Pertemuan OKI juga menyebutkan begitu banyak persoalan yang sedang dihadapi Umat.
"Kami menegaskan kembali posisi prinsip OKI tentang masalah Siprus, dan menyatakan solidaritas kami dengan Muslim Turki Siprus beserta tujuan sah mereka. Kami menegaskan kembali solidaritas kami dengan Mali, Afghanistan, Somalia, Sudan, Pantai Gading, Persatuan Komoro, Djibouti, Bosnia dan Herzegovina, Rakyat Jammu dan Kashmir dan Siprus Turki serta aspirasi mereka untuk hidup damai, aman dan sejahtera," kata ID.
Hal aneh lainnya adalah absennya pejabat Menteri Luar Negeri Afghanistan Amir Khan Muttaqi. OKI memang membahas situasi Afghanistan.
"Kami menggarisbawahi komitmen kuat terhadap kedaulatan, kemerdekaan, integritas teritorial, dan persatuan nasional Afghanistan. Kami menyadari bahwa perdamaian dan stabilitas yang berkelanjutan di Afghanistan hanya dapat dijamin melalui pembentukan pemerintah yang komprehensif, berbasis luas dan inklusif dengan partisipasi semua etnis Afghanistan. Kami menggarisbawahi pentingnya penghormatan penuh terhadap hak asasi manusia semua warga Afghanistan, termasuk perempuan, anak-anak dan orang-orang yang termasuk minoritas etnis, agama dan budaya," kata ID.
Rupanya, rezim Taliban tidak senang dengan OKI karena sampai hari ini tidak ada negara anggota OKI, termasuk tuannya Pakistan, yang mengakui pemerintahannya.
Mereka juga mengutuk kekejaman terhadap Muslim Rohingya di Myanmar.
OKI yang beranggotakan 57 negara ini dimanfaatkan oleh beberapa kelompok kecil negara seperti Arab Saudi, Turki dan Pakistan untuk kepentingan nasional mereka sendiri. Mereka mengabaikan atau berdiam diri tentang masalah utama Umat seperti kemiskinan, kelaparan, terorisme, pendidikan dan kesehatan. Negara-negara ini mengubah OKI menjadi organisasi yang lemah dan tidak berguna.
Di antara 70 poin yang disebutkan di dalam ID, tidak disebutkan Indonesia yang memiliki jumlah umat Islam terbanyak di dunia dan ekonomi terbesar di OKI. Tidak disebutkan tentang kepemimpinan Indonesia saat ini di G20, sebuah kehormatan besar bagi mayoritas Muslim untuk memimpin ekonomi G20, dan peran utamanya dalam masalah Palestina, Rohingya, Afghanistan, Uyghur, radikalisme agama dan terorisme di berbagai forum internasional.
Ada kebutuhan mendesak untuk mengubah OKI dari macan kertas menjadi organisasi yang efektif seperti Uni Eropa.
Penulis adalah seorang jurnalis senior yang berbasis di Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H