“Baiklah, Sissy. Sementara ini kita akan tetap menempatkan Desain Grafis di urutan pertama. Ibu akan mempelajari hal ini. Namun dalam hidup kita tetap harus memiliki rencana cadangan. Kenalilah sisi lain dari dirimu. Saya percaya di dalamnya ada potensi lain yang siap dikembangkan. Jangan buang mimpimu. Saya yakin kita masih bisa mengusahakannya.”
“Sepertinya yang akan berlaku dalam hidup saya selamanya adalah rencana cadangan.”
“Dengar, Nak. Ini tidak berarti kamu gagal. Saya akan mempelajari kondisi ini dan menemukan jalan keluarnya. Saya janji.”
“Jangan berjanji yang tidak mungkin bisa ditepati, Bu. Saya tidak apa-apa. Memang sudah nasib.” Aku beranjak dari kursi, hendak meninggalkan ruang konseling.
“Saya yakin bisa menepatinya. Apa pun yang akan terjadi.” Suara Ibu Susan masih terdengar sebelum pintu kututup. Entah fakta atau hanya perasaanku saja, suaranya terdengar ragu.
*****
Sejak kecil aku sudah akrab dengan tes Ishihara yang dimaksud Ibu Susan dalam pembicaraan kecil kami tadi. Ishihara test. Tes khusus untuk menguji apakah seseorang memiliki kondisi penglihatan normal, buta warna sebagian (parsial), atau bahkan buta warna total.
Dalam tes itu, terdapat lingkaran-lingkaran yang terdiri dari beraneka titik berwarna. Di dalam masing-masing lingkaran tersebut, akan ada angka yang tersembunyi. Orang dengan kondisi normal akan dengan mudah membaca angka-angka tersebut, namun bagiku yang buta warna, hal itu tidak terjadi. Awalnya aku bahkan mengira bukan angka yang tertera di dalam lingkaran, melainkan garis-garis. Semacam permainan mencari jalan keluar seperti yang biasa ada di majalah Bobo.
Ibu bilang bahwa orang dengan buta warna akan mengalami kesulitan dalam tes Ishihara. Itu adalah hal yang normal. Sungguh ironis penggunaan kata normal dalam kondisi ini. Sayangnya, tes Ishihara menjadi penentu dalam studi pilihanku di universitas saat ini. Dan tentunya akan menjadi penentu dalam cita-citaku.
Ibu juga selalu bilang kalau aku istimewa. Mungkin ibu hanya tidak ingin menyakiti perasaanku jika ia mengungkap fakta bahwa aku hanyalah perempuan paling sial. Di dunia ini, perempuan adalah pembawa sifat dari gen buta warna. Perempuan pembawa sifat itu sendiri tidak mengalami buta warna. Sifat kemudian diturunkan biasanya ke anak laki-laki. Jadi, lebih banyak laki-laki yang buta warna ketimbang perempuan. Hanya ada sedikit kasus perempuan yang mengalami buta warna.
Saat masih kecil, aku percaya keistimewaan itu. Terkadang aku merasa seperti Tinkerbell dengan serbuk peri ajaibnya. Aku anak yang istimewa. Anak yang ajaib. Namun kini tak ada lagi yang istimewa dengan buta warna. Kondisi ini hanyalah penghalang kebahagiaan dalam hidupku. Rasanya aku ingin mengutuk diriku sendiri.