Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Inikah Saatnya Indonesia Bekerjasama dengan QUAD?

25 September 2020   09:35 Diperbarui: 25 September 2020   09:50 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Veeramalla Anjaiah

Dengan kekuatan militernya yang berkembang serta perilaku yang agresif, China, hegemon baru, memberikan ancaman besar terhadap keamanan ASEAN, Asia Timur dan seluruh wilayah Indo-Pasifik.

Indonesia, negara non-penggugat di Laut China Selatan (LCS) yang disengketakan, menjadi korban intimidasi dan gangguan China dalam beberapa tahun terakhir. Pada tanggal 11 September, kapal penjaga pantai Tiongkok CCG 5204 terlihat di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Setelah protes keras dari Indonesia, kapal tersebut meninggalkan ZEE pada 15 September.

Ini bukan pertama kalinya China melakukan hal serupa di Laut Natuna Utara. Di bulan Desember 2019, armada kapal penangkap ikan dan kapal penjaga pantai masuk ke ZEE Indonesia secara ilegal untuk menangkap ikan di wilayah tersebut. Pada Januari 2020, Indonesia mengirim empat pesawat tempur jet F-16 ke daerah tersebut untuk mengusir China dari ZEE-nya. Pada bulan Juli, TNI AL melakukan latihan angkatan laut selama empat hari yang melibatkan 24 kapal perang, termasuk dua kapal perusak rudal dan empat kapal pengawal di perairan Natuna untuk menunjukkan tekad kuatnya mempertahankan wilayahnya.

Berdasarkan pada Sembilan-Garis-Putusnya (Nine-Dash Line) yang kontroversial, China mengklaim sebagian wilayah dari Laut Natuna Utara. Indonesia dengan tegas menolak Sembilan-Garis-Putus China yang melanggar Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982.  

UNCLOS, menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah, mendefinisikan ZEE sebagai wilayah yang umumnya terbentang 200 mil laut dari pantai, di mana negara-negara pesisir memiliki hak khusus untuk eksplorasi dan penggunaan sumber daya laut, meskipun itu adalah wilayah internasional. Pantai China berjarak ribuan kilometer dari ZEE Indonesia.

Pada bulan Mei, Indonesia mengirimkan surat kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk menyebutkan dengan jelas bahwa Indonesia tidak menerima klaim Sembilan-Garis-Putus China di LCS karena tidak adanya "dasar hukum internasional". Dalam surat-surat berikutnya pada bulan Juni, Indonesia menolak tawaran China untuk merundingkan klaimnya yang dianggap tumpang tindih. Karena China dan Indonesia adalah penandatangan UNCLOS. China, yang mengklaim lebih dari 80 persen LCS, tidak ingin menerapkan UNCLOS dalam perselisihannya dengan Indonesia, Vietnam, Taiwan, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam.

Ketegangan saat ini antara China dan Indonesia di satu sisi dan sengketa China dengan penuntut ASEAN lainnya dari LCS di sisi lain tidak terbatas hanya di Asia Tenggara tetapi juga mempengaruhi pemain utama di kawasan Indo-Pasifik.

Pada bulan Juli, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo, saat berbicara di Nixon Center, mengumumkan bahwa AS dan China terlibat dalam Perang Dingin 2.0. Dia menekankan bahwa 50 tahun hubungannya dengan China telah terbukti sia-sia dan kebijakan Amerika terhadap China perlu diubah.

Rupanya, ada empat medan konflik dengan Beijing yang suka berperang, di mana AS dan teman-teman serta sekutunya memiliki taruhan tinggi, muncul baru-baru ini. Keempatnya adalah sengketa Hong Kong, Taiwan, India-China di wilayah Ladakh dan sengketa LCS.

Atas isu LCS dan perilaku menggertak China, Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN Regional Forum (ARF) - salah satu forum multilateral terbesar di dunia untuk perdamaian dan keamanan - yang baru saja selesai, mengatakan bahwa beberapa negara khawatir terhadap kegiatan reklamasi lahan di LCS.

China baru-baru ini telah melakukan reklamasi besar-besaran atas fitur-fitur tanah yang disengketakan di rantai pulau Paracel dan Spratly untuk membuat pulau-pulau buatan dan mengubahnya menjadi instalasi militer.

Kegiatan-kegiatan tersebut "telah mengikis kepercayaan dan keyakinan, meningkatkan ketegangan dan dapat merusak perdamaian, keamanan dan stabilitas di kawasan itu", bunyi pernyataan akhir ARF.

"Para menteri menegaskan kembali kebutuhan untuk meningkatkan rasa saling percaya dan percaya diri, menahan diri dalam melakukan kegiatan yang akan memperumit atau meningkatkan perselisihan dan mempengaruhi perdamaian dan stabilitas serta menghindari tindakan yang dapat memperumit situasi."

Ketika ketegangan regional berkobar di Laut China Selatan, Indonesia, pemimpin de facto ASEAN, telah mendekati negara-negara seperti Jepang dan India. Negara tetangga Indonesia Australia dan AS telah maju untuk menyatukan kesamaan dengan Indonesia untuk menghentikan perilaku ekspansionis China.

Situasi saat ini dengan jelas menunjukkan bahwa ada kebutuhan yang mendesak akan dukungan penuh dari kawasan Indo-Pasifik kepada Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara yang terkena dampak lainnya.

Dengan letak geostrategisnya, ekonomi terbesar di ASEAN dan 275 juta penduduknya, Indonesia merupakan negara yang sangat penting di kawasan Indo-Pasifik. Negara kepulauan terbesar di dunia ini memiliki empat titik choke strategis, yang sangat penting bagi perekonomian China, terutama perdagangan lintas lautnya.

Di antara empat titik sempit tersebut, Selat Malaka adalah yang paling penting. Selat Malaka adalah hamparan perairan sempit sepanjang 890 kilometer antara Semenanjung Malaya dan pulau Sumatera di Indonesia yang menghubungkan Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik. Jalur ini sangat penting bagi perekonomian China karena sebagian besar impor minyak dan gasnya dari Teluk, Angola, dan Venezuela melewati selat ini. Ini juga merupakan jalur kehidupan bagi negara-negara Asia Timur lainnya seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Hong Kong.

Titik penting yang kedua adalah Selat Sunda, yang menghubungkan pulau Sumatera dan Jawa. Sebagian besar kapal Afrika dan Australia menggunakan selat ini dalam perjalanannya ke negara-negara Asia Timur.

Yang ketiga adalah Selat Lombok yang dalam dan lebar. Selat ini menghubungkan Laut Jawa dengan Samudera Pasifik. Letaknya di antara pulau Bali dan Lombok. Selat Lombok adalah selat yang ideal bagi kapal tanker minyak besar dan kapal-kapal raksasa dengan 100,000 tonase bobot mati atau lebih.

Terakhir adalah Selat Ombai yang memisahkan Kepulauan Alor dari Pulau Wetar, Atauro, dan Timor di Kepulauan Sunda Kecil. Selat Ombai secara strategis dan militer sangatlah penting. Karena selatnya sangat dalam dan menyediakan jalur yang tidak terdeteksi bagi kapal selam yang melakukan perjalanan antara samudra Hindia dan Pasifik. Kapal selam China dan Amerika sering melewati selat ini, yang merupakan aset angkatan laut terpenting.

Jadi Indonesia bisa menggunakan keempat selat  ini sebagai manfaat dalam melawan China jika ketegangan memuncak.

Indonesia, negara tetangga maritim dan mitra strategis India, ingin menjalin hubungan yang sangat erat dengan India. Pada akhir Juli, Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto mengunjungi India untuk meningkatkan hubungan pertahanan antara kedua negara. Prabowo berdiskusi dengan Menteri Pertahanan  India Rajnath Singh tentang kerja sama pertahanan, pertukaran informasi, ketegangan perbatasan India-China, masalah keamanan regional dan teka-teki LCS. India menawarkan rudal jelajah supersonik Brahmos kepada Indonesia selama kunjungan tersebut.

Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan antara India dan Indonesia secara keseluruhan telah tumbuh dengan pesat, terutama setelah kunjungan Perdana Menteri India Narendra Modi ke Jakarta pada tahun 2018.

India sangat mendukung Indonesia pada isu UNCLOS dan LCS.

"Pentingnya mencapai kawasan Indo-Pasifik yang bebas, terbuka, transparan, berbasis aturan, damai, makmur dan inklusif, di mana kedaulatan dan integritas wilayah, hukum internasional, khususnya UNCLOS, kebebasan navigasi dan penerbangan, pembangunan berkelanjutan dan keterbukaan, perdagangan dan sistem investasi yang bebas, adil dan saling menguntungkan dan dihormati," kata Modi dan Presiden Indonesia Joko "Jokowi" Widodo dalam pernyataan bersama saat kunjungan 2018.

Dua ribu tahun hubungan peradaban, jarak yang dekat, hanya 80 mil laut antara Aceh di Indonesia dan pulau Great Nicobar di India serta hubungan yang baik di antara para pemimpin tertinggi telah memuncak dan menjadikan kerjasama keamanan yang erat antara dua tetangga maritim.

Terkait Jepang, kekhawatiran bersama tentang perilaku ekspansionis China telah membuat Jepang dan Indonesia lebih dekat. Kedua negara memiliki hubungan ekonomi yang sangat baik dan Jepang telah menjadi salah satu sumber investasi asing langsung terbesar bagi Indonesia selama beberapa dekade.

Menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi bertemu dengan Presiden Jokowi pada awal tahun ini dan membahas isu hangat LCS. Baik Jepang maupun Indonesia telah memasukkan lebih banyak konten geopolitik dalam hubungan strategis mereka dalam beberapa tahun terakhir.

Motegi berjanji kepada Indonesia bahwa Jepang akan memberikan bantuan teknis yang mendesak kepada angkatan laut Indonesia untuk berpatroli di perbatasan laut dan bantuan keuangan untuk pengembangan kepulauan Natuna.

Miliarder Jepang Masayoshi Son telah berjanji kepada Indonesia untuk menginvestasikan US$30 miliar hingga $40 miliar untuk membangun ibu kota baru Indonesia di Kalimantan. Indonesia juga meminta Jepang menyelesaikan jalur KA berkecepatan tinggi sepanjang 150 kilometer antara Jakarta dan Bandung. Proyek ini awalnya diberikan kepada China, yang gagal menyelesaikan proyek tersebut.

Dengan ancaman dari China ke Indonesia, Dialog Keamanan Segiempat atau anggota Quad - Amerika Serikat, Jepang, Australia dan India - harus melibatkan Indonesia dan memperluas dukungan penuh kepada negara kepulauan dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Secara tradisional, Indonesia memiliki kebijakan luar negeri yang "bebas dan aktif", yang melarangnya untuk bergabung dengan aliansi militer dan menjadi sekutu negara manapun.

Mengingat ketegangan keamanan dan pandemi COVID-19, Indonesia dapat mencari cara dan sarana untuk bekerjasama dengan negara-negara Quad demi menciptakan Asia Tenggara yang bebas, damai dan menjadikannya sebagai suatu arsitektur keamanan regional yang berbasis aturan.

Banyak analis keamanan bertanya-tanya apakah Indonesia bisa bergabung dengan Quad, sebuah forum keamanan informal yang didirikan pada tahun 2007, mengingat situasi keamanan yang luar biasa pada saat ini. Jika bergabung, permainan wilayah Indo-Pasifik akan berubah. Indonesia mungkin tidak dapat bergabung Quad tetapi dapat bekerjasama dengan anggota Quad untuk menghentikan ekspansionisme China, menciptakan Asia Tenggara yang bebas, terbuka dan stabil serta mempromosikan penggunaan hukum internasional dalam menyelesaikan sengketa maritim.

Penulis adalah seorang wartawan senior tinggal di Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun