Mohon tunggu...
Anita Puspitasari
Anita Puspitasari Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang yang berharap eksistensi dirinya berpengaruh positif pada orang di sekitarnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta dalam Diam

23 Oktober 2023   14:44 Diperbarui: 23 Oktober 2023   14:53 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi yang cerah, suara kokok ayam dan nyanyian burung terdengar nyaman di telingaku. Ibu menyiapkan air hangat dan membasuhnya ke tubuhku dengan kain, pelan-pelan dan lembut Ibu melakukannya, mungkin khawatir aku merasa kesakitan. Sementara dari jendela, aku melihat Ara membantu Nenek menyapu halaman depan dengan keriangannya.

Setelah kami sarapan, Ibu meletakkan ku di bale-bale ruang depan. Ibu bangun sejak pukul tiga setiap hari, setelah menunaikan ibadah nya hingga Subuh, Ibu mengerjakan aktivitas rumah tangga lainnya sehingga sepagi ini seluruh pekerjaan rumah telah selesai. "Halid anak pintar, Halid sama Nenek dan Ara dulu ya di rumah. Ibu mau ke kebun dulu. Halid ga boleh rewel ya."Ucap Ibu sambil megelus punggung tanganku dengan senyuman khasnya.Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum. Ibu memang sarjana lulusan institut pertanian ternama di kota kami, jadi Ibu tidak merasa canggung dengan tanaman. Demi merawat aku dan Ara, Ibu rela meninggalkan pekerjaannya dan fokus menjaga kami di rumah.

Sebelum azan zuhur berkumandang Ibu sudah kembali dari kebun. Peluh membasahi jilbab lebar abu-abu yang Ibu kenakan, juga gamis warna senada yang kotor di sana sini. Aku tersenyum, kangen rasanya melihat Ibu."Ini Bu, minum dulu.Ibu pasti capek" ujar Ara sambil memberikan segelas air putih. Ibu menerimanya dengan senyuman dan meminumnya hingga habis."Kamu bersih-bersih dulu, Ratih.Setelah sholat kita makan siang" teriak Nenek dari dapur.

" Syamsul masih keliling nyari sekolah ?" tanya Nenek menanyakan keberadaan Bapak pada Ibu. "Iya Bu. Sudah hampir sebulan, tapi belum ada kabar dipanggil"ucap Ibu sambil tersenyum yang dipaksakan."Bismillah, yang penting usaha, nanti ada jalannya" jawab Nenek memberikan semangat kepada Ibu.Tak berselang lama terdengar ucapan salam, ternyata Bapak sudah pulang. Aku senang sekali sambil menghentakkan kaki dan tersenyum lebar."Halid senang ya Bapak pulang?"tanya Nenek disebelahku."Ini anak Bapak yang ganteng ya, Bapak ganti baju dulu ya"ucap Bapak menyungginkan senyum padaku. Semenjak pindah ke rumah Nenek, Bapak cuma sebentar main denganku, karena aku tahu Bapak sedang berjuang untuk kami keluarganya.Ingin aku memeluknya, berkata mencintainya dan bahwa aku bangga mempunyai Bapak sepertinya. Lagi-lagi aku hanya tersenyum.

"Bagaimana hari ini, Bu?"tanya Bapak diobrolan malam di dalam kamar."Hari ini aku seperti biasa,Pak.Kerjaan rumah, ngerawat kebun.Besok Bapak jangan keluar dulu ya, Bantu panen di kebun "jawab Ibu sambil melipat baju yang tadi sore diangkat."Ibu pasti capek, sabar ya Bu" ucap Bapak dengan penuh perhatian. "Sebenernya Bapak sudah ada panggilan ngajar bu di SD Negeri 2"ucap Bapak pada Ibu. Mendengar hal itu, Ibu sumringah "Alhamdulillah, Pak.Mau ngajar mulai kapan?"."Masalahnya honor di sekolah itu sebulan lima ratus ribu."ungkap Bapak menjelaskan.Ibu terdiam entah harus berkata apa dan akhirnya berucap "Alhamdulillah, Pak"

Hari ini semua bersemangat pergi ke kebun, bahkan aku pun demikian. Kami berlima berangkat ke kebun untuk memanen kentang yang sudah ditanam Nenek sebelumnya.Kali ini Bapak yang menggendongku, karena medan yang kami lewati memang cukup curam, kalau tidak berhati-hati maka bisa saja terpeleset."Ara jagain Mas Halid ya"perintah Ibu kepada Ara, yang dijawab dengan anggukan kepalanya. Sudah setengah hari kami di kebun, menjelang Zuhur semua beristirahat di gubuk reot pinggir kebun.Entah mengapa suasana seperti berbalik dibandingkan pagi hari tadi."Sudah setengahnya kita panen dan hasilnya cuma satu kilo, itu juga sudah hampir busuk"ucap Nenek dengan suara parau.Bapak dan Ibu hanya terdiam. Panen kali ini gagal, dengan kerugian yang cukup lumayan.

***

Jadwal cek bulanan ku kembali tiba. Aku dan Ibu bersiap kembali jalan-jalan ke rumah sakit di kabupaten.Ibu selalu mengatakan jalan-jalan supaya membuat perjalanan melelahkan ini menjadi menyenangkan. Sementara Ayah, semenjak mengajar tidak bisa lagi mengantar Ibu dan aku ke rumah sakit. Untuk menuju ke rumah sakit, kami harus empat kali menaiki angkutan umum yang menunggunya saja lama sekali. Namun, Ibu tetap bersemangat, walaupun ku tahu Ibu pasti kelelahan menggendong tubuhku yang tidak ringan lagi. "Perkembangan Halid cukup Bagus, Bu"ucap dokter berkacamata itu sambil tersenyum."Ada beberapa terapi yang harus dilakukan di rumah, sudah saya catat di buku programnya"lanjut dokter tersebut. Ibu masih sibuk mengobrol dengan dokter, sementara aku sudah terlelap di gendongan Ibu dan ketika terbangun sudah ada di rumah Nenek kembali.

Gagalnya panen membuat Nenek jatuh sakit, modal yang digunakan untuk menanam adalah pinjaman dari Bank dan harus segera dilunasi.Jika tidak maka kebun satu-satunya milik Nenek akan disita. Jangankan untuk membayar utang, untuk kebutuhan sehar-hari saja kami pontang panting untuk mencukupi.Bapak dan Ibu juga bukan tidak ada usaha, namun apa daya manusia yang merencanakan, tapi ada Yang Maha Kuasa yang berhak menentukan.

Hari ini aku mendengar Bapak bercerita pada kami. Katanya Bapak mendapat undangan Dinas Pendidikan di Kota Kabupaten. Bapak ku memang pintar, pengalamannya mengajar di sekolah swasta favorit saat di kota kami diterapkan di SD negeri tempat Bapak mengajar sekarang, lantas divideokan dan diikutsertakan dalam lomba inovasi belajar. Bapak masuk ke tahap seleksi nasional dan diundang oleh Dinas Pendidikan Kabupaten. Aku lihat rona kebahagiaan terpancar dari Bapak, Ibu dan Nenek. Ingin sekali aku mendengarkan cerita Bapak, tapi aku tidak tahan kepalaku nyeri sekali pun tubuhku merasa sakit. Maafkan aku mengganggu kabar gembira ini, aku menangis lagi.

Kegagalan panen sebelumnya membuat Bapak dan Ibu memutar otak agar musim tanam berikutnya tidak terulang kejadian serupa. Memang tidak hanya keluarga kami yang mengalami gagal panen, hampir semua petani di desa kami juga mengalami hal yang sama. Desa kami adalah sentra penghasil kentang terbesar se Kabupaten, tentu ini menjadi pukulan telak tidak hanya bagi petani, tapi bagi aparat desa setempat. "Alhamdulillah, tadi Pak Camat ngasih tau kalau pinjaman Bank yang kemarin pembayarannya ditunda, malah di kasih subsidi benih dan pupuk untuk kita."cerita Bapak kepada kami saat makan malam bersama. Ibu yang meyuapiku tak hentinya berucap syukur, pun demikian Nenek yang menarik napas lega. "Pas Bapak ke Dinas kemarin, Bapak dikenalin sama pensiunan guru,Bu.Orangnya asli sini, tapi punya perkebunan di Sumatra. Dia pengusaha sukses disana.Mumpung orangnya sedang liburan ke sini, Bapak mau ke rumahnya nimba ilmu" Ucap Bapak yang diiyakan oleh Ibu dan Nenek. Pembicaraan selanjutnya aku sama sekali tidak mengerti, aku hanya bercengkrama dengan Ara yang menggelitik kakiku dengan wajah gemasnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun