Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Waspadalah terhadap Geng Kriminal dari China

9 Februari 2022   11:07 Diperbarui: 9 Februari 2022   11:20 3180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Polisi Kamboja membebaskan 99 warga pekerja Thailand dari sandera orang kriminal dari China. | Sumber: Cambodian National Police/The Phnom Penh Post

Oleh Veeramalla Anjaiah

Setiap negara memiliki penjahat. Yakuza di Jepang, mafia di Italia serta kartel narkoba di Meksiko dan Kolombia adalah beberapa geng kriminal yang terkenal. Sekarang geng kriminal China telah bergabung ke daftar ini.

The Phnom Penh Post Kamboja menerbitkan berita menarik pada tanggal 22 November 2021. Menurut surat kabar ini, Polisi Nasional Kamboja menggerebek sebuah rumah di distrik Sen Sok di Phnom Penh pada tanggal 18 November dan membebaskan 99 warga negara Thailand serta menangkap tiga warga negara China karena menahan warga negara Thailand sebagai tahanan mereka.

Kamboja kemudian mendeportasi 99 warga negara Thailand tersebut ke Thailand.

Bahkan, penjara ilegal itu dijaga oleh 50 orang China. Polisi Kamboja menginterogasi 74 warga negara China dan kemudian membebaskan mereka.

Menteri Informasi Kamboja Khieu Kanharith mengecam pedagang manusia dari China.

"Polisi Kamboja telah membebaskan 99 orang Thailand yang diselundupkan ke Kamboja untuk bekerja dan kemudian ditahan di sebuah gedung," kata Khieu kepada Post.

Kamboja memiliki hubungan dekat dengan China.

Ketiga gangster China ini membawa pekerja Thailand secara ilegal ke Kamboja dan memenjarakan mereka secara ilegal di Phnom Penh.

Modus operandi gangster China adalah menawarkan warga negara Thailand posisi bergaji tinggi dalam promosi perjudian online dan pemasaran online di Kamboja melalui Facebook.

"Sekelompok penyelundup diduga memimpin para korban melintasi perbatasan dari distrik Khok Sung di Sa Kaeo secara ilegal dan kemudian membawa mereka ke Phnom Penh dengan van. Ketika mereka tiba di gedung, mereka dikurung dan dipaksa untuk menandatangani kontrak," ungkap Bangkok Post pada 19 November.

Menurut Bangkok Post, para korban Thailand menerima gaji hanya untuk bulan pertama setelah mereka tiba di Phnom Penh.

"Mereka yang menolak bekerja diserang, diborgol atau dibiarkan kelaparan selama dua hari, menurut salah satu korban. Mereka semua juga dilaporkan dipaksa untuk memikat rekan-rekan senegaranya untuk bekerja dalam operasi yang sama atau berinvestasi dengan mereka," jelas Bangkok Post.

"Setiap korban diharapkan mendapat penghasilan tinggi dengan target bulanan 1-2 juta baht. Mereka yang gagal mencapai target dipukuli atau disetrum. Beberapa diculik atau bahkan dijual ke geng lain."

Polisi menduga mungkin ada ratusan korban lagi. Polisi Kamboja telah melakukan penyelidikan menyeluruh untuk mencari tahu dalangnya.

Surat kabar Thailand memperingatkan orang-orang bahwa kapan pun mereka ingin melamar pekerjaan bergaji tinggi di luar negeri, mereka harus menghubungi Kementerian Tenaga Kerja Thailand dan mengikuti peraturan yang diperlukan untuk menghindari penipuan.

Pada tanggal 4 Desember, Kamboja telah mendeportasi 143 pekerja migran ilegal Thailand -- termasuk 56 wanita -- ke Thailand dan diserahkan kepada pejabat Thailand di Jembatan Persahabatan Kamboja di Poipet-Khlong International Border Crossing, lapor surat kabar Khmer Times belum lama ini.

Itu merupakan deportasi ketiga pekerja migran ilegal Thailand. Kamboja mendeportasi 103 warga negara Thailand pada 24 November dan 66 orang pada tanggal 15 November.

Rupanya, banyak pedagang manusia China telah memikat pekerja Thailand dan membawa mereka secara ilegal ke Kamboja.

Biasanya, pekerja dari Kamboja, Laos dan Myanmar datang ke Thailand melalui jalur legal dan ilegal. Dengan produk domestik bruto (PDB) AS$560.28 miliar, Thailand, yang memiliki ekonomi terbesar kedua di ASEAN, menarik para pekerja ini untuk mencari pekerjaan di sektor pertanian dan pariwisata.

Menurut situs web Business & Human Rights Resource Centre, 654,864 pekerja asing, termasuk 203,670 pekerja Kamboja, terdaftar di Pelatihan Tenaga Kerja dan Kejuruan Thailand. Lebih dari 80 persen tenaga kerja asing tersebut berasal dari Kamboja, Laos dan Myanmar.

Sebagai sikap bersahabat, tahun lalu Thailand mengeluarkan izin kerja untuk lebih dari 200,000 pekerja Kamboja.

Gangster China beroperasi di Kamboja, Laos, Vietnam, Indonesia, Thailand dan Filipina. Target utama mereka adalah orang China di daratan dan China perantauan di Taiwan, Singapura, Malaysia dan Hong Kong.

Dalam kasus Kamboja, gangster ini menganggap Kamboja sebagai negara bawahan China dan beroperasi secara bebas serta mereka memiliki penjara dan 50 penjaga keamanan.

Di Laos, kasus serupa juga terjadi. Perusahaan China merekrut banyak pekerja Laos, termasuk wanita, untuk bekerja di perkebunan pisang dan perjudian online. Perusahaan-perusahaan ini tidak membayar gaji yang dijanjikan. Mereka mengancam dan menyiksa pekerja yang menolak bekerja. Beberapa wanita Laos dijual ke rumah bordil online.

Di Indonesia, perusahaan China memperlakukan pekerja Indonesia sebagai budak. Itu terjadi pada tahun 2020. Perusahaan perikanan China merekrut nelayan Indonesia dan menjanjikan gaji $300 per bulan. Tetapi perusahaan China hanya membayar $300 per tahun. Itu jelas merupakan sebuah eksploitasi.

Menurut Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi, 49 nelayan muda Indonesia dipaksa bekerja rata-rata di atas 18 jam sehari di kapal nelayan China.

Retno mengatakan, ada nelayan yang tidak dibayar sama sekali atau tidak menerima gaji yang dijanjikan. Pekerjaan yang berlebihan dan kondisi yang buruk di kapal penangkap ikan menyebabkan penyakit di kalangan nelayan Indonesia.

Yang paling kejam adalah tiga pekerja Indonesia tewas dan jasad mereka dibuang ke laut di Samudera Pasifik.

"Kami mengutuk perlakuan tidak manusiawi terhadap awak kapal kami yang bekerja di perusahaan perikanan China," lapor The Diplomat mengutip ucapan Retno pada bulan Mei 2020.

"Berdasarkan informasi dari kru, perusahaan telah melanggar hak asasi manusia."

Pertama, dibocorkan ke media di Korea Selatan oleh seorang nelayan Indonesia. Ia membeberkan perlakuan kejam dan soal gaji yang belum dibayar oleh perusahaan China. Stasiun NBC TV dari Korea Selatan juga menayangkan video yang memperlihatkan mayat seorang nelayan Indonesia yang dibuang ke laut di salah satu perahu. Ada empat kapal nelayan China yang memperlakukan nelayan Indonesia seperti budak.

Banyak pekerja yang sakit untuk waktu yang lama tetapi mereka tidak menerima perawatan medis yang layak.

Setelah diekspos ke media internasional, China telah sepakat untuk melakukan penyelidikan bersama dengan Indonesia untuk menyelidiki masalah tersebut.

Selain itu, Myanmar juga menjadi korban perusahaan perikanan China yang rakus. Pada tahun 2015, sekitar 4,000 nelayan asal Myanmar dibebaskan oleh Indonesia setelah mereka terdampar di Indonesia bagian timur. Beberapa dari mereka diperbudak selama bertahun-tahun.

Perlakuan kejam terhadap nelayan dari Indonesia dan Myanmar memenuhi kriteria dan definisi perbudakan dari pemerintah AS.

Beberapa tersangka dari China dibekuk polisi lantaran memeras korban phone seks. | Sumber: Humas Polda Metro Jaya
Beberapa tersangka dari China dibekuk polisi lantaran memeras korban phone seks. | Sumber: Humas Polda Metro Jaya

Baru-baru ini, polisi di Jakarta menangkap sekelompok orang China setelah menerima laporan dari Taiwan. Geng ini menggunakan wanita untuk memikat pria di China dan Taiwan untuk terlibat dalam seks/romantis online melalui media sosial. Selama percakapan atau interaksi dengan pria China, wanita China ini mengambil foto telanjang pria secara diam-diam dan memeras mereka.

Orang mungkin bertanya-tanya bagaimana para penjahat ini dengan mudah datang ke negara-negara Asia Tenggara? Kriteria dasarnya adalah semua negara tersebut memiliki hubungan baik dengan China. Pertama, dimulai dengan perdagangan dan kemudian investasi. Keduanya baik untuk kedua negara.

China memiliki kebijakan membawa bahan sendiri jika mereka berinvestasi di satu negara. Kemudian perusahaan China akan mendatangkan pekerjanya sendiri untuk menyelesaikan proyek tersebut. Ada tuduhan bahwa beberapa perusahaan China membawa pekerja tidak terampil mereka sendiri, termasuk buruh, penjaga keamanan, pengemudi, tukang kebun dan bahkan juru masak, menolak memberikan pekerjaan tersebut kepada penduduk setempat.

Memanfaatkan hubungan dekat dan kegiatan ekonomi ini, gerombolan kriminal dari China datang ke negara-negara Asia Tenggara dengan menyamar sebagai pengusaha, pekerja terampil atau turis. Mereka memperlakukan negara-negara ini seperti wilayah mereka sendiri. Dalam kebanyakan kasus, korban berasal dari China daratan dan Taiwan.

Semua negara Asia Tenggara harus memperketat aturan visa dan mencermati geng kriminal ini dan aktivitasnya. China, sebagai negara yang bertanggung jawab, harus berbagi semua data dan intelijen tentang kelompok kriminal ini dengan semua negara Asia Tenggara.

Indonesia yang memiliki perdagangan $110 miliar dengan China harus waspada dan memantau aktivitas seluruh warga negara China untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Sebab, para kriminal yang cerdas dan berteknologi maju akan datang ke Indonesia dengan posisi yang berbeda-beda. Memantau dan menegakkan aturan keimigrasian secara ketat terhadap warga negara China adalah cara terbaik untuk mencegah gerombolan penjahat masuk ke Indonesia.

Penulis adalah seorang jurnalis senior yang tinggal di Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun