Perlu diketahui bahwa kata Ushul Fiqih itu memiliki 2 kata yang maknanya meluas. Kata Ushul itu berasal dari Jama' kata Ashl yang artinya fondasi, dan sementara pengertian dari Fiqih ialah ilmu yang menjelaskan hukum hukum syar'iyah yang berkaitan dengan segala tindakan manusia, baik dari perbuatan nya maupun perkataannya.
Dan apabila Ilmu Ushul Fiqih tidak ada maka Ilmu Fiqih pun tidak ada, Karena ilmu fiqih itu bergandengan dengan ilmu ushul fiqih dan tidak dapat dipisahkan. Maka dari itu kita harus mengetahui bagaimana sejarah perkembangan ilmu ushul fiqih dari zaman Nabi Muhammad SAW, Para Sahabat, dan Tabi'in.
A. Ushul Fiqih Pada Zaman Nabi Muhammad SAW
Pada zaman Rasulullah SAW sumber hukum islam selalu berbalik kepada wahyu Allah SWT (Al-Qur'an), dan As-Sunnah. Jadi apabila ada persoalan atau permasalahan pada zaman ini Rasulullah akan menunggu wahyu turun dari Allah SWT, dan apabila wahyu tersebut tidak turun maka Rasulullah akan memberi sabda beliau yang sekarang disebut sebagai As-Sunnah (Hadits).
Rasulullah dan para sahabat juga berijtihad dalam permasalahan atau persoalan yang terjadi pada zaman ini apabila wahyu dari Allah SWT tidak turun ketika itu. Adapun contoh dari ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua sahabat berpergian, kemudian tibalah waktu sholat dan sayangnya mereka tidak mempunyai air untuk berwudhu. Lalu keduanya bertayamum dengan menggunakan debu yang suci dan segera melaksanakan sholat, akan tetapi setelah selesai sholat mereka menemukan air. Dan salah satu dari sahabat tersebut berwudhu kembali dan mengulang sholatnya, sedangkan sahabat yang lainnya tidak mengulang sholatnya. Lalu keduanya pergi menemui Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut, dan Rasulullah pun menjawab kepada sahabat yang tidak mengulang sholatnya "engkau telah memenuhi sunnah dan sholatmu mencukupi" , Rasulullah pun menjawab kepada sahabat yang kembali berwudhu dan mengulang sholatnya "bagimu dua pahala".
Kisah diatas menunjukkan bahwa sahabat berijtihad untuk menyelesaikan masalah ketika mereka menemukan air setelah mereka menyelesaikan sholat dengan bertayamum. Ada perbedaan pendapat tentang masalah ini, salah satu dari mereka mengulang kembali sholatnya dengan berwudhu, dan salah satunya tidak mengulang sholatnya. Akhirnya, Rasulullah membenarkan ijtihad kedua sahabat tersebut.
Ijtihad Rasulullah secara otomatis menjadi sunnah bagi umat islam. Seperti dalam hadits tentang pengutusan Mu'az Ibn Jabal ke yaman sebagai qadi, Nabi bersabda : "Bagaimana engkau (mu'az) mengambil suatu keputusan terhadap permasalahan hukum yang diajukan kepadamu?", Jawab Mu'az: "saya akan mengambil keputusan hukum berdasarkan kitab Allah SWT (Al-Qur'an)", Rasulullah pun menjawab: "kalau kamu tidak menemukan dalam kitab Allah SWT?", Jawab Mu'az: "saya akan mengambil keputusan berdasarkan Sunnah Rasulullah", Tanya Nabi: "jika engkau tidak menemukannya dalam Sunnah?" , Jawab Mu'az: "saya akan berijtihad, dan saya tidak akan menyimpang", Lalu Rasulullah menepuk dada Mu'az seraya mengatakan "segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi taufik utusan Rasulnya pada sesuatu yang diridhai oleh Allah dan Rasulnya".
Hadits di atas tidak menunjukkan secara nyata upaya nabi dalam mengembangkan ilmu ushul fiqih, akan tetapi secara tersirat Nabi memberikan ilmu yang luas untuk menetapkan hukum yang tidak ada didalam Al-Qur'an dan Hadits.
B. Ushul Fiqih Pada Zaman Para Sahabat
Ketika Rasulullah SAW wafat, muncul tantangan dan persoalan baru bagi para sahabat. Banyak sekali yang menuntut para sahabat untuk memecahkan suatu hukum dengan kapasitas para sahabat. Pada periode ini para sahabat melakukan ijtihad dengan menggunakan ushul fiqih, tetapi ushul fiqih pada zaman itu masih sangat awal dan belum banyak rumusan rumasan dalil seperti ushul fiqih zaman sekarang.
