Oleh Veeramalla Anjaiah
Ada sebuah negara bernama Turkistan Timur di Asia Tengah sebelum 1949. Lebih dari 75 persen populasinya adalah Muslim. Orang-orangnya disebut Uighur, yang berasal dari Turki. Negara ini secara geografis berbatasan dengan China, bekas Uni Soviet, Afghanistan, Pakistan dan India.
Baik Uni Soviet maupun China mengincar negara yang kaya akan sumber daya alam ini. Turkistan Timur merupakan negara besar dengan luas 1.66 juta kilometer persegi, sedikit lebih kecil dari luas Indonesia 1.99 juta kilometer persegi, dan terletak pada posisi yang strategis.
Saat ini, negara besar ini tidak muncul di peta mana pun. Apa yang terjadi?
Dalam upaya untuk mencegah Uni Soviet mengambil alih Turkistan Timur, Komunis China mencaplok Turkistan Timur pada tahun 1949 dan memasukkannya ke dalam Republik Rakyat China dengan nama Daerah Otonomi Uighur Xinjiang. Pada tahun 1950, China juga mencaplok negara lain bernama Tibet. Sebelumnya, China juga mencaplok Mongolia Luar pada tahun 1919. China mengungkapkan alasan untuk pencaplokannya bahwa negara-negara ini adalah bagian dari kekaisaran China di masa lalu.
China, yang diperintah oleh Partai Komunis China yang ateis, tidak menyukai Islam dan Uighur, yang bukan etnis China. China ateis ingin menghancurkan agama dan budaya Uighur. Mereka ingin mengubah Muslim Uighur menjadi komunis dan setia kepada China dan budaya China dengan kekerasan dan intimidasi.
Selama bertahun-tahun, China memindahkan jutaan orang suku Han, yang berasal dari kelompok etnis mayoritas di China, ke Xinjiang dengan tujuan menjadikan penduduk asli Uighur sebagai minoritas di tanah air mereka. China memaksa wanita Uighur menikah dengan pria Han. Pemerintah China memberlakukan sterilisasi paksa pada wanita Uighur untuk mengurangi populasi Uighur.
Pada tahun 1949, populasi Xinjiang terdiri dari 76 persen orang Uighur, 6 persen dari Han China dan sisanya 18 persen dari Kazakh, Mongol dan kelompok minoritas lainnya.
Kita akan terkejut melihat komposisi etnis Xinjiang saat ini. Pada tahun 2020, Xinjiang hanya memiliki 42 persen warga Uighur, penurunan drastis dari 76 persen pada tahun 1949, dan 40 persen populasi Han.Â
Penindasan terhadap Uighur dan agama serta budaya mereka diintensifkan pada tingkat yang mengkhawatirkan sejak Presiden Xi Jinping mengambil alih kekuasaan pada tahun 2013.
Menurut orang Uighur yang tinggal di luar negeri dan kelompok hak asasi manusia internasional, lebih dari 1 juta orang Uighur saat ini secara sewenang-wenang ditahan di jaringan kamp penjara. Saat ini, ada sekitar 11 juta orang Uighur yang tinggal di Xinjiang. Anak-anak dipisahkan dari orang tua mereka dan dimasukkan ke dalam apa yang disebut sebagai kamp pendidikan ulang untuk anak-anak supaya pemerintahan China mencuci otak orang Uighur di usia muda. Di kamp-kamp ini, anak-anak Uighur diajari untuk mencela Islam, budaya Uighur, dan memuji Partai Komunis dan budaya China. Mereka juga dipaksa belajar bahasa Mandarin.