Para sahabat pada periode ini juga menggunakan pertimbangan Maslahah Mursalah, seperti Umar Bin Khatab yang dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah mursalah untuk memecahkan suatu hukum. Hasil dari pertimbangan maslahah mursalah tersebut bisa dilihat, seperti pengumpulan Al-Qur'an dalam satu mushaf, tidak memberlakukan hukuman potong tangan pada waktu panceklik, dan lain sebagainya.
Pada masa ini ushul fiqih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pendapat dan pemikiran soal memecahkan suatu hukum, akan tetapi pertukaran pemikiran antar sahabat itu lebih sering dilakukan untuk memecahkan suatu hukum dalam permasalahan dan persoalan yang menjadi tantangan para sahabat di periode ini.
Pembahasan hukum yang diberikan para sahabat masih terbatas pada pemberian fatwa atas masalah atau pertanyaan yang muncul, dan mereka pun belum mencapai tujuan untuk memperluas kajian hukum islam ke masalah metodologi.
C. Ushul Fiqih Pada Zaman Tabi'in
Pada periode ini wilayah kekuasaan islam sudah menyebar luas hingga kedalam pelosok pelosok daerah yang didalamnya bukan orang arab atau tidak bisa berbahasa arab dan dengan berbagai situasi kondisi lainnya pada saat itu. Beberapa ulama bertebaran di daerah daerah tersebut dan banyak juga penduduk yang memeluk agama islam. Yang pada akhirnya, munculah permasalahan dan persoalan baru yang hukumnya tidak ditemukan didalam Al-Qur'an dan Hadits, sehingga para tabi'in berijtihad untuk menemukan ketetapan hukum tersebut.
Para tabi'in berijtihad di beberapa daerah islam yaitu di Madinah, Irak, dan Basrah. Titik tolak ukur ulama dalam menetapkan suatu hukum bisa berbeda, ada yang menetapkan hukum dengan melihat dari pertimbangan Maslahah Mursalah, dan ada juga yang menetapkan hukum dengan Qiyas.
Dari perbedaan di atas dalam mengistinbathkan hukum, maka pada zaman itu terbagilah menjadi 3 kelompok ulama yaitu Madrasah Al-Irak, Madrasah Al-Madina yang dikenal sebagai Madrasah Al-Hadits, dan Madrasah Al-Kuffah yang dikenal sebagai Madrasah Ar-Ra'yu. Pada masa ini banyak terjadi perbedaan pendapat dan perdebatan antara ulama tentang hasil ijtihad dan dalil dalil. Perbedaan pendapat tersebut bukan hanya ulama daerah dengan ulama daerah lainnya, akan tetapi ada juga perbedaan pendapat antara ulama dalam satu daerah tersebut.
Pernyataan diatas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah kaidah syar'iyah, yang didalamnya terdapat kaidah kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar dasar syara' dalam menetapkan hukum berijtihad.
Dan karena semakin luasnya wilayah kekuasaan islam serta banyaknya pula penduduk bukan arab yang beragama islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang arab dan mereka yang mengakibatkan terjadinya penyusupan bahasa bahasa mereka dalam bahasa arab, yang berupa ejaan ataupun kata kata dalam kalimat, baik dari ucapan atau tulisan.
Keadaan diatas menimbulkan kekhawatiran atau keraguan dalam memahami nash nash syara'. Oleh karena itu, ulama menyusun kaidah kaidah lughowiyah (bahasa), agar mereka bisa memahami nash nash syara' sebagaimana yang dipahami oleh orang arab ketika sewaktu waktu nash tersebut turun atau datang.
Dari disusunnya kaidah kaidah syar'iyah dan kaidah kaidah lughowiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah. Maka, terwujudlah ilmu Ushul Fiqih. Menurut Ibnu Nadhim, Imam Abu Yusuf murid dari Imam Abu Hanifah adalah ulama yang pertama kali menulis kitab ilmu ushul fiqih, akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.Â