“Maksud Ibu, sulit untuk menjadi diplomat?”
“Bukan, Nak. Ibu memang tidak pernah bercerita sebelumnya karena khawatir terlalu sensitif bagimu.”
“Apa yang sensitif, Bu?”
“Kakekmu sangat ingin menjadi dokter. Beliau adalah orang dengan jiwa sosial tinggi, ingin membantu sesama manusia jika menjadi dokter. Sayangnya, di usia 18 tahun, beliau baru mengetahui bahwa ia buta warna. Sama sepertimu. Dan ia pun gagal menjadi dokter?”
“Lalu apa yang kakek lakukan?”
“Beliau sempat terpukul. Bekerja serabutan selama beberapa tahun, berusaha menemukan jati dirinya kembali. Hingga pada suatu hari, ia nekat pergi ke Amerika dengan uang pemberian orang tuanya.”
“Untuk apa, Bu?”
“Sebagian untuk mencari jati diri, sebagian lagi untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan sanak saudara dan teman-teman mengenai statusnya saat itu.”
“Apa yang beliau lakukan di Amerika?”
“Apa saja yang bisa ia lakukan dengan uang terbatas. Menggelandang di New York, bekerja sebagai pencuci piring di kedai, nyaris dideportasi karena dituduh imigran gelap, namun akhirnya ia bangkit kembali dan melamar sebagai sukarelawan di PBB. Hanya PBB peluangnya bekerja tanpa perlu paspor asing dan persyaratan lain.”
“Tetapi kakek yang kukenal kan bukan orang PBB?”