Media Pakistan yang mengutip SBP melaporkan bahwa total utang dan kewajiban negara tersebut melampaui PKR 50.5 triliun ($286 miliar) pada bulan September 2021. Ini jauh lebih besar dari PDB Pakistan sebesar $261.72 miliar.
Utang luar negeri Pakistan juga melonjak menjadi $127 miliar pada tahun 2021, lompatan besar dari $95.2 miliar pada Juni 2018.
Pakistan hampir jatuh ke dalam perangkap utang China akibat proyek Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC) senilai $62 miliar.
Dengan janji untuk membangun Naya Pakistan (Pakistan Baru), Perdana Menteri Imran mulai berkuasa pada bulan Agustus 2018. Selama periodenya, utang luar negeri melonjak sebesar $32 miliar.
Pada tahun keuangan ini saja, Pakistan harus membayar kembali pinjaman dan bunga senilai $12.4 miliar.
"Semua pinjaman yang telah diambil sekarang, dari sumber apa pun, adalah untuk membayar pinjaman masa lalu," ungkap Qaiser Bengali, seorang ekonom independen, kepada AFP.
"Pada dasarnya ekonomi bangkrut. Pakistan tidak dapat membayar pinjamannya."
Mengetuk pintu pemberi pinjaman telah menjadi pekerjaan utama Perdana Menteri Pakistan setiap dua hingga tiga bulan.
Partai oposisi Pakistan mengatakan Imran dipilih oleh militer Pakistan bukan dipilih oleh rakyat Pakistan. Kekuatan sebenarnya di Pakistan terletak pada militer.
Selain itu, telah terjadi produktivitas pertanian yang rendah, produksi industri yang lebih rendah dan struktur ekonomi politik yang cacat.
Rupee Pakistan (PKR) juga terpukul parah, mencapai PKR 176.37 per dolar AS pada tanggal 21 Februari 2022.