Ujung-ujungnya, akibat salah urus ekonomi oleh pemerintahan Imran, rakyat menjadi korban utama.
Menurut Bank Dunia tingkat inflasi sekitar 10 persen di Pakistan tahun lalu. Harga minyak goreng naik 130 persen sejak 2018 dan biaya bahan bakar naik 45 persen menjadi 145 rupee ($0.82) per liter dalam setahun. Harga listrik dan gula juga naik.
Baru-baru ini, Agence France-Presse (AFP) mewawancarai beberapa orang di Karachi, ibu kota keuangan Pakistan.
"Kami tidak tahu bagaimana kami memenuhi kebutuhan," Maira Tayyab, seorang ibu rumah tangga, mengatakan kepada AFP.
Maira bahkan telah mempertimbangkan untuk mengemis uang untuk memberi makan keluarganya di Pakistan yang dilanda inflasi.
"Kami tidak bisa mengemis karena kami adalah orang kerah putih," kata Tayyab, 40, kepada AFP di Karachi.
Dengan pandangan yang sama, Kursheed Sharif, seorang ibu berusia 50 tahun dari lima anak, mengecam pemerintahan Imran.
"Hanya kematian yang tampaknya merupakan alternatif untuk bertahan hidup di bawah pemerintahan ini," katanya kepada AFP.
Mengabaikan penderitaan rakyat, Imran mengklaim Pakistan adalah "salah satu negara termurah" di dunia meskipun inflasi tinggi dan suku bunga tinggi. Tapi masalahnya adalah orang tidak punya uang dan pekerjaan.
Kondisi di pedesaan juga jauh lebih buruk.
Bahkan setelah 75 tahun kemerdekaan, lebih dari 65 persen penduduk negara yang saat ini berjumlah 227.89 juta jiwa masih tinggal di pedesaan. Mereka tidak memiliki listrik, sekolah, jalan, rumah sakit dan air minum yang layak.