Mohon tunggu...
Anita Puspitasari
Anita Puspitasari Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang yang berharap eksistensi dirinya berpengaruh positif pada orang di sekitarnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta dalam Diam

23 Oktober 2023   14:44 Diperbarui: 23 Oktober 2023   14:53 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cinta dalam Diam

"Diberhentikan, Pak?!"Ibu terdengar tidak percaya dengan apa yang diceritakan Bapak."Iya Bu, pihak yayasan merasa tidak terima dengan apa yang Bapak sampaikan dan mengancam melapor ke kepolisian atas dasar pencemaran nama baik jika Bapak tidak keluar dari sekolah"jelas Bapak dengan nada suara sedih. Bapak tahu, Ibu pasti sangat terguncang dengan keadaan ini.Mau bagaimana lagi, Bapak tidak mungkin berdiam diri atas ketidakadilan yang dilakukan pihak yayasan kepada guru dan staff di sekolah. "Bagaimana dengan teman guru yang lain?para staff?"tanya Ibu sambil berusaha menahan air mata yang hampir tumpah."Semua diam, Bu.Mereka takut hal serupa terjadi pada mereka". ucap Ayah menjelaskan."Lalu bagaimana nasib kita, Pak? Untuk makan sehari-hari saja kita harus irit-irit, belum lagi bayar kontrakan dan keperluan Halid dan Ara."Ibu tak kuasa lagi membendung titik air yang mengalir di sudut matanya."Rezeki Allah yang ngatur, Bu.Ga akan tertukar,Bapak akan terus ikhtiar demi kita semua"ucap Bapak sendu sambil memeluk Ibu dengan dalam. 

Sepertiga malam, seperti biasa aku melihat Ibu bermunajat pada Sang Maha Pemilik Kehidupan dengan segala kepasrahan diri,mencurahkan segala kegalauan hidup di  tiap sujudnya. Ingin rasanya aku memeluk Ibu dan mengatakan semua akan baik-baik saja, betapa aku sangat bahagia dan mencintainya dengan segenap asa. Bapak terlelap tidur, mungkin kelelahan setelah apa yang Bapak alami beberapa minggu ini, pun demikian adik kesayanganku, Ara, pulas sambil memeluk guling kesayangannya. "Halid  kenapa bangun?Bobo ya, Ibu sholat dan ngaji dulu"lirih suara Ibu sambil mengusap punggung tanganku dengan lembut. Aku tersenyum.Aku ingin mendengar lantunan ayat surga yang dibacakan Ibu, entah kenapa selalu ada kenyamanan ketika mendengar lantunan firman Nya dibacakan, tanpa kusadari lantunan itu tak terdengar lagi dan hari berganti pagi.

"Ibu sudah masak?"tanya Ara pada Ibu dengan senyum manisnya. Adikku Ara, walaupun baru berusia lima tahun, ia sudah mandiri dan terlihat dewasa dibanding anak seusianya. Tak seperti aku kakaknya yang hanya terpaut dua tahun. Ia sering membantu pekerjaan Ibu di rumah. Ia juga sering bermain denganku dan bercerita tentang banyak hal. Aku selalu tersenyum setiap kali Ara bercerita, walaupun sering aku tidak memahaminya, mendengar suaranya saja sudah cukup untukku.Ingin sekali aku mengatakan bahwa aku mencintainya dan aku adalah fans terbesarnya." Sebentar ya, sedikit lagi nasinya matang" ucap Ibu sambil mengelus kepala Ara. "Buat Mas Halid sudah matang, Bu?"tanya Ara penuh perhatian."Sudah, nanti kita makan sama-sama ya"ujar Ibu sambil tersenyum. "Bapak pulangnya malam ya, Bu?" tanya Ara sambil mengunyah makanannya dengan lahap."Iya, kenapa Ara?"tanya Ibu sambil menyuapiku dengan bubur dan kuah sayur."Ga papa bu, kasihan aja sama Bapak, pasti capek tiap hari pulang malam.Ngomong-ngomong Bapak udah makan siang belum ya."celoteh Ara."Do'ain aja Bapak sehat ya.Udah ayo dihabiskan makannya, nanti main sama Mas Halid ya, Ibu mau menggosok pakaian"jawab Ibu menutup makan siang kami.

"Bapak pulang....Bapak Pulang....Mas Halid, Bapak pulang!"sambut Ara melompat kegirangan, dan aku tersenyum melihat tingkah Ara. " Assalamu'alaikum, Bapak pulang!"ucap Bapak sambil mencium Ara dan aku."Walaikumsalam"jawab Ara dan aku, walau tidak ada satupun yang mendengar perkataanku."Alhamdulillah, sudah pulang Pak, Ibu siapin teh dan makanan ya, kita makan sama-sama"ucap Ibu sambil mencium tangan Bapak dengan penuh takzim. "Bapak capek ya? Nanti abis makan Ara pijitin ya"ujar Ara sambil menuangkan air putih yang diminta Ibu untukku".Bapak tersenyum sambil mengusap rambut Ara. 

Waktu menunjukkan hampir tengah malam. Ara sudah mimpi indah , sementara mataku belum juga terpejam sempurna.Sayup-sayup aku mendengar obrolan Bapak dan Ibu di ruang sebelah. "Bapak sudah berusaha mencari pekerjaan, Bu.Sekolah biasanya ada penerimaan guru mendekati tahun ajaran baru.Bapak juga sudah keliling mencari kerja apa saja tapi belum dapet, Bu" ucap Bapak dengan suara tertekan."Sabar ya Pak, In syaa Allah semua sudah ada yang ngatur.Kita tinggal do'a dan ikhtiar" ucap Ibu menenangkan. Kudengar Bapak menghela napas panjang, " Sudah dua minggu, Bu.Kalau keadaan masih seperti ini, kita tidak bisa membayar kontrakan yang akan habis minggu ini. Kita juga tidak ada uang untuk makan"."Lalu kita harus gimana, Pak?"tanya Ibu lirih. "Bagaimana kalau kita pindah ke kampungku saja.Ada Ibu di kampung, kita menumpang tinggal di sana.Untuk makan kita bisa tani, sambil aku mengajar juga di sana"terang Bapak kepada Ibu. "Lalu, bagaimana dengan Halid Pak? Halid masih butuh terapi, kalau di kampung apa bisa terapi?" ungkap Ibu terdengar mengkhawatirkanku."Bukannya Bapak tidak mengkhawatirkan Halid Bu, tapi mau bagaimana lagi.Coba Ibu besok tanya ke rumah sakit, apa rumah sakit di kabupaten di kampung sana bisa nerima terapi BPJS untuk Halid" ucap Bapak kepada Ibu."Iya, Pak"jawab Ibu terdengar lirih. 

"Jadi kita mau pindah ke rumah Nenek di kampung? Hore..hore!"Ara berjingkrak kegirangan setelah Bapak dan Ibu menjelaskannya kepada kami. Reaksiku hanya tersenyum.Bapak dan Ibu membereskan barang-barang kami yang memang seadanya. Aku tidak ingin menangis, tapi yang aku rasakan sangat sakit sekali, hingga tak kuasa akhirnya aku menangis dan mengerang kesakitan."Halid kenapa?sakit ya Nak?.Sini sama Ibu ya"ujar Ibu sambil mencoba menggendong dan menenangkanku. Setelah berpamitan ke tetangga, kami langkahkan kaki menjalani hidup dengan tuntunan taqdir yang telah ditentukan, bahkan jauh sebelum kami lahir.

***

Setelah perjalanan beberapa jam akhirnya kami sampai. Udara dingin menyelimuti ku walau Ibu sudah memakaikanku jaket tebal."Assalamu'alaikum" ucap Bapak, Ibu dan Ara serempak di depan rumah sederhana dengan atap rumbia. "Walaikumsalam" jawab seorang wanita tua dari dalam rumah." Ya Allah, alhamdulillah udah sampai, sini masuk kalian pasti capek" ucap nya sambil menggiring kami masuk ke dalam rumah. " Apa kabar, Bu?" tanya Ibu sambil memeluk wanita tua itu dengan erat. Aku sambil memutar memoriku, mengingat siapa wanita tua nan ramah yang menyabut kami dengan keceriaan di wajahnya. "Nenek, Ara juga mau dipeluk dong, Ara juga kangen"rengek Ara dengan manja. Seketika aku teringat bahwa wanita tua nan ramah itu adalah nenekku. " Halid sehat? Nenek juga kangen sama Halid, ayo Halid  istirahat ya"ucap Nenek sambil menyuruh Ibu menidurkanku di bale-bale. Perjalanan panjang dan baru aku rasakan rasa lelah di sekujur tubuhku, aku ingin menahannya, tapi lagi-lagi aku hanya bisa menangis.

 "Kalian bisa tinggal di sini. Kalau untuk makan In syaa Allah ada, kalian bisa olah lahan yang ada.Ibu juga udah tua, asam urat Ibu suka kambuh dan ga sanggup ngurusin kebun" ucap Nenek mengerti kegundahan hati Bapak dan Ibu."Maafkan kami, bukannya buat Ibu bahagia, tapi kami justru menyusahkan"ucap Bapak lirih menahan buliran cairan bening yang hampir menetes. "Orang tua itu ga ada yang ngerasa disusahin sama anak.Kalian ga usah sungkan.Ibu do'ain Gusti Allah memudahkan ikhtiar kita" ujar Nenek sambil tersenyum. "Aamiin...makasih Bu" jawab Ibu sambil menghapus air mata yang meluncur deras.

***

Pagi yang cerah, suara kokok ayam dan nyanyian burung terdengar nyaman di telingaku. Ibu menyiapkan air hangat dan membasuhnya ke tubuhku dengan kain, pelan-pelan dan lembut Ibu melakukannya, mungkin khawatir aku merasa kesakitan. Sementara dari jendela, aku melihat Ara membantu Nenek menyapu halaman depan dengan keriangannya.

Setelah kami sarapan, Ibu meletakkan ku di bale-bale ruang depan. Ibu bangun sejak pukul tiga setiap hari, setelah menunaikan ibadah nya hingga Subuh, Ibu mengerjakan aktivitas rumah tangga lainnya sehingga sepagi ini seluruh pekerjaan rumah telah selesai. "Halid anak pintar, Halid sama Nenek dan Ara dulu ya di rumah. Ibu mau ke kebun dulu. Halid ga boleh rewel ya."Ucap Ibu sambil megelus punggung tanganku dengan senyuman khasnya.Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum. Ibu memang sarjana lulusan institut pertanian ternama di kota kami, jadi Ibu tidak merasa canggung dengan tanaman. Demi merawat aku dan Ara, Ibu rela meninggalkan pekerjaannya dan fokus menjaga kami di rumah.

Sebelum azan zuhur berkumandang Ibu sudah kembali dari kebun. Peluh membasahi jilbab lebar abu-abu yang Ibu kenakan, juga gamis warna senada yang kotor di sana sini. Aku tersenyum, kangen rasanya melihat Ibu."Ini Bu, minum dulu.Ibu pasti capek" ujar Ara sambil memberikan segelas air putih. Ibu menerimanya dengan senyuman dan meminumnya hingga habis."Kamu bersih-bersih dulu, Ratih.Setelah sholat kita makan siang" teriak Nenek dari dapur.

" Syamsul masih keliling nyari sekolah ?" tanya Nenek menanyakan keberadaan Bapak pada Ibu. "Iya Bu. Sudah hampir sebulan, tapi belum ada kabar dipanggil"ucap Ibu sambil tersenyum yang dipaksakan."Bismillah, yang penting usaha, nanti ada jalannya" jawab Nenek memberikan semangat kepada Ibu.Tak berselang lama terdengar ucapan salam, ternyata Bapak sudah pulang. Aku senang sekali sambil menghentakkan kaki dan tersenyum lebar."Halid senang ya Bapak pulang?"tanya Nenek disebelahku."Ini anak Bapak yang ganteng ya, Bapak ganti baju dulu ya"ucap Bapak menyungginkan senyum padaku. Semenjak pindah ke rumah Nenek, Bapak cuma sebentar main denganku, karena aku tahu Bapak sedang berjuang untuk kami keluarganya.Ingin aku memeluknya, berkata mencintainya dan bahwa aku bangga mempunyai Bapak sepertinya. Lagi-lagi aku hanya tersenyum.

"Bagaimana hari ini, Bu?"tanya Bapak diobrolan malam di dalam kamar."Hari ini aku seperti biasa,Pak.Kerjaan rumah, ngerawat kebun.Besok Bapak jangan keluar dulu ya, Bantu panen di kebun "jawab Ibu sambil melipat baju yang tadi sore diangkat."Ibu pasti capek, sabar ya Bu" ucap Bapak dengan penuh perhatian. "Sebenernya Bapak sudah ada panggilan ngajar bu di SD Negeri 2"ucap Bapak pada Ibu. Mendengar hal itu, Ibu sumringah "Alhamdulillah, Pak.Mau ngajar mulai kapan?"."Masalahnya honor di sekolah itu sebulan lima ratus ribu."ungkap Bapak menjelaskan.Ibu terdiam entah harus berkata apa dan akhirnya berucap "Alhamdulillah, Pak"

Hari ini semua bersemangat pergi ke kebun, bahkan aku pun demikian. Kami berlima berangkat ke kebun untuk memanen kentang yang sudah ditanam Nenek sebelumnya.Kali ini Bapak yang menggendongku, karena medan yang kami lewati memang cukup curam, kalau tidak berhati-hati maka bisa saja terpeleset."Ara jagain Mas Halid ya"perintah Ibu kepada Ara, yang dijawab dengan anggukan kepalanya. Sudah setengah hari kami di kebun, menjelang Zuhur semua beristirahat di gubuk reot pinggir kebun.Entah mengapa suasana seperti berbalik dibandingkan pagi hari tadi."Sudah setengahnya kita panen dan hasilnya cuma satu kilo, itu juga sudah hampir busuk"ucap Nenek dengan suara parau.Bapak dan Ibu hanya terdiam. Panen kali ini gagal, dengan kerugian yang cukup lumayan.

***

Jadwal cek bulanan ku kembali tiba. Aku dan Ibu bersiap kembali jalan-jalan ke rumah sakit di kabupaten.Ibu selalu mengatakan jalan-jalan supaya membuat perjalanan melelahkan ini menjadi menyenangkan. Sementara Ayah, semenjak mengajar tidak bisa lagi mengantar Ibu dan aku ke rumah sakit. Untuk menuju ke rumah sakit, kami harus empat kali menaiki angkutan umum yang menunggunya saja lama sekali. Namun, Ibu tetap bersemangat, walaupun ku tahu Ibu pasti kelelahan menggendong tubuhku yang tidak ringan lagi. "Perkembangan Halid cukup Bagus, Bu"ucap dokter berkacamata itu sambil tersenyum."Ada beberapa terapi yang harus dilakukan di rumah, sudah saya catat di buku programnya"lanjut dokter tersebut. Ibu masih sibuk mengobrol dengan dokter, sementara aku sudah terlelap di gendongan Ibu dan ketika terbangun sudah ada di rumah Nenek kembali.

Gagalnya panen membuat Nenek jatuh sakit, modal yang digunakan untuk menanam adalah pinjaman dari Bank dan harus segera dilunasi.Jika tidak maka kebun satu-satunya milik Nenek akan disita. Jangankan untuk membayar utang, untuk kebutuhan sehar-hari saja kami pontang panting untuk mencukupi.Bapak dan Ibu juga bukan tidak ada usaha, namun apa daya manusia yang merencanakan, tapi ada Yang Maha Kuasa yang berhak menentukan.

Hari ini aku mendengar Bapak bercerita pada kami. Katanya Bapak mendapat undangan Dinas Pendidikan di Kota Kabupaten. Bapak ku memang pintar, pengalamannya mengajar di sekolah swasta favorit saat di kota kami diterapkan di SD negeri tempat Bapak mengajar sekarang, lantas divideokan dan diikutsertakan dalam lomba inovasi belajar. Bapak masuk ke tahap seleksi nasional dan diundang oleh Dinas Pendidikan Kabupaten. Aku lihat rona kebahagiaan terpancar dari Bapak, Ibu dan Nenek. Ingin sekali aku mendengarkan cerita Bapak, tapi aku tidak tahan kepalaku nyeri sekali pun tubuhku merasa sakit. Maafkan aku mengganggu kabar gembira ini, aku menangis lagi.

Kegagalan panen sebelumnya membuat Bapak dan Ibu memutar otak agar musim tanam berikutnya tidak terulang kejadian serupa. Memang tidak hanya keluarga kami yang mengalami gagal panen, hampir semua petani di desa kami juga mengalami hal yang sama. Desa kami adalah sentra penghasil kentang terbesar se Kabupaten, tentu ini menjadi pukulan telak tidak hanya bagi petani, tapi bagi aparat desa setempat. "Alhamdulillah, tadi Pak Camat ngasih tau kalau pinjaman Bank yang kemarin pembayarannya ditunda, malah di kasih subsidi benih dan pupuk untuk kita."cerita Bapak kepada kami saat makan malam bersama. Ibu yang meyuapiku tak hentinya berucap syukur, pun demikian Nenek yang menarik napas lega. "Pas Bapak ke Dinas kemarin, Bapak dikenalin sama pensiunan guru,Bu.Orangnya asli sini, tapi punya perkebunan di Sumatra. Dia pengusaha sukses disana.Mumpung orangnya sedang liburan ke sini, Bapak mau ke rumahnya nimba ilmu" Ucap Bapak yang diiyakan oleh Ibu dan Nenek. Pembicaraan selanjutnya aku sama sekali tidak mengerti, aku hanya bercengkrama dengan Ara yang menggelitik kakiku dengan wajah gemasnya. 

Sejak tiga pekan ini Bapak dan Ibu terlihat sibuk, entah apa yang dilakukan di halaman belakang rumah. Sepulang mengajar di siang hari, setelah makan dan sholat langsung sibuk di halaman belakang rumah dibantu Ibu. Bahkan, Bapak tidak beristirahat dulu. Aku di teras depan rumah bersama Ara yang sedang bermain boneka dengan Rani, tetangga sebelah kami. 

"Sudah dua minggu, Bu.Pupuk organik yang kami buat akan kami gunakan besok di perkebunan" ujar Bapak membuka pembicaraan setelah makan malam. "Apa kamu yakin bisa berhasil, Syul? Apa tidak sebaiknya kita mengikuti orang lain pakai subsidi pupuk dari kabupaten?"tanya Ibu cemas."In syaa Allah bu, saya sudah dapat ilmunya dari Pak Sugeng dan yang kami lakukan sudah sesuai dengan apa yang diajarkan"terang Bapak kepada Nenek."Dengan pupuk organik ini, kita tidak hanya mendapat keuntungan, tapi ini lebih ramah lingkungan, sayuran dengan pupuk organik sedang naik daun dan banyak peminatnya. "Ibu jangan khawatir, Ratih juga sudah belajar sama teman-temannya selama kuliah pertanian dulu. Kami juga sudah menemukan distributor yang cocok dan berpengalaman." Terang Bapak dengan percaya diri. "Besok Ibu di rumah saja sama anak-anak ya, biar saya sama Mas Syamsul yang ke kebun" terang Ibu yang diiyakan oleh Nenek.

Cuaca cerah pagi ini, Bapak dan Ibu bersiap ke kebun untuk pemupukan tanaman organik dengan memakai pupuk bokashi yang telah di fermentasi selama empat belas hari. Selama empat belas hari itu, Bapak dan Ibu mengumpulkan sisa-sisa sayuran dan buah-buahan untuk diolah menjadi pupuk yang akan digunakan hari ini. Sepulang dari kebun, kami berlima dan berkumpul di teras rumah. "Gimana tadi di kebun?" tanya Nenek dengan penasaran. "Alhamdulillah sudah bu, kita tinggal tunggu waktunya saja"jawab Ibu mengusap peluh yang menetes di dahinya. Ibu bercerita kepada Nenek, saat mau pulang bertemu dengan Pak Mardi dan mengobrol sebentar dengannya. Kata Ibu, Pak Mardi bertanya-tanya mengapa kami tidak memakai pupuk yang disubsidi dari Kabupaten.Lalu kami bercerita tentang pupuk organik yang kami buat. "Pak Mardi tertawa, Bu.Katanya itu semua tidak akan berhasil.Jadi lebih baik kami pakai pupuk subsidi saja. Dia bilang para tetangga menggunjingkan kita di belakang, katanya mentang-mentang kami dari kota, sok tau urusan perkebunan "terang Ibu panjang lebar."Tidak perlu dihiraukan.Dia pengepul hasil panen kentang petani sini, semua tau sifatnya seperti apa" ujar Nenek menanggapi hal itu.

Sejak di rumah sebelumnya hingga rumah Nenek sekarang, Ibu tak pernah absen setiap harinya menyalakan murotal untuk kami dengarkan. Berulang ulang setiap hari, tiada bosan aku mendengarkannya. Ibu tahu kalau aku sangat menyukainya. Lantunan kalam Allah selalu membuatku tenang. Sering aku mendengarkan sambil berusaha untuk mengikuti walau tak ada satupun yang mendengar. Setiap manusia mempunyai jalan hidup nya masing-masing. Dan jalan hidupku adalah dengan hanya bisa berbaring di usiaku yang bulan kemarin genap tujuh tahun. Aku tidak tau persis bagaimana sejarah hidupku, tapi aku pernah mendengar dokter menyebutkan nama kelainanku ini sejak lahir, tapi aku lupa namanya susah, yang ku tahu perbandingan besar lingkar kepala dengan tubuhku tidak seperti orang normal umumnya. Kepalaku membesar dan semakin besar sampai akhirnya aku di bawa ke rumah sakit untuk disedot cairan yang ada di kepalaku.Jangan tanyakan rasanya, benar-benar membuatku tak henti-hentinya menangis. Menangis dan tersenyum, sebatas ini aku dapat berkomunikasi dengan orang di sekitarku. Aku tidak pernah mempertanyakan keadaanku, terbesit dalam hati pun tidak, bukankah sejatinya respon hidup itu tersenyum dan menangis ? Ah, aku baru ingat hidrosefalus namanya.

Akhirnya saat yang dinanti pun tiba, akhir pekan kami berlima pergi berladang untuk memanen kentang organik. Aku dapat merasakan degup kencang jantung Bapak saat beliau menggendongku dengan jarik yang telah memudar warnanya."Halid disini ya, anak pintar. Main sama Ara.Bapak, Ibu dan Nenek mau turun ke kebun" ucap Bapak sambil menidurkanku di gubuk pinggir kebun, sambil ditemani Ara.

Aku mendengar sayup suara Bapak, Ibu dan Nenek yang sedang memanen. Lafadz Basmallah dan Hamdallah terlantun di cuaca yang hangat ini. Aku pun bersyukur dalam hati, artinya panen berjalan seperti yang diharapkan. Tiba-tiba Ara berkata "Eh, Mas Halid bicara apa?Mas Halid ngaji?ucap Ara tertegun, sambil mendekatkan telinganya ke mulutku.Aku pun terkejut, aku merasa hanya mengatakan di dalam hati, tapi kenapa Ara dapat mendengarnya.Aku dan Ara melupakan kejadian yang baru saja terjadi karena Bapak, Ibu dan Nenek sudah mendekati kami untuk beristirahat makan dan sholat Zuhur. Wajah mereka sumringah, tak hentinya Ibu mengucapkan rasa syukurnya.Panen kami melimpah, bahkan melebihi perkiraan sebelumnya. Setelah hasil panen diangkut oleh mobil box sewaan Bapak, kami membersihkan hasil panen untuk dikirim ke distributor yang merupakan kenalan Bapak. Ia yang akan mengirimkannya ke supermarket khusus sayuran organik ke ibukota provinsi.

Hiruk pikuk keadaan di rumah dan kebun pasca panen menjadi keseharian bagi kami. Entahlah sakit kepalaku semakin intens kurasakan, badanku terasa sakit sekali. Maafkan aku semua, tidak sanggup membantu, hanya merepotkan kalian. Untuk kesekian kalinya aku tak tahan lagi, aku luapkan dengan tangisan.

Keberhasilan panen kami dengan keuntungan yang melimpah sudah tersebar seantero desa. Sebenarnya hasil panen kami sama seperti petani yang lain, namun karena alasan organik, hasil panen kami mampu mendapat harga dua sampai tiga kali lipat dari harga kentang biasa, selain itu ongkos produksi kami lebih rendah, karena pupuk yang kami gunakan merupakan olahan dari sampah rumah tangga terutama sayuran dan buah-buahan. Tak sedikit yang mengunjungi rumah kami untuk mengetahui cara kami mendapatkan keuntungan berlipat. Bahkan warga menyebut pupuk yang kami gunakan sebagai "pupuk ajaib". Pak Mardi dan tetangga yang sebelumnya mencemooh kami, hanya tertunduk diam ketika tak sengaja berpapasan dengan kami.

"Hari Minggu ini Bapak ada jadwal isi pelatihan di Kota. Pekan depan Bapak juga ada jadwal di luar provinsi. Selama liburan semester nanti jadwal Bapak juga cukup padat"ucap Ibu sambil menulis di agenda kecil. "Wah, Bapak jadi sibuk banget kayak artis" ucap adikku dengan senyum terkembang. "Bapak kan masih mengajar tiap hari, jadi bisanya pelatihan cuma hari Minggu, kecuali kalau di desa yang dekat, baru Bapak bisa sepulang sekolah, yang Bapak lakukan ini berbagi ilmu dengan yang lain. Semoga apa yang kita dapatkan saat ini bisa mereka dapati juga.Jadi Ibu, Nenek, Ara dan Halid harus maklum dulu ya , kalau Bapak jarang di rumah" tutur Bapak panjang lebar. Malam itu kami flash back mengingat perjuangan jatuh bangunya kami, sambil tak henti bersyukur kepada Yang Maha Baik.

" Ya Allah,  entah apa yang harus hamba ucapkan untuk semua do'a yang perlahan mulai Kau jawab. Hutang kami yang lunas, bahkan kami bisa membeli lahan perkebunan, Mas Syamsul yang sering diundang mengadakan pelatihan dan akan menerbitkan sebuah buku panduan, bahkan kami bisa merenovasi rumah serta membeli mobil box untuk keperluan perkebunan.Kami juga dapat membuka lapangan pekerjan bagi tetangga kami. Tak terbayang sama sekali jalan hidup yang Kau tuliskan untuk kami akan seperti ini. Alhamdulillah ya Rabb, berilah kami keistiqomahan untuk selalu di jalan-Mu, jadikanlah Halid dan Ara anak-anak yang soleh dan solehah, kelak menjadi penghapal Qur'an yang selalu menegakkan kalimat-Mu"ku dengar Ibu terisak di sepertiga malam dengan penuh kerendahan hati.Dalam hati, aku mengaminkan do'a Ibu, kabulkan ya Allah.