Sebagian sahabat yang sudah dikenal pada zaman itu sebagai pakar hukum antara lain Ali Bin Abi Thalib, Umar Bin Khatab, Abdullah Ibn Abbas, Abdullah Bin Umar, Abdullah Bin Mas'ud. Karir beliau semua sudah dimulai semenjak zaman Rasulullah SAW ketika masih hidup.
Para sahabat pada periode ini juga menggunakan pertimbangan Maslahah Mursalah, seperti Umar Bin Khatab yang dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah mursalah untuk memecahkan suatu hukum. Hasil dari pertimbangan maslahah mursalah tersebut bisa dilihat, seperti pengumpulan Al-Qur'an dalam satu mushaf, tidak memberlakukan hukuman potong tangan pada waktu panceklik, dan lain sebagainya.
Pada masa ini ushul fiqih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pendapat dan pemikiran soal memecahkan suatu hukum, akan tetapi pertukaran pemikiran antar sahabat itu lebih sering dilakukan untuk memecahkan suatu hukum dalam permasalahan dan persoalan yang menjadi tantangan para sahabat di periode ini.
Pembahasan hukum yang diberikan para sahabat masih terbatas pada pemberian fatwa atas masalah atau pertanyaan yang muncul, dan mereka pun belum mencapai tujuan untuk memperluas kajian hukum islam ke masalah metodologi.
C. Ushul Fiqih Pada Zaman Tabi'in
Pada periode ini wilayah kekuasaan islam sudah menyebar luas hingga kedalam pelosok pelosok daerah yang didalamnya bukan orang arab atau tidak bisa berbahasa arab dan dengan berbagai situasi kondisi lainnya pada saat itu. Beberapa ulama bertebaran di daerah daerah tersebut dan banyak juga penduduk yang memeluk agama islam. Yang pada akhirnya, munculah permasalahan dan persoalan baru yang hukumnya tidak ditemukan didalam Al-Qur'an dan Hadits, sehingga para tabi'in berijtihad untuk menemukan ketetapan hukum tersebut.
Para tabi'in berijtihad di beberapa daerah islam yaitu di Madinah, Irak, dan Basrah. Titik tolak ukur ulama dalam menetapkan suatu hukum bisa berbeda, ada yang menetapkan hukum dengan melihat dari pertimbangan Maslahah Mursalah, dan ada juga yang menetapkan hukum dengan Qiyas.
Dari perbedaan di atas dalam mengistinbathkan hukum, maka pada zaman itu terbagilah menjadi 3 kelompok ulama yaitu Madrasah Al-Irak, Madrasah Al-Madina yang dikenal sebagai Madrasah Al-Hadits, dan Madrasah Al-Kuffah yang dikenal sebagai Madrasah Ar-Ra'yu. Pada masa ini banyak terjadi perbedaan pendapat dan perdebatan antara ulama tentang hasil ijtihad dan dalil dalil. Perbedaan pendapat tersebut bukan hanya ulama daerah dengan ulama daerah lainnya, akan tetapi ada juga perbedaan pendapat antara ulama dalam satu daerah tersebut.
Pernyataan diatas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah kaidah syar'iyah, yang didalamnya terdapat kaidah kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar dasar syara' dalam menetapkan hukum berijtihad.
Dan karena semakin luasnya wilayah kekuasaan islam serta banyaknya pula penduduk bukan arab yang beragama islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang arab dan mereka yang mengakibatkan terjadinya penyusupan bahasa bahasa mereka dalam bahasa arab, yang berupa ejaan ataupun kata kata dalam kalimat, baik dari ucapan atau tulisan.
Keadaan diatas menimbulkan kekhawatiran atau keraguan dalam memahami nash nash syara'. Oleh karena itu, ulama menyusun kaidah kaidah lughowiyah (bahasa), agar mereka bisa memahami nash nash syara' sebagaimana yang dipahami oleh orang arab ketika sewaktu waktu nash tersebut turun atau datang.
Dari disusunnya kaidah kaidah syar'iyah dan kaidah kaidah lughowiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah. Maka, terwujudlah ilmu Ushul Fiqih. Menurut Ibnu Nadhim, Imam Abu Yusuf murid dari Imam Abu Hanifah adalah ulama yang pertama kali menulis kitab ilmu ushul fiqih, akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.Â
Dan diterangkan pula oleh Abdul Wahab Khallaf, bahwa Muhammad Bin Idris As-Syafi'iy (150-204 H) adalah ulama yang pertama kali membukukan kaidah kaidah ilmu ushul fiqih beserta alasan alasannya yang dinamakan kitab Ar-Risalah. Selain itu, kitab ini adalah kitab yang pertama dalam bidang ilmu ushul fiqih yang sampai kepada kita. Dan oleh karena itu, para ulama menganggap beliau sebagai pencipta Ilmu Ushul Fiqih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H