“Kalau Ibu mau, saya bisa mengubah pilihan pertama saya dan mencoret Desain Grafis. Namun saya minta waktu beberapa hari lagi untuk memikirkan pilihan pertama saya.”
“Dengarkan saya dulu,” ucap Ibu Susan tegas.
“Baiklah, Bu. Maafkan saya.” Aku masih memandang urusan ini tidak penting. Lagi-lagi omong-kosong positif pembangkit semangat.
“Nah, Sissy. Kita menghadapi dunia yang baru sekarang ini. Saya sudah pelajari untuk Fakultas Seni Rupa dan Desain memang memiliki syarat bebas buta warna. Tak ada pengecualian untuk itu. Hal ini berarti akan sulit bagimu untuk mendaftar di jurusan Desain Grafis.”
“Jalan buntu ya, Bu?”
“Aduh, Nona Kecil! Dengarkan gurumu ini dulu jika sedang berbicara.” Ibu Susan berpura-pura kesal dan berakting mencubit lenganku.
“Baik, Bu.” Aku mulai tersenyum sedikit.
“Saya ingin kamu melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Bakatmu rupanya banyak, Sissy. Mungkin selama ini kamu terlalu fokus pada menggambar, sehingga tidak menyadari yang lainnya,” ucap Ibu Susan sambil menyodorkan berkas kepadaku.
Aku memandangi berkas dengan namaku di atasnya itu. Semua adalah prestasi non-akademis yang pernah kuraih selama dua tahun terakhir.
“Kamu bisa lihat, Sissy. Bidang apa yang kamu pilih saat menjabat sebagai pengurus OSIS?”
“Bela Negara.”