Sekujur tubuku bertambah sakit, sakit sekali ya Allah, aku hanya bisa menangis. "Sabar ya Nak, kita ke dokter" ucap Ibu menggendongku dan menaiki mobil baru kami menuju rumah sakit bersama Bapak."Badan Halid tambah panas, Pak" ucap Ibu khawatir sambil memegang keningku."Pak Minto, ayo lebih cepat nyupirnya" jawab Bapak tak kalah khawatir. Bapak baru belajar menyetir mobil, belum berani mengendarai mobil ke jalan raya pun Ibu masih ragu kapan Bapak bisa karena alasan sibuk. Sepulang dari dokter dan meminum obat, tubuhku merasa mendingan, paling tidak saat ini aku bisa tidur untuk mengistirahatkan seluruh sendi tubuhku.

Sepulang sholat Jum'at kami melakukan jadwal rutin pekanan berbagi sembako kepada tetangga kami yang kebutuhan hidupnya belum terpenuhi dengan layak. Aku hanya melihat dan mendengar keriuhan orang yang silih berganti datang untuk mengambil paket yang disediakan.Setelah selesai kami berbincang di teras rumah. "Alhamdulillah Halid makin pinter ya"ujar Ibu menyeka mulutku setelah makan.Aku tersenyum, aku sudah bisa menggerakkan kepalaku ke kanan dan kiri. "Alif lmmm.likal-kitbu l raiba fh, hudal lil-muttaqn.Allana yu`minna bil-gaibi wa yuqmna-alta wa mimm razaqnhum yunfiqn. Wallana yu`minna bim unzila ilaika wa m unzila ming qablik, wa bil-khirati hum yqinn..."aku melantunkan kalam Illahi yang biasa aku dengar setiap hari. Aku lihat Ibu terperangah, berteriak memanggil orang-orang yang ada di sekitar untuk mendengarkanku. Ku lafazkan kalam Allah hingga ayat ke dua puluh, bukan karena lupa, tapi karena aku melihat Bapak, Ibu dan Nenek menangis dan tersungkur melakukan sujud syukur. Mereka memeluk dan menciumku hingga basah wajahku dengan butiran air kasih sayang mereka."Ya Allah, alhamdulillah Kau kabulkan do'a terbesar kami. Dibandingkan limpahan harta semua ini, karunia ini sungguh tak ternilai"isak Bapak masih memelukku. Aku sendiri tak tau kenapa bisa terjadi hal ini, semuanya seperti mengalir kuucapkan begitu saja.Namun sekujur tubuhku terasa lemas tak berdaya, kaki ku terasa dingin dan mataku sulit sekali untuk terbuka seperti biasanya.Bapak meletakkanku kembali di bale-bale sambil memanggilku "Halid, kamu kenapa?".Aku masih mendengar suara Ibu "Halid, bangun nak, kamu kenapa?"Ibu memanggil sambil setengah mengguncang tubuhku"."Allah aku ingin menatap mereka untuk terakhir kali, melihat orang-orang yang aku cintai meski dalam diamku"ucapku dalam hati. Ya Allah, sampaikan kepada Bapak dan Ibu kelak mereka akan memakai mahkota di kepalanya yang terangnya bahkan melebihi cahaya matahari. Kelak kita berlima akan berkumpul karena aku juga akan memanggil Nenek dan Ara di tempat keabadian,tempat dimana kita akan memetik segala hasil yang telah kita tanam di dunia ini. Sampaikan salamku kepada mereka untuk tidak bersedih, karena aku akan menunggu dan memanggil mereka di pintu surga kelak.

Mataku terasa berat, semua terlihat makin samar, pun aku sudah tidak mendengar suara di sekelilingku dan akhirnya semua gelap. "Laa Ilaaha Illallah" lirihku dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun