaannya (sumber: foto pribadi)
Petani kentang tenggelam dalam pekerjaannya (sumber: foto pribadi)
Karena ketinggiannya, candi ini sudah memukau sejak dari kejauhan. Saya beserta keluarga yang sudah terengah-engah segera mempercepat langkah kami untuk menjemput keindahannya. Benar! semakin didekati, kecantikannya semakin terpancar. Arsitektur Candi Bima berbeda dengan bangunan candi pada umumnya yang ditemukan di Indonesia. Malah ada yang bilang kalau arsitekturnya mirip dengan Candi Bhubaneshwar di Odisha, India.

Atap Candi Bima bertingkat lima dengan stupa berbentuk seperti mangkuk tertelungkup. Ornamen ini disebut shikara. Relung pada atap candi diisi oleh kudu, ornamen lengkung yang menampilkan potret setengah badan para dewa. Jumlahnya sebanyak dua puluh empat. Selain melambangkan wajah kejayaan, kudu juga dipercaya bisa menolak bala.

Belum ke Dieng namanya bila tidak menyempatkan diri untuk menyambangi kawah-kawahnya. Secara geologis, Dieng adalah sebuah kaldera gunung api purba bertepikan gunung-gunung berapi yang masih aktif, seperti Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Sehingga, di sana banyak dijumpai kawah dan danau vulkanik dengan kandungan belerang tinggi. Maka bisa dikatakan kalau Dieng identik dengan kawah-kawahnya yang membara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun